HP saya bordering. Sebuah pesan singkat masuk.
“Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun. Akh ***, ketua ********, meninggal akibat kecelakaan menghindari kendaraan, 27 Agustus 2011, saat mau menghadiri rapat di *****. Dirawat di RS 12 hari, dimakamkan besok j 2,di dusun ****, pukul 14.00. Meninggalk an 1 istri dan 2 orang anak ( kelas 4 SD dan 2 tahun). Itulah profil mujahid kita,meninggal saat menjalankan amanah dakwah. Sebarkan akh..!!
(maaf, sebagian saya tutup untuk menjaga privasi)
Degg….
Pesan tiga halaman itu menghentak. Seolah tak percaya kabar yang kuterima.
Pikiranku melayang membayangkan orang-orang terdekatnya. Isteri dan anak-anaknya yang masih sangat butuh kasih sayang seorang bapak.
Kematian adalah suatu kepastian. Sebagaimana seorang ustadz membahasakan. Masa depan itu ada 2. Pertama yang mungkin dan yang kedua yang pasti.
Masa depan yang masih dalam kategori mungkin misalnya: menikah, mungkin saya menikah, mungkin juga tidak atau sukses. Mungkin saya sukses mungkin juga tidak. Bahkan yang ektrim, mungkin saya masuk syurga atau mungkin saya masuk neraka. Meskipun bisa diusahakan tetapi contoh-contoh ini tidak ada kepastian. Sehingga masuk dalam kategori “mungkin”.
Sedangkan masa depan yang masuk dalam kategori pasti adalah kematian. Kematian itu begitu dekat dengan kita.
Sudahkah kita siap menghadapi kematian itu? Ketika kita mengaji, kita selalu diingatkan untuk mempersiapkan bekal menjemput kematian. Dengan beramal sholeh dan beribadah.
Itu untuk bekal kehidupan setelah mati. Dengan beramal sholeh dan beribadah. Sedangkan kita juga perlu mempersiapkan sesuatu untuk keluarga. Bukankah kitadiingatkan agar tidak meninggalkan genarasi yang lemah. Lemah ilmu, lemah iman juga lemah secara ekonomi.