Setiap tanggal 25 November, kita merayakan Hari Guru Nasional. Tanggal 25 November disahkan sebagai Hari Guru Nasional oleh Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994 untuk memperingati Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Surakarta, yang sekaligus merupakan kelahiran PGRI.
Guru adalah salah satu pihak yang berperan penting dalam pendidikan, dan berintegrasi bersama dengan orangtua dan masyarakat dalam Trisentra Pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara. Jika kita hitung, siswa berinteraksi dengan guru selama 8 jam sehari (jam tujuh sampai jam tiga sore), dan sisanya berinteraksi dengan masyarakat, orangtua, dan beristirahat. Otomatis, guru akan sangat berpengaruh dalam pendidikan yang dialami masa depan bangsa. Lantas, bagaimana nasib profesi guru sekarang ?
Guru "Berkasta" Tinggi
Pada kebudayaan lampau yang banyak kita ketahui melalui cerita sejarah dan karya sastra, guru adalah sosok yang penting. Guru adalah seorang yang amat hebat, berilmu tinggi, dan bijaksana. Seorang guru bahkan bisa dicari oleh orang yang sangat jauh jaraknya hanya untuk berkonsultasi. Guru adalah orang yang dihormati dalam masyarakat.
Mungkin konteks guru pada zaman lampau berbeda dengan guru pada zaman tidak-terlalu-lampau saat perkembangan ilmu pengetahuan mulai terjadi dengan pesat. Guru menjadi pihak yang berilmu dan memiliki kemampuan untuk memberikan ilmu kepada muridnya, bukan seperti guru pada zaman dahulu yang diagungkan sampai-sampai dicari sedemikian rupa dengan banyak tantangan untuk dapat menyelesaikan suatu masalah.
Tetapi, bukan berarti guru kemudian menjadi tidak penting. Seiring dengan berkembangnya peradaban, kebutuhan akan pendidikan juga terus meningkat. Orang-orang mulai sadar dan disadarkan bahwa perkembangan zaman menuntut orang untuk semakin mengembangkan diri lewat pendidikan. Seperti pada zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia, misalnya, pendidikan merupakan hal yang mewah, begitu pula guru tetap orang yang dihormati dan bermartabat.
Profesi Guru di Masa Ini
Namun, tidak dapat dipungkiri, peran dan martabat seorang guru mulai menurun. Dalam tulisan Doni Koesoema di Harian Kompas, 25 November 2017, kondisi guru pada zaman ini adalah sesuatu yang sangat memprihatinkan. Perilaku kekerasan yang viral di media, tindakan ketidakjujuran, inkompetensi professional dan pedagogis, serta kesejahteraan hidup menjadi beberapa poin yang dapat digarisbawahi.
Sebagai seorang pelajar yang sebentar lagi akan memilih jalan hidup, terasa betul bagaimana profesi guru adalah profesi yang hampir selalu dinomorduakan. Tidak seperti jurusan lain yang memiliki pamor seperti teknik mesin, teknik industri, bisnis, manajemen, dsb, jurusan pendidikan dan ilmu sering dipandang sebelah mata.
Banyak alasan mengapa profesi guru menjadi kurang diminati. Pertama, guru dinilai sebagai profesi yang tidak memiliki masa depan. Banyak bimbingan pemilihan jurusan yang membimbing siswa untuk memilih jurusan yang dapat menjamin hidup ketika lulus, atau dengan kata lain jurusan yang lulusannya dapat mendapatkan pekerjaan yang layak dan hidup sejahtera. Dalam kasus ini, guru dipandang sebagai profesi yang berpenghasilan rendah dibandingkan dengan profesi lain seperti arsitek, insinyur, dan pengusaha. Jurusan pendidikan juga dipandang sebagai jurusan yang lulusannya minim kompetensi, karena "Cumabisa jadi guru doang."
Kedua, pengalaman yang dialami siswa berhadapan dengan lingkungan sekolah dan guru yang tidak membawa kesan. Kurikulum pendidikan menengah yang sedemikian rupa membuat sekolah sebagai momok yang harus dilewati karena sebuah formalitas. Demikian pula oknum guru sebagai pengguna kurikulum sebagai wadah interaksi dengan siswa tidak meninggalkan kesan yang baik lewat ketidakprofesionalan dalam mengajar. Alhasil, masa depan menjadi seorang guru tidaklah menggiurkan dibandingkan dengan pengusaha sukses ataupun dokter yang ahli.