Mohon tunggu...
Akhmad Rozi
Akhmad Rozi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bertutur sapa, berbagi pengetahuan. \r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mengapa Ngabuburit Dianggap Tabu?

21 Juli 2013   06:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:15 1449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_267822" align="aligncenter" width="522" caption=" Suasana Kompas Ngabuburit on Campus di Kampus Undip Semarang. (Foto: Kompas/Sonya Helen Sinombor)"][/caption]

Kata ngabuburit, merupakan salah satu kata yang paling dihindari. Itulah fenomena yang ada di daerah kami. Tidak saja karena merasa canggung untuk mengucapkannya, tetapi juga terdengar tabu. Kecuali bagi pendatang baru, bisa saja ia mengucapkan hal itu. Meskipun tetap akan mendapatkan tawa gelak dari orang yang mendengarnya.

Istilah ngabuburit sepertinya sudah berjibun tertera di berbagai media cetak. Televisi pun seringkali menggelar acara yang berlabelkan kata ngabuburit pada bulan-bulan ramadhan seperti ini. Beberapa artis pun diusung untuk menyemarakan berbagai acara yang dihubungkan (dihubung-hubungkan?) dengan acara yang sepertinya dimaksudkan untuk menunggu saat berbuka puasa itu.

Masyarakat di tempat kami sebenarnya kerap juga menjumpai kata ngabuburit, ketika membaca surat kabar yang memberitakan kegiatan ngabuburit di tempat lain. Biasanya berita atau event acara yang ditampilkan dari rubrik nasional. Bila menemukan kata itu, di media massa misalnya, tetap saja dibaca, tetapi dalam hati. Tak mungkin, melafalkan dengan suara nyaring, sepeti suara sang deklamator ataupun laksana pembaca teks Pancasila saat upacara di Hari Senin.Selain takut jadi bahan tertawaan, sang pembaca pun merasa “ngeri” untuk melafalkannya.

[caption id="attachment_267830" align="aligncenter" width="557" caption="Salah satu suasana kegiatan Ngabuburit bersama salah satu Grup Band (foto:projects.bounche.com)"]

13743627401392309180
13743627401392309180
[/caption] Ketika menyaksikan acara yang ditayangkan dari sebuah stasiun televisi, yang biasanya “tayang langsung” atau live, mereka tetap saja menonton asalkan substansi acaranya masih memikat hati untuk ditonton. Hanya saja ketika pembawa acara melafalkan kata ngabuburit, hati sang penonton bisa tersentakdan kalau bisa menjerit. Tapi, apa daya hati kan tak bisa menjerit.Apa boleh buat. Tetapi tidak membuat mereka menutup telinga, atau bahkan mematikan televisi. Apalagi memukulinya. Tidak seekstrim itu. Karena dia sendiri akan menanggung kerugian bila itu dilakukan. Mereka tetap sajabersimpuh dengan khusuk di depan televisi, bila acara hiburannya memang layak tonton.

Di tempat kami, bahasa pergaulan sehari-hari sudah mengalami percampuran sedemikian rupa. Interaksi yang intensif antarasuku Banjar dan Jawa memunculkan istilah Baja, atau Banjar-Jawa.Kosa kata yang dipergunakan dalam percakapan pergaulan pun, acapkali berinteraksi antara kosa kata yang berasal dari bahasa Banjar dan Jawa.

Burit dalam percakapan sehari-hari di tempat kami berarti (maaf) pantat, dalam hal tertentu bisa juga berarti (maaf) lubang pantat, bermuasal dari Bahasa Banjar. Sedangkan ngabu,dalam pengucapanya sering terpeleset lidah menjadi ngambu yang berarti mencium, yang bermuasalkan dari Bahasa Jawa. Sehingga kata ngabuburit, kurang lebih merupakan kegiatan: mencium (maaf) pantat, atau mencium (maaf) lubang pantat.

Seorang warga di Kampung Sawahan Pelahari, yang biasa dipanggil Ninik Imah (56) yang merupakan penduduk asli dan memiliki beberapa menantu berketurunan Jawa, mengatakan merasa risih dengan penggunaan istilah ngabuburit. “Rasanya tidak nyaman mendengarkan kata itu, canggung dan risih. Sepertinya ada rasa tabu gitu ya?” ujarnya kepada penulis.

Penulis pun sebenarnya merasa   canggung menuturkan soal ini. Hati pun rasanya enggan untuk menuliskannya. Tetapi apa daya, yang menulis kan bukan hati, tapi tangan. Dan tangan pun  tampaknya tidak enggan, karena demi berbagi untuk  KOMPASIANA. Bukankah pepatah telah mengatakan bahwa lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.

13743619511889512196
13743619511889512196

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun