Notifikasi WA saya berbunyi. Syekh Ismail, donatur masjid adalah Arab Saudi mengirim pesan, memberi kabar kalau ia telah mendarat di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar.Â
Hari ini saya akan mengantarnya ke salah satu desa di kaki gunung Bohong Langi, puncak tertinggi di Bone, Sulawesi Selatan.Â
"Syekh, tolong kencangkan seatbelt. Perjalanan kita menuju masjid cukup jauh. Dan akses jalan menuju ke masjid bahkan jauh lebih buruk daripada apa yang syekh bisa bayangkan, " Saya mewanti-wantinya sesaat setelah meninggalkan bandara.Â
"Ista'anna billah. Masyaina (kita jalan). Semakin sulit, semakin besar pahalanya. Kami datang untuk meresmikan masjid ibu. Bukan tamasya, " Tegasnya. Seketika saya bersemangat.Â
Dari desa Sawaru, kecamatan Camba, kami menempuh perjalanan ke atas sekitar 20 kilometer. 15 kilometer akses jalan milik kabupaten Maros, lima kilometer milik kabupaten Bone.Â
Perjalanan kami melintasi hutan memakan waktu dua jam dari Camba. Akses jalannya lebih cocok dijadikan trek offroad. Sementara kami hanya naik mobil Avanza. Matic pula.Â
Tak jarang bumper mobil menghantam onggokan batu besar di tengah jalan. Mundur kembali di tanjakan tinggi untuk mengambil start lebih kuat. Saya dipaksa fokus dan bekerja keras jika tak mau berakhir dalam jurang. Satu kesyukuran sebab kami bukan datang pada musim hujan.Â
"Benar kata kamu tadi. Akses jalan kita memang buruk, " Kata syekh tiba-tiba saat mobil mundur di tanjakan. Tapi ia terlihat tenang.Â
Percakapan kami sepanjang jalan sedikit menyerempet soal perhatian pemerintah pada fasilitas jalan. Entah mengapa, mayoritas akses jalan daerah pegunungan di Indonesia memang sering diabaikan oleh pemerintah.Â
Saya menceritakan pada syekh, di Seko, Luwu Utara, misalnya, penduduk lokal harus berkendara sekitar dua hari untuk sampai ke kota. Melewati jalan yang mirip kubangan lumpur.Â