Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aktivis Hipokrit: Pahlawan Palugada di Balik Layar

30 Agustus 2024   18:25 Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:28 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di medan tempur idealisme yang gemilang, di mana lampu sorot membutakan mata dan sorakan para pendukung membahana, para oknum aktivis muncul sebagai kesatria berpedang panjang yang siap menumpas kezaliman. Mereka berseru untuk perubahan. Mereka tampil sebagai pahlawan yang mengayunkan pedang kezaliman, berjanji akan menghapus segala bentuk korupsi dengan kesungguhan hati. Namun, seperti skenario film thriller yang terlalu dramatis, di balik topeng pahlawan tersebut tersembunyi musuh sejati---sebuah realitas yang lebih menyerupai tragedi tragis daripada kisah heroik.

Bayangkan, jika Anda mau, seorang aktor panggung yang setiap malam berperan sebagai raja bijaksana di pentas teater. Dengan jubah megah dan mahkota yang berkilauan, ia memerintah dengan adil dan bijaksana, menjunjung tinggi keadilan di hadapan penonton. Tetapi ketika tirai panggung turun dan lampu sorot padam, raja bijaksana ini menghilang ke belakang panggung untuk mencuri perhiasan dan harta dari gudang. Ia berbicara tentang kebajikan di depan, dan merampok di belakang, semua sambil memerankan peran yang sama di depan publik. Inilah skenario yang memalukan---betapa menawannya pameran kebajikan yang dicampur dengan penipuan murahan!

Di dunia nyata, para oknum aktivis ini adalah raja panggung yang dimaksud. Mereka berteriak tentang transparansi dan keadilan, namun dalam praktek, mereka mengumpulkan informasi kredibel seperti kolektor barang antik, hanya untuk digunakan sebagai alat tawar-menawar. Mereka menuntut tebusan dari instansi pemerintah, seolah mereka adalah para pencuri yang berkelit di balik retorika muluk. Bayangkan betapa menggelikannya mereka merayakan peran mereka sebagai penjaga moral, sambil dalam waktu yang sama menyiapkan "penyelesaian damai" di ruang belakang untuk meraup keuntungan dari kesalahan-kesalahan yang mereka cetuskan.

Berapa ratus strategi yang mereka dapatkan dari buku-buku (Machiaveli, Sun Tzu, Robert Green) dan arahan oknum senior yang dijadikan sumber perencanaan strategi, misalnya: melayangkan surat demonstrasi yang mengejutkan publik sebagai alat untuk merampok dana instansi pemerintahan. Meskipun surat tersebut menimbulkan kepanikan dan spekulasi, demonstrasi yang dijanjikan tidak pernah terjadi. Sebagai gantinya, aktivis melakukan negosiasi dan mencapai kesepakatan rahasia di belakang layar dengan instansi yang bersangkutan, menerima kompensasi finansial sebagai imbalan untuk menarik ancaman dan menghentikan demonstrasi yang sebenarnya tidak pernah direncanakan. Atau menggunakan informasi terselubung yang diperoleh dari orang dalam instansi pemerintah dan menganalisis informasi tersebut kemudian menerbitkannya dalam media untuk menciptakan ketidaknyamanan dan kepanikan di kalangan publik serta pihak berwenang. Setelah publikasi, aktivis mendatangi pihak-pihak yang terlibat secara langsung untuk menawarkan "penyelesaian" yang melibatkan kompensasi finansial atau kesepakatan yang menguntungkan mereka sebagai imbalan untuk menarik ancaman atau menghentikan penyebaran informasi lebih lanjut. Atau mungkin? .... Kita harus mengakui bahwa oknum ini memiliki banyak cara dan taktik.

Pemilihan penyelesaian di balik layar oleh aktivis hipokrit, meskipun tidak sepenuhnya salah secara strategis, sering kali mengindikasikan motivasi yang berbeda dari tujuan utama mereka. Jika aktivis benar-benar berkomitmen pada kesejahteraan masyarakat, mereka seharusnya menekan pihak berwenang untuk merealisasikan program dan mengawal isu secara terbuka untuk memastikan manfaat jangka panjang yang nyata bagi masyarakat, bukan hanya keuntungan pribadi. Pendekatan yang transparan dan berkelanjutan akan lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan integritas yang mereka klaim sedang diperjuangkan.

Kita tahu bahwa kebenaran dan integritas tidak bisa diperoleh dengan membalikkan jari dan menganggap semua orang bodoh. Berteriak tentang keadilan sambil menutupi tangan yang kotor adalah bentuk kemunafikan yang paling mencolok.

Di tengah keremangan bayang-bayang dan gemerlap cahaya sorot, di mana idealisme dan kepentingan sering kali berpapasan, bisa jadi, kita menemukan diri kita di persimpangan antara kemunafikan dan keberanian. Aktivis hipokrit yang memilih penyelesaian di balik layar bukan hanya melangkah ke ranah kemunafikan, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab yang lebih besar terhadap masyarakat yang mereka klaim untuk diperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun