[caption id="attachment_267822" align="aligncenter" width="522" caption=" Suasana Kompas Ngabuburit on Campus di Kampus Undip Semarang. (Foto: Kompas/Sonya Helen Sinombor)"][/caption]
Kata ngabuburit, merupakan salah satu kata yang paling dihindari. Itulah fenomena yang ada di daerah kami. Tidak saja karena merasa canggung untuk mengucapkannya, tetapi juga terdengar tabu. Kecuali bagi pendatang baru, bisa saja ia mengucapkan hal itu. Meskipun tetap akan mendapatkan tawa gelak dari orang yang mendengarnya.
Istilah ngabuburit sepertinya sudah berjibun tertera di berbagai media cetak. Televisi pun seringkali menggelar acara yang berlabelkan kata ngabuburit pada bulan-bulan ramadhan seperti ini. Beberapa artis pun diusung untuk menyemarakan berbagai acara yang dihubungkan (dihubung-hubungkan?) dengan acara yang sepertinya dimaksudkan untuk menunggu saat berbuka puasa itu.
Masyarakat di tempat kami sebenarnya kerap juga menjumpai kata ngabuburit, ketika membaca surat kabar yang memberitakan kegiatan ngabuburit di tempat lain. Biasanya berita atau event acara yang ditampilkan dari rubrik nasional. Bila menemukan kata itu, di media massa misalnya, tetap saja dibaca, tetapi dalam hati. Tak mungkin, melafalkan dengan suara nyaring, sepeti suara sang deklamator ataupun laksana pembaca teks Pancasila saat upacara di Hari Senin.Selain takut jadi bahan tertawaan, sang pembaca pun merasa “ngeri” untuk melafalkannya.
[caption id="attachment_267830" align="aligncenter" width="557" caption="Salah satu suasana kegiatan Ngabuburit bersama salah satu Grup Band (foto:projects.bounche.com)"]
Di tempat kami, bahasa pergaulan sehari-hari sudah mengalami percampuran sedemikian rupa. Interaksi yang intensif antarasuku Banjar dan Jawa memunculkan istilah Baja, atau Banjar-Jawa.Kosa kata yang dipergunakan dalam percakapan pergaulan pun, acapkali berinteraksi antara kosa kata yang berasal dari bahasa Banjar dan Jawa.
Burit dalam percakapan sehari-hari di tempat kami berarti (maaf) pantat, dalam hal tertentu bisa juga berarti (maaf) lubang pantat, bermuasal dari Bahasa Banjar. Sedangkan ngabu,dalam pengucapanya sering terpeleset lidah menjadi ngambu yang berarti mencium, yang bermuasalkan dari Bahasa Jawa. Sehingga kata ngabuburit, kurang lebih merupakan kegiatan: mencium (maaf) pantat, atau mencium (maaf) lubang pantat.
Seorang warga di Kampung Sawahan Pelahari, yang biasa dipanggil Ninik Imah (56) yang merupakan penduduk asli dan memiliki beberapa menantu berketurunan Jawa, mengatakan merasa risih dengan penggunaan istilah ngabuburit. “Rasanya tidak nyaman mendengarkan kata itu, canggung dan risih. Sepertinya ada rasa tabu gitu ya?” ujarnya kepada penulis.
Penulis pun sebenarnya merasa canggung menuturkan soal ini. Hati pun rasanya enggan untuk menuliskannya. Tetapi apa daya, yang menulis kan bukan hati, tapi tangan. Dan tangan pun tampaknya tidak enggan, karena demi berbagi untuk KOMPASIANA. Bukankah pepatah telah mengatakan bahwa lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H