Mohon tunggu...
Acis S Syafi
Acis S Syafi Mohon Tunggu... -

OTW to the light

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Lovabika

14 April 2012   02:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah kesekian kali aku mengulangi rutinitas ini setiap pagi datang. Menyiapkan secangkir kopi, minuman kesukaanmu, yang sudah sangat aku hafal warna aromanya. Kau selalu mengingatkanku agar tak lupa meraciknya dengan resep spesialmu; “Secangkir kopi hitam dengan taburan manis cinta, lalu diseduh dengan kehangatan dan beberapa adukan kasih sayang.” Tanpa cara itu kamu tak bergairah meminumnya, dan itu akan menjadi sebab penyesalanku di sepanjang hari yang terlewati. Entah mengapa kejenuhan rutinitas ini hilang seketika begitu melihat manis senyummu di antara bibir cangkir yang baru saja kau kecup, diikuti ucapan hangatmu, “Terima kasih, Sayang”. Hidupku terasa sempurna menjadi wanita setiap kali mendengarnya.

Sebelum mengenalmu, aku hanyalah pelayan biasa di sebuah café tepian rawa Pening. Di Banaran Café itulah pertama kali kita bertemu, saat kau habiskan salah satu soremu duduk berjam-jam di sudut gazebo merampungkan bagian akhir novel “Aura-bica” yang kau tulis, ditemani secangkir kopi buatanku. Aku masih sangat hafal kejadian sore itu. Rasa sesal dan bahagia bercampur jadi satu dalam adukan secangkir kopi setiap kali mengingatnya. Tanpa sengaja kopi pesanan kedua yang kusuguhkan kali itu tumpah tepat menyiram laptopmu. Kejadian buruk berlanjut, seluruh sistem dan data di buku pintarmu hilang, sama hilangnya harapanmu menyelesaikan novel berharga  yang sudah kau tulis beratus-ratus halaman.

Kamu pantas untuk memarahiku, memakiku dan mengumpatku sebisamu dengan bahasa apapun. Aku siap menerima semuanya, walaupun itu bukan akibat dari kesengajaan. Namun, gurat kemarahan dan kejengkelan itu begitu pintar kau sembunyikan. Hanya hembusan nafas panjang yang ku dengar, itulah caramu mengusir energi jahat kemarahan. “Ma.. mma.. maafkan saya, saya nggak sengaja”, kalimatku terbata-bata penuh penyesalan. Tanpa ada jawaban dari mulutmu, kamu hanya tertunduk lesu melihat laptopmu tak bernyawa lagi. Perasaan bersalahku semakin besar, di hadapan dingin diammu.

--***--

Di sore yang lain kamu datang dengan aroma berbeda. Masih duduk di pojok gazebo favoritmu, memandang jauh ke tengah rawa Pening yang mulai dangkal dengan rimba enceng gondok. Syukurlah kamu tak kapok datang lagi ke tempat ini. “Selamat sore, Mas!” dengan mengumpulkan keberanian yang ada aku mencoba menyapamu. “Sekali lagi maafkan saya atas kejadian beberapa hari lalu”, pintaku. Ku berharap ada kata ‘iya’ keluar dari bibirmu, atau setidaknya sebuah anggukan kau berikan. Itu cukup untuk mengobati penyesalanku. Tapi kau hanya tersenyum. Kuartikan senyum itu sebagai penerimaan maafmu.

Untuk pertama kalinya setelah kejadian di sore itu kamu berbicara padaku, “Aku dimabuk rindu kopimu.” “Tolong buatkan aku secangkir kopi spesial, dan ini resepnya”, selembar kertas terlipat dua kau sodorkan berisi resep khususmu, resep kopi yang asing dan tak tersedia di café tempatku bekerja.  “Kopi Lovabika: kopi hitam dengan taburan manis cinta, yang diseduh dengan kehangatan dan beberapa adukan kasih sayang”. Lama aku menerjemahkan resep itu. Baru ketika aku suguhkan kopi yang kau pesan, walau tak persis seperti resep yang kau tuliskan, semuanya terjawab lugas dengan kalimatmu yang tegas, “Bersediakah kamu menikmati secangkir kopi bersama di rumah cintaku?” Dan.. Senyuman, itulah yang ku berikan sebagai jawaban.

---***---

Selepas subuh seperti biasa kamu duduk di bangku kecil depan rumah kita, ditemani buku atau jurnal sastra sambil menungguku hadir membawakan secangkir kopi Lovabika. Pantang bagimu kembali terlelap setelah jama’ah sholat Subuh ditunaikan. “Aku ingin menyaksikan para malaikat turun membagi rizki, dan akan ku pastikan mereka tidak lupa mampir ke rumah kita,” jawabmu setiap kali aku menanyakan kenapa. Dan memang benar, rumah kita tidak pernah sepi dengan limpahan rizkiNYA. Memiliki suami hangat sepertimu dan buah hati yang lucu adalah sebuah kemewahan besar bagiku.

Sejauh perjalanan rumah tangga kita hingga hari ini semua tampak begitu sempurna bersamamu. Namun, pagi ini aku menangkap sesuatu yang lain di wajahmu. Tak tampak lagi senyuman indah yang ku nanti-nantikan setiap pagi. Matamu mengatakan ada sesuatu yang hendak kau keluarkan. Tatapanmu lekat menembus dinding hatiku yang mulai goyah, resah merasakan adanya kejanggalan. Adakah yang salah dengan kopi yang ku suguhkan? Aku merasa sudah sangat hafal betul dengan resep Lovabikamu. Atau jangan-jangan..? Hatiku mulai tercabik-cabik dengan ribuan pertanyaan dan prasangka.

Hingga akhirnya kata-katamu keluar membelah keheningan pagi yang masih dingin karena hujan semalam. “Aku ingin mengatakan sesuatu yang sangat penting artinya bagiku juga bagimu. Ku harap kau tak kecewa dan menerimanya. Apapun yang terjadi tetaplah mencintaiku apa adanya”, rangkaian kalimatmu semakin membuat jantungku berdegup kencang. “Maafkan aku.. Aku telah jatuh cinta lagi!” bagai halilintar menyambar di pagi buta aku mendengar pengakuanmu. Mendung di mataku seketika tumpah sederas hujan semalam.

“Oh.. Betapa kejam dirimu. Kesetiaan dan pengabdianku kau balas dengan penghianatan. Ketulusan cintaku selama ini tak ada artinya di sisimu. Memang dulu aku hanya pelayan berpenampilan pas-pasan, tapi bukankah kau yang telah memilihku? Jika diriku tak lagi cantik, itu bukan berarti pembenaran bagi alasanmu untuk jatuh cinta lagi. Lalu mengapa kau hadiahi aku bayi mungil kalau kau hanya akan membawanya pada kebingungan memiliki dua ibu? Pahitnya adukan Bratawali tak sepahit perasaanku pagi ini. Ku biarkan air mata ini semakin deras mengucur, mengalir bersama hatiku yang sedang hancur.

Hatiku pasrah menerima apapun keputusanmu. Perlahan ku rasakan hangat telapak tanganmu menjamah samping  telinga kanan kiriku. Kedua ibu jarimu mengusap lembut bawah kelopak mataku, menyeka air mata yang masih deras keluar tak terbendung. Tatapanmu tajam dan bahkan tak ada rasa bersalah sedikitpun terhadap kata-kata yang baru saja kau ucapkan tadi. “Sayang, dengarkan dulu penjelasanku”, suaramu menginterupsi berontak hatiku. “Aku jatuh cinta lagi bukan dengan orang lain. Maafkan aku.. Aku jatuh cinta lagi denganmu! Kaulah istri terbaik yang tak tergantikan oleh siapa pun. Kopimu pagi ini begitu istimewa, sehingga mengingatkanku pada kenangan manis dulu sewaktu kopi Lovabika menyatukan kita,” penjelasanmu bagai guyuran dingin air hujan menyirami hati yang terbakar cemburu. “Terima kasih kau tetap setia menemaniku minum kopi bersama di rumah cinta kita. Aku kesepian tanpa hadirmu”, senyumanmu kembali merekah sama seperti senyuman-senyuman yang ku lihat kemarin.

Maafkan aku telah mengartikan salah caramu mengucapkan terima kasih. Pagi ini hatiku terbang jauh tinggi bersama sekawanan burung menyambut indah mentari yang mulai muncul dari balik mendung. “Terima kasih sayang, kau telah menghangatkan cintaku bersama kopi Lovabika.”

[*srutup kopi* Bulung, 14-4-2012, 07:33]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun