Mohon tunggu...
abdul kadir
abdul kadir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Konstitusi dan 50 Tusuk Sate Presiden RI

23 Agustus 2016   12:12 Diperbarui: 23 Agustus 2016   12:18 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Konstitusi. Bayangkan sebuah rumah tanpa pondasi. Berdiri, namun tidak kokoh. Begitulah fungsi konstitusi, menopang dan menjamin tegak kokohnya rumah besar bernama negara. Dan hari ini, 18 Agustus, kita memperingati hari konstitusi Republik Indonesia (RI).

Hari konstitusi, memang belum lama diperingati di Indonesia. Baru dimulai pada 2008. Sebagai hari penting nan bersejarah yang perlu diingat, menurut teman saya, hari konstitusi masih kalah tenar dengan hari Valentine, atau bahkan hari AIDS.

Padahal terkait Kemerdekaan RI, selain pembacaan naskah proklamasi, Rapat paripurna Panitia Persiapan Kemerdekan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, tak kalah penting karena sepakat menetapkan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya, serta berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD).

Usai ditetapkan PPKI sebagai Presiden RI, Ir. Soekarno menceritakan secara jenaka tentang perintah pertamanya sebagai presiden. "Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang dada dan tak memakai alas kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama yaitu, Sate ayam 50 tusuk!," ujar Soekarno dalam biografinya. Itulah perintah pertama Presiden RI Soekarno. "Sate ayam 50 tusuk!"

Selain soal 50 tusuk sate, keputusan rapat paripurna PPKI sesungguhnya sangat penting  karena Konvensi Montevideo (1933) menyatakan syarat minimal diakuinya sebuah Negara, bersandar pada Dua unsur. Pertama unsur Deklaratif, pengakuan dari Negara lain, dan kedua unsur konstitutif, sebagai unsur pokok yang meliputi adanya penduduk, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.

Pada 17 Agustus 1945, kita memang menyatakan merdeka sebagai sebuah negara. Namun terkait pemerintahan yang berdaulat, dan wilayah, secara hukum, sesungguhnya baru syah “dimiliki” dan “diakui” pada 18 Agustus 1945 melalui rapat paripurna PPKI yang sekali lagi, selain menetapkan presiden, juga menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia (RI).

Ada analogi jenaka. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah undangan lamaran perkawinan, sedang rapat paripurna PPKI 18 Agustus 1945, akadnya. Kurang pas? Silahkan buat analogi lain yang  dirasa lebih pas.

Mochamad Isnaeni Ramdhan, dalam artikelnya yang menginspirasi peringatan hari konstitusi Indonesia, mengatakan  “Konstitusi merupakan akta kelahiran bagi suatu bangsa, sehingga kaitan konstitusi bagi suatu negara amat erat. Tidak ada satu negara pun yang tidak memiliki konstitusi. Dalam konstitusi juga terdapat berbagai dokumen hukum, politik, dan ekonomi yang diharapkan mampu menjadi pedoman bagi suatu negara untuk menata dirinya”.

Penetapan hari konstitusi mungkin lumayan terlambat. Cuma, mengutip ungkapan klise nan masyhur, lebih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Selamat Hari Konstitusi. Mari peringati sejarahnya, bisa saja dengan bakar sate untuk mamahami kesederhanaan Soekarno.  Dan bangkitkan semangatnya!

Note: Artikel ini juga dimuat di detik dot com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun