Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pesimisme Filosofis

18 November 2024   23:14 Diperbarui: 18 November 2024   23:49 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pesimisme filosofis adalah pandangan yang mencerminkan ketidakpercayaan terhadap kebermaknaan alam raya dan tujuan keberadaan manusia. Dalam sejarah pemikiran manusia, pandangan ini sering muncul dari perenungan mendalam tentang absurditas hidup, ketidakadilan dunia, dan ketiadaan kepastian akan arah yang lebih tinggi. Dalam ketidakpastian ini, mereka yang kehilangan keimanan sering kali mendapati diri mereka terjebak dalam kehampaan yang tak terelakkan. Dunia tampak seperti ruang kosong tanpa sandaran moral, spiritual, atau eksistensial.

Bagi kaum pesimis filosofis, alam raya hanyalah entitas tanpa jiwa, bergerak secara mekanis tanpa desain atau tujuan. Mereka memandang kehidupan sebagai rentetan kebetulan yang tidak memiliki makna hakiki. Dalam pandangan ini, konsep keadilan sering kali dianggap sebagai ilusi sosial, semacam konstruksi yang digunakan manusia untuk memberikan rasa tertib dalam kekacauan. Akibatnya, banyak dari mereka yang memandang ketidakadilan bukan sebagai penyimpangan, melainkan sebagai bagian inheren dari keberadaan itu sendiri.

Ketika seseorang kehilangan keimanan kepada Tuhan atau kebenaran yang lebih tinggi, kehidupan menjadi kosong dari narasi besar yang memberikan makna. Tanpa kepercayaan kepada Tuhan sebagai sumber keadilan dan tujuan, manusia sering kali tidak mampu bertahan menghadapi guncangan hidup. Dalam ketiadaan ini, rasa sakit---baik karena putus cinta, kegagalan ekonomi, maupun konflik keluarga---menjadi beban yang tidak tertahankan. Depresi merayap masuk, menciptakan jurang batin yang tak dapat diisi oleh materialisme, kesuksesan semu, atau hubungan interpersonal yang rapuh.

Tidaklah mengherankan bahwa dalam konteks ini, banyak dari mereka yang berasal dari kalangan terdidik justru menjadi korban pesimisme eksistensial ini. Pendidikan, meskipun mampu menajamkan logika dan pengetahuan, sering kali gagal memberikan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang tujuan hidup. Ketika seseorang terus-menerus menggali jawaban di tempat yang salah, menemukan kehampaan demi kehampaan, kebuntuan menjadi tak terhindarkan. Sebagian memilih jalan terakhir yang tragis: bunuh diri.

Sebagaimana yang telah banyak dicatat oleh filsafat dan psikologi modern, keputusan untuk mengakhiri hidup sering kali lahir bukan hanya dari satu sebab tunggal, melainkan dari kombinasi kompleks faktor-faktor emosional, sosial, dan spiritual. Namun, hilangnya keimanan kepada Tuhan sering kali menjadi inti dari masalah ini. Dalam ketiadaan iman, manusia kehilangan sumber utama harapan, penghiburan, dan ketabahan. Tuhan, dalam tradisi agama-agama besar, bukan hanya Pencipta tetapi juga Pelindung dan Tempat Bergantung. Tanpa Tuhan, rasa sakit tidak memiliki tujuan; penderitaan tidak memiliki makna.

Murtadha Muthahhari, dalam bukunya "Keadilan Ilahi", dengan indah mengungkapkan bahwa keadilan Tuhan adalah penopang utama keberadaan. Ia menegaskan bahwa segala sesuatu di alam ini tidak pernah lepas dari hikmah yang mendalam. Ketika seseorang percaya pada keadilan ilahi, ia tidak lagi melihat penderitaan sebagai sesuatu yang absurd. Sebaliknya, penderitaan menjadi proses yang memperhalus jiwa, sebuah mekanisme yang mendekatkan manusia kepada kesempurnaan. Namun, bagi mereka yang tidak beriman, penderitaan adalah pengingat yang terus-menerus bahwa mereka hidup dalam dunia yang dianggap kejam dan acak.

Pesimisme filosofis pada akhirnya adalah krisis iman yang merasuki logika manusia modern. Di tengah kemajuan sains dan teknologi, manusia mencoba menggantikan Tuhan dengan kekuatan rasionalitas dan empirisme. Namun, dalam keheningan malam, ketika pertanyaan tentang makna dan tujuan menyeruak, logika tidak dapat memeluk hati yang retak. Tanpa iman, tidak ada jawaban yang cukup dalam. Tidak ada filosofi sekuler yang benar-benar dapat menghilangkan rasa kehilangan itu.

Maka, penyembuhan terhadap pesimisme ini tidak terletak semata pada pembuktian intelektual tentang keberadaan Tuhan atau keadilan ilahi, melainkan pada pemulihan hubungan spiritual yang dalam. Manusia adalah makhluk yang mendambakan makna, dan hanya iman yang dapat memenuhi ruang kosong yang ditinggalkan oleh rasionalitas. Sebagaimana air yang memberikan kehidupan bagi tanah kering, iman adalah oasis bagi jiwa yang lelah dan tersesat. Tanpa itu, kehidupan hanyalah fatamorgana yang cepat berlalu, meninggalkan rasa haus yang tak pernah terpuaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun