Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Nilai yang Tertinggal: Keresahan tentang Universalitas

15 Desember 2024   00:40 Diperbarui: 15 Desember 2024   05:08 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap peradaban yang berkembang, ada kisah-kisah besar tentang penemuan dan kemajuan, tentang manusia yang terus berusaha melampaui batasan-batasannya. Namun, di balik setiap pencapaian tersebut, ada sebuah pertanyaan yang terus menggema: apakah kita benar-benar mencapai kemajuan, atau justru sedang berputar dalam lingkaran tak berujung? Masyarakat modern bangga dengan segala teknologi canggih dan inovasi yang telah dihasilkan, seolah-olah telah menaklukkan dunia dengan akal dan pengetahuan. Namun, di tengah kesibukan itu, terdapat sebuah kenyataan yang mulai terabaikan_bahwa nilai-nilai dasar kemanusiaan yang seharusnya menyatukan kita, justru kian terpinggirkan.

Nilai universal yang kita klaim sebagai dasar moralitas, seakan hanya menjadi jargon kosong yang terbungkus indah dalam pidato-pidato penuh semangat. Kita berkata tentang kejujuran, tentang keadilan, dan tentang menghormati hak orang lain, padahal tindakan kita tak sejalan dengan kata-kata itu. Kita, para pewaris zaman yang katanya tercerahkan, telah mengurangi nilai-nilai luhur menjadi slogan kosong_sebuah ornamen tanpa roh. Peradaban ini, dengan segala pencapaiannya, tidak lebih dari mesin besar yang menggilas substansi demi penampilan.

Mari kita ambil contoh sederhana, tentang kejujuran, sebuah nilai yang konon mendunia. Di banyak kota besar, trotoar dirancang bukan untuk pejalan kaki, justru menjadi arena bagi pengendara motor yang tergesa-gesa. Di setiap halte bus, antrean adalah konsep yang sering kali hanya berlaku jika ada yang mengawasi. Sebaliknya, mereka yang sebenarnya menerapkan nilai universal dipandang aneh dan membosankan_atau lebih buruk lagi, dianggap bodoh. Peradaban ini telah menyimpang dari substansi menjadi simulakrum, sebuah kepalsuan yang lebih meyakinkan daripada kenyataan itu sendiri.

Walaupun begitu, jangan salah, masyarakat bukan sekadar korban; mereka adalah pelaku yang terlibat aktif dalam permainan ini. Kita telah membangun sebuah sistem yang, secara efektif melatih orang untuk menjadi oportunis dalam setiap tindakan kecil mereka. Mengambil barang hilang dan menyimpannya? "Orang lain juga akan melakukannya," katanya. Menggunakan jalur kanan di lift meskipun kosong? "Mengapa tidak, toh ini tidak melukai siapa-siapa."

Cobalah bayangkan sebuah peradaban di mana nilai universal bukan sekadar wacana, tetapi benar-benar diterapkan dalam setiap aspek kehidupan. Jepang, dengan segala kemegahannya, menyuguhkan pelajaran sederhana tentang bagaimana universalitas dapat diterjemahkan dalam tindakan sehari-hari. Ketika sebuah dompet tergeletak di jalan, respons pertama bukanlah mengklaimnya, tetapi mengembalikannya, karena kesadaran bahwa "kepemilikan" bukan hanya hak individu, tetapi juga kepercayaan kolektif. Di eskalator, lajur kanan selalu dibiarkan kosong, bahkan saat tak ada seorang pun yang terburu-buru, sebab menghormati potensi kebutuhan orang lain lebih penting daripada kenyamanan pribadi. Nilai ini tidak mengawang di awan idealisme; ia berjalan di trotoar, hidup di halte, dan berdiri di lift.

Di dunia yang terus memuja kemajuan, kita lupa bahwa moralitas bukanlah produk sampingan dari teknologi, tetapi ukuran sejauh mana kita benar-benar maju sebagai manusia.

Oleh karena itu, nilai universal sebenarnya bukan mustahil diterapkan, tetapi peradaban kita memilih untuk tidak melakukannya. Dunia kita telah menciptakan sistem yang tidak memberi ruang bagi universalitas kecuali sebagai retorika. Nilai-nilai itu terlalu "mahal" untuk dipelihara dalam dunia yang lebih peduli pada efisiensi ketimbang esensi. Kita lebih memilih kebijakan pragmatis, bukan karena tidak tahu apa yang benar, tetapi karena kebenaran itu tidak menguntungkan.

Akhirnya, pertanyaan yang harus kita hadapi bukan lagi, apakah nilai universal itu penting, tetapi apakah kita, dengan segala klaim superioritas moral kita, masih memiliki keberanian untuk membuatnya beroperasi? Atau, seperti nilai yang tertinggal, kita akan terus berlari dengan cepat menuju kehampaan, mengabaikan substansi yang sebenarnya mempertegas jati diri kita sebagai manusia!?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun