Mohon tunggu...
Mudzakkir Abidin
Mudzakkir Abidin Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menulis

Menulis adalah sumber kebahagiaan. Ia setara dengan seratus cangkir kopi dalam menaikkan dopamine otak. Jika kopi berbahaya jika berlebihan dikonsumsi, namun tidak dengan tulisan, semakin banyak semakin baik buat otak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dikudeta oleh Teman Sendiri

26 Desember 2024   20:40 Diperbarui: 26 Desember 2024   20:40 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya melangkah masuk ke masjid dengan pakaian yang lengkap : jubah, jas, dan surban.

Dari pintu masuk, mata saya menatap ke arah mihrab dan menangkap sosok tak asing. Duduk tepat depan mimbar. Ia teman saya. Seorang da'i. Dari atributnya, ia juga siap khutbah.
"Jangan-jangan jadwal saya dibatalkan sepihak oleh DKM, digantikan sama teman, tanpa memberi tahu saya" sangka saya.

Tapi karena malu untuk tabayyun, saya balik ke motor. Jas dan surban saya masukkan ke bagasi motor lalu masuk kembali ke masjid. Saya memilih duduk di saf terakhir belakang tiang pula. Teman dan pengurus tak melihat saya datang. Untung pula jamaah tak mengenal saya.

Selesai shalat sunnah tahiyyatul masjid, HP saya aktifkan. Ada tiga panggilan tak terjawab disusul panggilan lain.
"Ustadz di mana? Khutbah mau dimulai " Tanya pria di balik telepon. Suaranya menekan.
"Saya ada di masjid bapak. " Jawab saya dengan nada pelan.
Lah, kok pengurus telepon saya. Berarti saya yang khutbah di masjid ini. Tapi pengurus yang telepon saya di mana yah?
"Tidak salah masjid, Ustadz? Ini masjid yang dekat Kostrad Kariango." Ujarnya dengan nada agak tinggi.

Saya menepuk jidat. Dada saya berdebar. Saat menyadari kalau saya berada di masjid yang salah. Tapi jarak masjid itu cukup jauh, sekitar 15 menit. Waktu sudah tak mencukupi untuk khutbah di sana.

Saya berkali-kali meminta maaf kepadanya sembari menjelaskan situasi saya dan mengatakan kalau tak mungkin lagi menyusul ke masjidnya.

Ia memutus telepon. Saya membayangkan betapa kesalnya ia.

Tapi saya bersyukur sebab tadi saya tak memiliki keberanian untuk konfirmasi ke pengurus masjid di mana saya berada soal jadwal saya. 

Bayangkan kalau saya tadi tanpa malu datang ke pengurus, ekspresi teman, pengurus, dan jamaah pada saya seperti apa yah? Apa yang akan mereka bilang pada saya?

Malunya pasti sampai ke ubun-ubun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun