Semuanya yang pernah lama ia nikmati, harus hilang beberapa waktu ini. Perasaan nyaman itu yang belum bisa membuatnya move on. Membuatnya tak bisa menikmati keberadaannya di Spidi. Ia kesepian dalam keramaian. Terasing dalam keberagaman. Â
Belum lagi di asrama, ia harus tidur lebih awal bangun lebih awal. Sesuatu yang tak pernah sama sekali ia lakukan sebelumnya. Aturan-aturan mengikat asrama menyiksanya. Memakai kaus kaki. Ciput. Tak boleh bersuara keras. Dan semacamnya.
Rindu mengundang tangis sedih. Sedih mengundang ketidaksemangatan. Lalu melahirkan semacam perasaan hampir putus asa. Puncaknya, ia memaksa untuk pulang. Tapi pihak sekolah tak memberikannya izin. Di sisi lain, juga berusaha terus menghiburnya dengan berbagai cara.
Hari itu Selasa pagi. Lebih sebulan sejak ia masuk di Spidi. Ustadz bahasa Arab yang baru itu memberikan nasihat di kelas sebelum mengajar. Bahasanya lembut. Mengalir bak air membasahi jiwa. Lalu bertahta di relung hati. "Anak-anakku yang shalihah sekalian, suatu saat nanti, kalian akan bangga terhadap semua rasa rindu pada orang tua, rasa sulit, rasa lelah, rasa sedih, dan sebagainya dalam kehidupan berasrama karena kalian berhasil melewati semua itu."
"Kelak kalian akan berkata pada si manja yang ada pada diri kalian, hai manja, kamu pernah berusaha mencabut mimpiku. Cita-citaku. Impianku. Tapi tekadku berusaha melawanmu. Inilah aku sekarang yang tak bisa kau kalahkan. Inilah aku sekarang yang sukses menghafal Al-Qur'an." Lanjut sang ustadz dengan suara bergetar.
Tita seperti tersengat. Tersentak. Seumpama peluru menghujam dadanya mendengar untaian kalimat sang ustadz. Lalu pelan ia mengingat mimpi yang pernah ia tulis di buku diarinya. Yah membahagiakan orang tua. Tersadar harapan ayah dan ibu padanya. Teringat ucapan ayah saat malam terakhir ia di rumah sebelum masuk asrama "Nak, ayah dan ibu lebih bangga kalau Tita bisa hafal Al-Qur'an dibanding Tita berikan kami harta."
Air matanya membulir, menetes pelan. Hangat di pipinya. Tapi dengan cepat ia mengelapnya. Malu kalau ketahuan teman-temannya. Tapi, air mata itu tak seakan tak mau kompromi. Terus jatuh tak bisa ia kontrol. Terlanjur. "Biarlah ia jatuh" katanya dalam hati. Teman-teman memerhatikannya. Tapi Tita sudah tak peduli.
Penyesalannya teramat besar. Sungguh ia hampir saja kalah oleh perasaan manjanya. Keinginan untuk bebas. Pun rindu dan sedihnya.
"Tita, kamu ini kuat. Kamu ini punya mimpi. Kamu cerdas. Kamu hebat. Masa harus kalah sama perasaan manja itu, kamu harus berkorban .." Ia terus membatin pada dirinya.
Sejak sang ustadz keluar kelas, semangatnya mulai bergelora. Niatnya kembali ia tata. Agar lelahnya 'lillaah'. Teringat nasihat ibu direktur masa orientasi dulu "Saya kasih contoh, si A dan si B masuk pesantren. Si A niatnya karena Allah. Sementara si B karena terpaksa. Yang mana yang lebih menderita? Tentu jawabannya si B. Padahal mereka sama-sama tidur di kamar dan di kasur yang sama jenisnya. Sama-sama makan makanan yang sama. Belajar mapel yang sama. Belajar pada guru yang sama. Akhirnya si A sukses dan si B gagal."
Malam hari itu, ia tidur lebih cepat dari biasanya. Meski peraturan mewajibkan tidur lebih awal jam delapan malam, tapi Tita dan teman-temannya sering kali tidur telat karena bercerita. Kali ini Tita bertekad untuk tak sulit dibangunkan jam dua dini hari. Ia tidur lebih cepat daripada teman-temannya yang masih bergosip ria.