[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Tim advokad keluarga korban kasus Mesuji, saat di Komnas HAM (Gb: Ary Wibowo/Kompas)"][/caption] Betapa mendalamnya keprihatinan kita saat ini. Betapa terpuruknya martabat kita sebagai bangsa. Di satu sisi, kita harus mendengar kisah yang amat memilukan, demi mempertahankan, tanah lelulur, satu-satunya sumber kehidupan keluarga, harus rela meregang nyawa, tewas dibantai massal. Di lain sisi, kita telah dipertontonkan oleh perilaku keserakahan meraup kekayaan negara, menguras sumber daya alam, mengeruk uang negara, berfoya-foya, menggelar pesta pora dan bergaya hidup hedonis. Sungguh, gambaran ini, adalah potret sebuah negeri yang mengerikan. [caption id="" align="alignleft" width="250" caption="Gb: Yustisi.com"][/caption] Cobalah tengok mengapa ini bisa terjadi, di pemerintah sekarang ini, ada 30 orang warga Mesuji Provinsi Lampung. tewas dibantai secara masal. Sebanyak 120 orang petani juga di tahan di kantor polisi. Hal ini terjadi, karena warga menolak pencaplokan tanah miliknya, untuk dijadikan lahan kelapa sawit. Dalam rekaman video (diputar di Komis III DPR RI)  Tampak seorang aparat berseragam bersenjata api laras panjang, memegang kepala seorang, yang sudah dipenggal. "Bangunan ibadah dihancurkan, hasil panen singkong dirampas. Aparat juga ada yang memerkosa janda pada saat penggusuran," kata Bob Hasan, Kuasa Hukum warga Mesuji (Yustisi,14 Desember 2011). Apakah ini bukan sebuah tragedi yang menyayat hati, dimana di pemerintahan yang katanya berkomitmen menegakan hukum, bisa terjadi. Sungguh ini, mengerikan. Bagaimana tidak, nyawa manusia bisa begitu mudah dilenyapkan. Pemerintahan ini dilengkapi dengan perangkat keamanan yang di gaji dari uang rakyat. Dengan gaji yang diterima itu, apa yang dikerjakan untuk rakyat, sehingga pelaksanaan pembantaian massal seperti ini berjalan lancar dan sukses. Kita tahu bahwa aparat negara ini dilengkapi dengan berbagai perangkat organisasi seperti kesatuan intelejen dan keamanan (intelkam), dan lain sebagainya. Mereka tidak tahu? Apakah menjadi bagian pembantaian itu? Apakah masih merasa kurang dengan gaji yang diberikan rakyat lewat APBN, sehingga perlu mencari gaji tambahan dengan cara menghamba menjadi antek dari para cukong kelapa sawit. Peristiwa ini sungguh menyayat hati, merobek-robek harkat kemanusian sebuah berbangsa. Seolah-olah kita masih berada dalam alam rimba raya: yang kuat membunuh yang lemah secara membabi buta. Jargon pemerintahan: "komitmen penegakan hukum", dimana kau berada? Sungguh di luar kemanusian yang adil dan beradab. Lebih  tidak adil dan tidak beradab lagi, bila kejadian tragis ini direduksi sedemikan rupa. Peristiwa yang memilukan ini, "dipermak" dengan indahnya, menjadi perkara yang biasa-biasa saja, seperti sengketa dengan perusahaan, konflik horisontal, perkelahian antar kelompok (kampung) atau bisa saja dianggap sekedar kenakalan remaja (tawuran)?  Kemungkinan lain, bisa saja berbalik arah, pihak korban menjadi korban berikutnya, dengan berbagai dalih yang seolah-olah terkait dengan teknis hukum. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Tragedi memilukan ini, di kemudian hari, dapat dipastikan akan memunculkan berbagai versi.  Dari beberapa versi yang ada nantinya, sulit rasanya untuk mudah dipercaya, bila versi cerita, dibuat oleh pihak yang menjadi bagian dari isi cerita. Maka,  kehadiran Komnas HAM  sangat diperlukan. Mudah-mudahan dapat bekerja secara independen dan lebih masif.  Sebelumnya Komnas HAM, telah mengeluarkan rekomendasi terkait kasus ini, tetapi rekomendasinya tidak diindahkan secara maksimal (Kompas.com, Kamis, 15 Desember 2011).  Rakyat harus mengawasi. Kalangan DPR perlu memberikan tekanan politik. Saatnya DPR berbuat baik kepada rakyat. Kalau tidak, kapan lagi? Apa harus menunggu tahun 2014?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H