[caption id="" align="aligncenter" width="680" caption="Suasana penyambutan Nazaruddin di tangga pesawat (Dok: Agus Susanto/KOMPAS)"][/caption] Kepulangan Nazaruddin benar-benar menyita perhatian semua pihak. Kedatangannya benar-benar ditunggu. Bandara Halim Perdanakusuma, seakan-akan menjadi saksi, betapa Nazaruddin disambut penuh haru biru, bagaikan Panglima Perang yang pulang, setelah memenangkan pertempuran di kandang lawan. Arak-arakan begitu riuh mengiringi perjalanan Nazaruddin, baik ke Mako Brimob maupun ke Kantor KPK. Jutaan pemirsa menyaksikan detik-detik kepulangannya. Dua stasiun tv yakni Metro TV dan TV One menayangkan langsung secara eklusif. Beberapa pengamat baik yang pro maupun kontra ditampilkan oleh kedua stasiun televisi tersebut. Suasana penyambutan Nazaruddin yang begitu mengharukan itu, bisa jadi hanyalah kebetulan belaka, bukan sebuah skenario. Barangkali saja, memang mentalitas bangsa kita sekarang ini, adalah mental sinetron, sehingga begitu mudah terpukau dengan aksi yang melodramatik Nazaruddin. Sehingga timbul secara perlahan, semacam pemujaan yang tidak disadari kepada sosok Nazaruddin. Pembelaan atau pernyataan yang sekedar memberikan pujian kepadanya, memanglah belum terang benderang, selain oleh OC Kaligis. Tetapi banyak pernyataan pengamat yang turut menyeret emosi publik masuk ke dalam perangkap fragmen melodramatik Nazaruddin. Seolah-olah sosok yang teraniaya, tertindas. Sampai-sampai ada yang tidak rela, jika Nazaruddin disamakan dengan teroris. Karena, Nazaruddin adalah anggota DPR, anggota lembaga terhormat, mengapa diborgol segala. "Nazaruddin, teraniaya", Ujarnya. Tampaknya soal-saoal teknis yang dibalut dengan bahasa hukum telah dicoba dimainkan untuk mengecoh perhatian publik. Trik seperti ini, tampaknya ingin terus digulirkan sebagai alat untuk meraup simpati publik. Nazarudin dicoba ditempatkan sebagai sosok teraniaya yang diperlakukan secara tidak adil dan tidak beradab. Bila Nazaruddin berhasil ditempatkan sebagai sosok teraniaya, maka akan dengan mudah berbagai kasusnya dikaburkan atau bahkan dibelokan kesana kemari. Padahal perkara yang dituduhkannya, bukanlah kasus biasa. Kasusnya adalah maha kasus. Haruskah begitu mudah dilumpuhkan oleh  retorika hukum semata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H