Toxic Masculinity merupakan sebuah tekanan terhadap seorang pria, stigma yang dipaksakan terhadap pria yakni pria harus kuat, pantang menyerah, dilarang mengeluh, tidak boleh nangis.
Maskulinitas adalah karakter yang baik. Namun, bisa menjadi toxic atau salah ketika pria dituntut harus memiliki dan menunjukkan sifat maskulinnya setiap saat demi menghindari stigma 'laki-laki lemah'. Efek negatif akan muncul apabila Toxic Masculintiy tidak dapat dikendalikan dengan baik seperti kejadian bunuh diri, depresi, kekerasan seksual, serta bullying dan kekerasan.
Tindakan kekerasan pertama yang dituntut patriarki dari laki-laki bukanlah tentang kekerasan terhadap perempuan. Sebaliknya, patriarki menuntut semua laki-laki agar mereka terlibat dalam tindakan psikis, bahwa mereka membunuh bagian emosional dari diri mereka sendiri. Jika secara individu tidak berhasil melumpuhkan dirinya secara emosional, laki-laki dapat mengandalkan patriarki untuk melakukan dan memberlakukan kekuasaan yang menyerang harga dirinya.
Maskulinitas menurut (Connel, 1995: 76) Bukan tipe karakter yang bersifat tetap, atau selalu sama di manapun. Lebih tepatnya, maskulinitas itu menempati posisi hegemonic dalam pola relasi gender tertentu. Hal ini posisi yang selalu diperebutkan. Walaupun maskulinitas bersifat plural, namun dalam konteks sosial-budaya-politik-ekonomi terdapat konstruksi dan struktur maskulinitas tertentu yang melegitimasi dan melestarikan posisi dominan laki-laki di mata masyarakat.
Menurut American Phychological Asociation (APA) ada sebuah pemahaman yang salah tentang konsep maskulinitas, karena menurut APA para laki-laki memahami sifat maskulinitas, yaitu:
- Tidak memperlihatkan emosi (empati).
- Menjaga penampilan agar selalu terlihat kuat di mata orang lain.
- Kekerasan dinilai sebagai indikator kekuatan.
Dapat disimpulkan Toxic Masculinity mengajarkan seorang laki-laki untuk tidak mengekspresikan emosinya dan terlihat selalu kuat setiap saat dan setiap waktu. Untuk menanggapi sebuah permasalahan, laki-laki tidak diindahkan untuk memperlihatkan emosinya. Ketika laki-laki memperlihatkan emosinya mereka dianggap lemah dan feminim.
Hal ini mengakibatkan munculnya sifat agresifitas dan kekerasan pada laki-laki, tidak disiplin ketika berada di lingkungan, menyepelekan permasalahan akademis, dan berpengaruh pada penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang.
Selain itu, menurut O’neil (2008) pada penelitiannya menjelaskan tentang konflik pada laki-laki, tentang persepsi yang salah pada maskulinitas membuat laki-laki mengalami depresi dan masalah kesehatan mental lainnya. Tercatat pula kasus bunuh diri lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Karena ketika laki-laki menceritakan tentang masalah yang dihadapinya menunjukkan kelemahannya.
Berbicara tentang iklan dan budaya popular, keduanya sangat berkaitan satu sama lain. Saat iklan muncul melalui media, maka akan banyak sekali konsumen yang ingin membeli produk karena adanya tren produk baru yang muncul di kalangan masyarakat.
Salah satu iklan yang menarik adalah iklan rokok Gudang Garam dengan judul “Gudang Garam International – Jungle”. Iklan ini menampilkan sosok laki-laki yang digambarkan secara maskulin. Dalam iklan tersebut terlihat seorang pria yang berlarian melewati hutan ditemani sosok harimau dan elang sebagai gambaran laki-laki perkasa. Di akhir iklan tersebut laki-laki tersebut dirayu seorang wanita, diikuti dengan jaguar hitam di belakangnya.
Beranjak dari iklan tersebut, maka muncul pertanyaan bagaimana maskulinitas dan budaya popular dalam iklan Gudang Garam. Representasi maskulinitas dalam iklan Gudang Garam ditampilkan berbeda dan beragam pada pria, yakni pria sebagai pemimpin, pria sebagai makhluk yang memegang kuasa, pria sebagai makhluk narcissist, pria sebagai makhluk yang harus rupawan.