Saya teringat dulu saat pergi ke kampus pagi-pagi. Sebelum adanya busway. Naik Kopaja dari Kramat Raya Menuju Cikini, dari Cikini nyambung Kopaja lagi Warung Buncit, kampus Lipia.
Nyaris setiap naik Kopaja dari Cikini menuju kampus, selalu ada seorang anak muda pengamen yang selalu naik di lampu merah perempatan Taman Menteng.
Ia mengenakan baju seragam sekolah. Baju STM. Ujung bajunya disetel masuk ke dalam celana. Bajunya putih, celananya abu-abu.
Namanya Andri. Begitu ia menyebut namanya saat memperkenalkan diri sebelum mengamen. Katanya ia mengamen untuk membiayai sekolahnya.
Ia tidak bernyanyi. Hanya meniup seruling. Tapi irama serulingnya biasa saja. Tak istimewa.
Mungkin itu alasannya saya jarang melihat ada penumpang yang memberinya uang. Beda dengan pengamen yang suaranya bagus, banyak penumpang yang memberinya uang.
Saya selalu bertanya-tanya dalam hati orang ini sekolahnya di mana. Kapan masuknya. Bisa dibilang saya curiga. Karena pulang kampus di siang hari, Andri juga masih sering saya jumpai di Kopaja.
Suatu hari saya telat ke kampus. Mungkin sekitar jam sembilan pagi baru di Menteng. Ternyata Andri naik di kopaja yang saya tumpangi. Mengamen.
Lah, ini sudah jam sembilan. Ia masih mengamen. Terus kapan sekolahnya?
Ada banyak fenomena di mana pengamen atau pengemis mencari uang dengan cara meminta belas kasihan orang lain yang dikemas tipuan kecil yang umumnya kita semua sudah tahu itu kebohongan. Bukan hanya Andri dengan baju seragam sekolahnya.
Contohnya misalnya ibu-ibu menggendong bayi/anak kecil sambil mengamen di lampu merah. Atau pun malah mengemis. Sudah menjadi rahasia umum, kebanyakan anak yang digendong itu adalah anak sewaan, bukan anak mereka.
Mereka ingin menggunakan anak kecil tersebut sebagai alat untuk melipatgandakan rasa kasihan orang lain agar dengan rasa kasihan mendorong untuk memberi.