Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Zaman sebagai Cermin Takdir

19 November 2024   11:23 Diperbarui: 19 November 2024   11:27 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/7el0fKZUD

Zaman adalah saksi bisu, tak pernah lelah menampung segala drama kehidupan manusia-keindahan, kehinaan, kebahagiaan, hingga derita. Namun, di balik segala hiruk-pikuk ini, sering kali kita lupa bahwa zaman hanyalah panggung, bukan aktor utama. Ia tak memiliki kehendak untuk menciptakan keburukan, apalagi untuk dipersalahkan. Maka, siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi? Dalam misteri ini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang relasi antara penciptaan, kehendak Ilahi, dan tanggung jawab manusia. Apakah keburukan yang kita cecar adalah cermin dari kita sendiri---atau sekadar tanda yang mengarahkan kita pada makna tertinggi?

Zaman sering kali menjadi kambing hitam atas berbagai kesulitan, kejahatan, dan keburukan yang melanda umat manusia. Kita sering mendengar ungkapan bahwa zaman telah berubah menjadi buruk, atau bahwa zaman ini lebih hina dibanding masa lalu. Namun, benarkah zaman itu sendiri yang membawa keburukan? Ataukah keburukan tersebut adalah cermin dari perbuatan manusia yang hidup di dalamnya? Pertanyaan ini mengarahkan kita pada refleksi mendalam tentang relasi antara keindahan dan kehinaan zaman, serta tanggung jawab Ilahi dalam mengatur semesta ini.

Dalam Islam, ada hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang manusia mencela zaman, karena zaman adalah ciptaan Allah. Allah tidak hanya menciptakan, tetapi juga mengatur segala sesuatu yang terjadi di dalamnya. Dengan kata lain, zaman tidak memiliki daya dan kehendak; ia hanyalah panggung tempat manusia menjalani takdir mereka. Ketika manusia mencela zaman, sesungguhnya mereka mencela kehendak dan ketetapan Allah. Maka, inti dari persoalan ini bukan pada zaman itu sendiri, tetapi pada bagaimana manusia memandang dan memahami peran mereka di dalam alur takdir Ilahi.

Jika kita percaya bahwa Allah adalah Yang Maha Indah dan Maha Bijaksana, maka alam semesta ini diciptakan dengan susunan yang sempurna. Keindahan dan keteraturan adalah prinsip dasar penciptaan-Nya. Namun, keburukan, kejahatan, dan kehinaan yang kita saksikan hari ini bukanlah produk cacat dari penciptaan, melainkan konsekuensi dari penyimpangan manusia dari aturan Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur'an, "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia..." (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini menegaskan bahwa kerusakan yang kita lihat adalah tanggung jawab manusia, bukan celaan atas susunan semesta.

Namun, kita juga perlu bertanya, mengapa Allah membiarkan keburukan terjadi jika sejak awal alam ini diciptakan indah? Pertanyaan ini membawa kita pada pemahaman tentang konsep ujian dalam hidup manusia. Kehinaan yang ada bukan untuk melemahkan manusia, melainkan untuk menguji keimanan dan kesungguhan mereka dalam menjalani perintah-Nya. Keburukan adalah peringatan, sekaligus peluang bagi manusia untuk kembali kepada kebaikan. Dengan demikian, zaman tidak berubah menjadi buruk; manusialah yang sering kali gagal menjaga keindahan yang telah dianugerahkan Allah.

Mengakui tanggung jawab ini menuntut kita untuk mengubah perspektif. Daripada mencela zaman, kita harus bercermin pada diri sendiri dan bertanya: apa yang telah kita lakukan untuk menjaga harmoni dan keindahan yang ada? Dalam keburukan, ada tanda-tanda yang mengajak kita kembali kepada-Nya. Dalam kehinaan, ada peluang untuk memperbaiki diri dan dunia di sekitar kita. Zaman, dengan segala dinamika dan tantangannya, bukanlah musuh, melainkan mitra yang membantu kita menumbuhkan keimanan dan ketakwaan.

Pada akhirnya, seperti musim dingin yang menusuk tulang, zaman pun kerap dituduh sebagai penyebab kesulitan dan kehinaan. Namun, mari belajar dari kebijaksanaan sederhana orang Jerman: saat dingin menggigit, mereka tak menyalahkan musim, namun mengatakan, "bukan cuacanya yang dingin, melainkan kostum mu yang salah" Analogi ini membawa kita pada refleksi mendalam-zaman tak pernah menjadi biang keladi; manusialah yang sering gagal mempersiapkan diri, salah dalam bertindak, atau enggan untuk memperbaiki kesalahan.

Zaman bukanlah musuh, melainkan cermin. Jika pantulannya terlihat buruk, itu karena kita yang perlu mengganti "kostum"-cara pandang, tindakan, dan hubungan kita dengan Ilahi. Maka, sebelum kita tergoda untuk mencela zaman, tanyakanlah pada diri sendiri: apakah kita telah berbuat cukup untuk menjaga harmoni yang telah Allah ciptakan, ataukah kita masih sibuk menyalahkan panggung ketika aktor utamanya adalah kita sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun