Mohon tunggu...
Akke Syafruddin Prawira
Akke Syafruddin Prawira Mohon Tunggu... Freelancer - Infulencer

Postingto Ergo Sum "aku memposting, maka aku ada"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filosofi di Balik Lidah yang Tajam dan Otak yang Kosong

28 Agustus 2024   12:06 Diperbarui: 28 Agustus 2024   12:17 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini, kecerdasan punya definisi yang baru dan unik. Bukan lagi tentang kemampuan berpikir kritis, mengasah logika, atau menciptakan solusi, melainkan tentang seberapa pandai Anda bisa menjilat tanpa tersedak. Ya, di sini, semakin lihai Anda bisa menjilat, semakin tinggi pula Anda akan mendaki dalam tangga karier yang penuh pelicin. Seolah-olah, lidah yang lihai menjilat telah menggantikan otak yang dulunya dianggap sebagai pusat kecerdasan.

Pernahkah Anda bertanya-tanya, mengapa para penjilat ini selalu tampak puas dengan diri mereka? Mungkin, mereka telah menemukan 'kebahagiaan' dalam seni menjilat yang begitu dalam hingga tidak ada lagi ruang untuk rasa malu. Mereka berhasil menghapus konsep integritas dan menggantinya dengan filosofi baru: "Mengapa bekerja keras, jika Anda bisa bekerja dengan lidah?"

Mari kita bicara tentang filosofi mereka. Mereka percaya bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan berpikir. Mengapa memeras otak ketika Anda bisa memeras atasan Anda? Mengapa berdebat dengan argumen ketika Anda bisa berdebat dengan sanjungan kosong? Inilah seni kehidupan yang mereka pelajari: jika Anda bisa menekan tombol yang tepat dengan cukup sering, tak peduli seberapa palsu, dunia akan membuka pintu rezeki bagi Anda.

Tapi, di mana kebodohan itu bersembunyi? Di balik senyuman mereka yang percaya bahwa menjilat adalah bentuk kecerdasan tertinggi. Mereka begitu sibuk mencari-cari celah untuk menempel pada kekuasaan, hingga mereka lupa satu hal: bahwa otak itu diciptakan untuk berpikir, bukan untuk menjilat. Mereka mungkin merasa pintar karena bisa memanipulasi situasi, tapi pada akhirnya, siapa yang sebenarnya dimanipulasi?

Mereka lupa bahwa roda kehidupan ini tidak selamanya berputar pada arah yang mereka inginkan. Suatu hari, roda itu akan berputar ke arah lain, dan saat itulah mereka akan menyadari bahwa jilatannya tidak lagi berguna. Namun, pada saat itu, akan terlalu terlambat untuk mereka menyadari bahwa mereka telah mengabaikan satu-satunya aset yang benar-benar berharga: akal sehat mereka.

Jadi, mari kita tanyakan: apa yang tersisa ketika semua pujian palsu itu berakhir? Ketika lidah sudah tak mampu lagi meluncurkan sanjungan, dan kekuasaan yang mereka anggap abadi tiba-tiba lenyap, apa yang akan mereka lakukan? Mungkin saat itulah mereka akan sadar---bahwa kebodohan sejati bukanlah tentang tidak mengetahui, tapi tentang sengaja mengabaikan kebenaran demi kenyamanan sesaat.

Dan bagi kita yang menyaksikan dari jauh, kita hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa getir. Karena di balik semua kelicikan itu, tersembunyi satu fakta tak terbantahkan: bahwa mereka yang menjilat tanpa berpikir sebenarnya sedang menampar diri mereka sendiri dengan kebodohan yang mereka ciptakan.

di dunia yang penuh dengan peluang untuk berkembang, belajar, dan berinovasi, mengapa Anda memilih untuk menjadi seorang penjilat? Apakah itu karena Anda tidak cukup percaya pada kemampuan Anda sendiri? Atau karena Anda takut menghadapi kenyataan bahwa tanpa menjilat, Anda mungkin hanyalah sebutir debu di tengah padang pasir?

Mungkin sudah waktunya berkaca dan bertanya pada diri sendiri: apakah mereka bangga dengan apa yang telah dilakukan? Apakah dengan cara itu seseorang layak di katakan pintar, atau hanya licik? Dan ketika mereka sadar betapa kecilnya diri, tanpa semua sanjungan palsu itu, mungkin saat itulah rasa malu yang sesungguhnya akan menghantui mereka.

Mereka mungkin bersembunyi di balik kekayaan dan kekuasaan yang diperoleh dengan cara licik, tetapi di balik itu semua, ada kenyataan yang tidak bisa mereka hindari: bahwa mereka adalah orang-orang yang memilih untuk tidak menjadi apa-apa, selain penjilat dalam permainan yang tidak pernah benar-benar mereka menangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun