Ia nampak berdiri sendiri. Memandangi kucing yang sedang dikurung itu. Matanya sembab, untungnya hujan sedang turun, ia bisa menyembunyikan air matanya. Tapi meski pun seisi dunia tahu ia sedang  menangis, ia tetap tak peduli. Baginya melihat kucing dalam kurungan adalah penderitaan terdalamnya.
Aya, begitu ia dipanggil selalu, siswi kelas 8 Tahfidz B Sekolah Putri Darul Istiqamah ( Spidi ), Maros adalah seorang pecinta kucing. Cintanya kepada kucing tak main-main. Seumpama cinta Majnun kepada Layla.Â
Jika saja memungkinkan, ia akan membawa kucing masuk ke dalam kamar asramanya. Tapi tidak dibolehkan oleh pihak asrama, makanya ia lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang makan di mana banyak kucing bersileweran. Jauh lebih banyak dibanding berada kamarnya sendiri. Di mana dan kapan ia bisa bermain dengan kucing adalah tempat dan waktu terbaiknya.
Siang itu, selepas makan siang di dapur, ia harus menerima kenyataan. Melihat kucing-kucing beberapa dikurung, sebagian besar lainnya entah ke mana perginya. Hatinya tersayat, tapi seperti biasa, ia tak dapat membahasakannya. Semua orang tahu ia sangat bersedih, tapi tak ada yang bisa dilakukan kecuali menghiburnya saja.
Kebijakan terbaru kampus setelah liburan adalah menangkapi kucing-kucing liat penghuni DPU. Sebab teman-teman Aya (santri lain) sudah tak tahan lagi dengan aroma pesing kencing dan bau kotoran kucing. Itu sangat mengganggu selera makan mereka.
Dalam aturan sosial atau apa pun yang berkaitan dengan hidup orang banyak, selalu maslahat orang banyak lebih didahulukan dibanding maslahat individu. Menghindari gangguan lebih diutamakan dibanding mengambil manfaat jika keduanya harus bertabrakan. Lagi pula dalam konteks kucing-kucing dengan kotoran mereka, ini berkaitan dengan hak orang banyak, sementara Aya hanya sendiri.
Aya tahu itu, ia tak boleh egois. Meski hatinya betul-betul belum bisa menerimanya.
Dalam hatinya, meski kucing-kucing itu tak lagi nampak di DPU, ia tetap berharap bisa bersama mereka entah di mana dan kapan pun itu.
Kamu dan aku
Aya hanya bisa berdendang dalam hati, entah menghiburnya atau malah menambah kesedihannya.
"Jadi hentikan waktu di sini di bawah sinar bulan
Karena aku tidak pernah ingin menutup mataku
Tanpamu, aku merasa hancur seperti aku merasa kehilangan setengah dari diriku yang utuh. Tanpamu, aku tidak punya tangan untuk dipegang."