Dalam dunia yang penuh dengan absurditas, Albert Camus menantang manusia untuk mengakui ketidakbermaknaan eksistensi dan menolak solusi simplistik yang ditawarkan oleh hedonisme. Kritik Camus terhadap hedonisme berakar pada keyakinan bahwa upaya manusia untuk mencari kebahagiaan semata-mata melalui kesenangan adalah sia-sia dan kontraproduktif.
Absurdisme, dalam pandangan Camus, adalah konfrontasi antara keinginan manusia akan makna dengan ketidakmampuan alam semesta untuk menyediakannya. Manusia secara alamiah mencari kepastian, tujuan, dan makna, namun alam semesta tetap diam.Â
Kesenjangan ini menciptakan absurditas, sebuah paradoks eksistensial yang tak terhindarkan. Dalam menghadapi absurditas ini, banyak yang beralih kepada hedonisme, berharap bahwa pengejaran kesenangan dapat menyembunyikan atau mengisi kehampaan tersebut.
Namun, bagi Camus, hedonisme tidak lebih dari pelarian diri dari kenyataan yang sesungguhnya. Dalam mengejar kesenangan, individu hanya berusaha menutupi krisis makna, bukan menghadapinya. Hedonisme, dengan fokusnya pada kepuasan instan dan sementara, gagal memberikan jawaban yang memadai terhadap pertanyaan eksistensial yang lebih dalam. Ia mengaburkan absurditas tanpa benar-benar menyelesaikannya.
Camus mengartikulasikan kritiknya terhadap hedonisme melalui tokoh mitologis Sisyphus, yang dihukum untuk mendorong batu besar ke atas gunung, hanya untuk melihatnya berguling kembali ke dasar, dan harus mengulanginya selamanya. Dalam narasi ini, Camus menemukan alegori sempurna untuk kondisi manusia modern. Sisyphus tidak mencari makna di luar dirinya; ia menerima nasibnya dan menemukan kebebasan dalam tindakan yang berulang-ulang, meskipun tampak sia-sia. Bagi Camus, Sisyphus adalah pahlawan absurdis, bukan karena ia menyerah pada takdirnya, tetapi karena ia menolak untuk menyerah pada keputusasaan.
Hedonisme, dalam konteks ini, mewakili penolakan terhadap absurditas dengan cara yang salah. Sebaliknya, Camus mendorong manusia untuk merangkul absurditas dan menemukan makna bukan dalam hasil akhir atau tujuan, tetapi dalam tindakan itu sendiri. Ini adalah penolakan terhadap semua bentuk pelarian diri-baik dalam bentuk hedonisme, agama, atau ideologi-dan menegaskan pentingnya keberanian untuk hidup di tengah-tengah absurditas.
Dalam kritiknya terhadap hedonisme, Camus mengajak kita untuk melihat lebih jauh dari sekadar pengejaran kesenangan. Hedonisme, dengan segala janji kenikmatannya, pada akhirnya adalah sebuah jalan buntu. Ia menawarkan kebahagiaan yang rapuh dan dangkal, yang cepat menguap saat dihadapkan dengan kenyataan bahwa dunia ini tidak memberi jawaban memuaskan bagi pertanyaan eksistensial kita. Camus menunjukkan bahwa hedonisme adalah upaya yang sia-sia untuk menghindari absurditas, sementara ia sendiri menemukan kebebasan dalam pengakuan dan penerimaan absurditas tersebut.
Camus tidak mengabaikan kesenangan atau kenikmatan sebagai bagian dari kehidupan, tetapi ia memperingatkan agar kita tidak membiarkannya menjadi pusat dari eksistensi kita. Dengan mengabaikan absurditas yang lebih dalam, hedonisme hanya memperpanjang ilusi kebahagiaan tanpa benar-benar memenuhinya. Ia menolak gagasan bahwa kesenangan dapat menyembunyikan kehampaan eksistensial yang tak terhindarkan.Â
Sebaliknya, ia menantang kita untuk menerima absurditas dengan kepala tegak dan untuk menemukan makna dalam setiap langkah, bukan dalam pencarian kesenangan yang tak berujung. Apakah kita akan terus terjebak dalam fatamorgana hedonisme, ataukah kita berani menghadapi kenyataan hidup yang absurd dan menemukan kebebasan sejati dalam ketidakpastian?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H