"Wisata itu akumulasi dan penyatuan rasa..."
Keajaiban alam Indonesia sungguh tak tertandingi, setidaknya dibandingkan dengan daerah wisata di Asia Tenggara. Indonesia bukan hanya punya Pulau Bali yang namanya sudah mendunia tapi banyak sekali situs wisata alam dan sejarah yang menakjubkan. Pulau-pulau dan deretan gunung yang begitu indah yang membuat kita selalu teringat untuk bersujud kepada Sang Maha Pencipta.
Kawasan Bromo adalah salah satunya. Di tempat ini, kita bisa mensyukuri kebesaran alam semesta dan kuasa Sang Pencipta. Â Perjalanan wisata ke Bromo dimulai dinihari dengan niat menyaksikan matahari terbit di kawasan Penanjakan.
Kawasan wisata Bromo dikelola oleh Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Tiket masuknya sekitar Rp10.000 per orang dan menurut rencana akan naik jadi Rp25.000 per orang (domestic). Ada beberapa pintu masuk ke Bromo. Saya sudah pernah masuk melalui kawasan Sukapura, Probolinggo karena datang dari arah Malang. Jika memilih rute Malang, Probolinggo, kita akan berhenti di terminal jip hardtop kemudian menyewa mobil hardtop untuk melintasi kawasan pasir.
Kali ini, saya memilih rute dari Surabaya dan langsung ke Penanjakan. Jalur menuju Penanjakan lebih berliku dibanding jalur menuju Sukapura. Hutan lebat dengan pohon pinus besar serta tikungan curam membuat kita harus waspada. Di bagian bawah terkadang ada penjual durian dengan buah yang bulat besar dan menggoda.
Homestay
Berbeda dengan memasuki Bromo dari Probolinggo, di Penanjakan tidak banyak hotel. Kita bisa memilih menginap di homestay dan tinggal di tengah warga setempat. Mereka ramah-ramah. Harga homestay berkisar Rp300-500 ribu per malam. Homestay tempat kami menginap kemarin milik buk Indra. Per malam kami menyewa Rp400 ribu.
Rumah milik bu Indra mungil dengan dua kamar kecil, dapur, tempat makan, dan ruang tamu dilengkapi sofa dan televise. Tempat tidur dilengkapi sprei bersih dan selimut. Kamarnya cukup mungil untuk dihuni berdua. Namun udara yang berkisar 10 derajat pada dinihari di musim dingin dan 2 derajat pada musim panas memungkinkan kita tidur berdua di atas tempat tidur kecil. Boleh jadi lebih hangat.
Tersedia water heater untuk mandi air hangat, kompor gas untuk memasak air, dan peralatan makan secukupnya. Kehadiran kompor gas amat memantu untuk memasak air dan menyeduh mie instan. O iya mie instan ini makanan favorit di kawasan Bromo karena sulit mendapati nasi dan lauk pauk. Di mana-mana orang menjual mie instan baik dalam cup maupun biasa. Memasak air di sini lebih lama disbanding di Jakarta karena air yang sangat dingin. Namun setelah air panas mendidih, dalam waktu singkat akan dingin kembali. Jika kita makan mie instan sebelum habis, mie yang kita santap sudah dingin.
Satu fenomena lagi di homestay adalah ternak babi. Karena berlokasi di tengah permukiman penduduk, maka amat umum kita menjumpai kandang babi di belakang rumah. Warga Tengger beragama Hindu. Ini membuat seorang rekan saya sangat berhati-hati mengonsumsi makanan selain mie instan. Dia hanya makan buah. Kebetulan warung nasi memang sulit dijumpai. Yang ada bakwan malang..
Warung SBY
Salah satu fenoma umum tempat wisata Indonesia adalah Warung SBY. Ke mana kita pergi di kawasan wisata terkenal kita akan mendapati warung SBY. Sebutan itu mengacu pada Presiden RI yang pernah mampir di warung tersebut. Biasanya terpampang foto Pak SBY sedang singgah makan di situ.
Di Penanjakan, terdapat warung makan denga foto SBY besar. Orang menyebut warung SBY. Rupanya di sini Presiden SBY menikmati mie instan dan pisang goring hangat usai menyaksikan matahari terbit. Rombongan kami pun singgah di sini. Bukan karena ada foto SBY, tapi karena itu warung terdekat usai turun dari lokasi melihat matahari terbit.
Pagi itu matahari terbit sekitar pukul 05.35 WIB. Udara dingin menusuk tulang membuat perut yang sempat kami isi the manis panas dan mie instan cup di homestay kembali keroncongan. Maka kami mampir di Warung SBY ini. Kami menikmati mie goring instan, pisang goring, kentang goring dan teh manis panas. Seorang rekan mencari nasi goring. Tentu tidak ada. Tak mau kalah dia berujar ke pemilik warung. ‘’Kalau bapak sediakan nasi goreng sekitar 20 piring aja tiap hari pasti laku pak.’’  Menurut dia nasi goreng sangat pas untuk udara dingin.
Tempat Salat
Satu hal lagi yang menjadi catatan saya saat ke Bromo adalah tempat salat Subuh. Beberapa tahun lalu, utk wudhu pun sulit. Alhasil saya membeli Aqua untuk wudhu dan menumpang solat di warung. Teman saya salat di atas batu-batu yang datar.
Kesulitan fasilitas untuk solat Subuh rupanya bukan hanya kita orang awam yang merasakan. Presiden dan Wapres serta pejabat yang berkunjung pun merasakannya. Maklum untuk bisa menyaksikan matahari terbit kita sudah meninggalkan homestay jam 3-4 pagi. Kita salat Subuh dulu kemudian baru naik ke tempat mata hari terbit.
Nah, sekarang salat Subuh di Penanjakan tidak sulit lagi. Sudah ada Musala Syariah Mandiri sekitar 300 meter di bawah Penanjakan. Kemarin, saya berhenti parkir di depan musala utk salat Subuh di sini. Airnya sangat dingin. Bangunan musala ini baru dan dilengkapi areal parkir yang luas.
Rupanya musala ini baru diresmikan dan terafilitasi dengan bank syariah mandiri. Di pagar terdapat logo bank tersebut. Usai salat, saya menyewa ojek untuk menuju ke Penanjakan. Dengan ojek, ini saya menuju tempat mata hari terbit. Si ojek menunggu hingga saya turun dan kembali ke jip hardtop menuju Gunung Bromo dan Pasir Berbisik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H