[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Wakil Gubernur DKI Jakarta, Prijanto (Gb: Kompas Images//Banar Fil Ardhi)"][/caption] Nama Prijanto, tiba-tiba menyeruak ke permukaan. Wakil Gubernur DKI Jakarta ini, mengambil langkah yang tidak terduga sebelumnya: mengundurkan diri dari jabatannya. Prijanto dianggap memperpanjang daftar "pecah kongsi" kepala daerah yang sebelumnya, banyak menuai keprihatinan. Bermacam-macam pula reaksi yang muncul akibat pengunduran diri ini. Pengamat Politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens menyayangkan pengunduran diri Prijanto sebelum masa jabatannya berakhir. Boni memperkirakan, pengunduran diri Prijanto terkait dengan rencananya untuk maju pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta yang akan diselenggarakan pada Juli 2012 (Republika, 25/12/2011).  Peneliti LIPI Tri Ratnawati menilai keputusan Prijanto mundur sebagai wakil gubernur DKI Jakarta sebagai sikap yang tidak professional.Aksinya ini disebut sebagai bagian dari strategi untuk Pemilu Kada DKI Jakarta pada Juli 2012 (Detikcom, 26/11/2011). Dalam kasus serupa, beberapa waktu sebelumnya, Dicky Chandra, juga  mengundurkan diri dari jabatanya, sebagai Wakil Bupati Garut. Respon terhadap pengunduran diri Dicky Chandra, boleh dibilang cukup baik. Ia berhasil membangun opini publik, langkah pengunduran dirinya dielu-elukan, banyak pihak. Kisah pengunduran dirinya terdengar begitu heroik.  Bisa jadi, pengunduran diri, Dicky Chandra, tidak dapat dikaitkan dengan pemilu kepala daerah, karena jarak waktu Pemilu kepala daerah berikutnya masih cukup lama. Rentang waktu yang begitu dekat untuk Pemilu Kepala daerah DKI Jakarta, sangat mungkin untuk dikaitkan dengan pengunduran diri Prijanto. Meskipun, dibantah oleh bersangkutan bahwa sudah lama ia pikirkan. Alasan seperti ini, sulit diterima, di tengah riuh politik saat ini, dimana bursa rekruitmen calon kepala daerah oleh partai politik sudah mulai memanas. Langkah yang ditempuhnya dengan mudah dicurigai sebagai langkah yang mengikuti jejak SBY yang mengundurkan diri terlebih dahulu, kemudian baru mencalonkan diri. Setelah itu, membangun pencitraan yang "melo dramatik" guna menjerat "sentimen kesenduan", meraih simpati masyarakat. Banyak pihak menduga,  jejak seperti inilah yang akan dimainkan Prijanto. Langkah pengunduran diri Prijanto, memang sangat mudah dikait-kaitkan dengan Pemilu Kepala Daerah. Tetapi itu sebenarnya tidaklah mengapa. Seandainya, memang diniatkan dalam rangka mencalonkan diri sebagai kepala daerah, rasanya terdapat suatu kebaikan yang terkandung di dalamnya. Dengan tidak menduduki jabatan, akan mudah menghindarkan diri dari penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan politik pencalonan dirinya. Pengunduran diri seperti ini, idealnya juga dilakukan oleh Gubernur. Sehingga pencalonan seseorang sejak tahapan di internal partai politik maupun pada pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah, tidak terdapat calon incumbent yang menguasai birokrasi, anggaran dan sumberdaya pemerintahan daerah. Dengan cara ini, Kementerian Dalam Negeri bisa membuat terobosan administrasi negara yang bersifat operatif terkait kepemimpinan daerah menjelang pemilu kepala daerah. Sebelumnya usaha pengaturan kewajiban pengunduran diri kepala daerah yang mencalonkan diri pernah ada, tetapi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena menyebabkan berkurangnya masa jabatan seseorang (Putusan MK 17/PUU-VI/2008). Tetapi bila hal ini, bukan atas dasar kewajiban, tetapi dilakukan atas kesadaran dari yang bersangkutan, rela atas terkuranginya masa jabatan dan segala fasilitasnya, dengan harapan bisa berkompetisi dalam pemilu kepala daerah tanpa menyandang predikat incumbent, bukankah ini baik! Apa salahnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H