Mohon tunggu...
Akhmad Zailani
Akhmad Zailani Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis/penulis

lelaki sederhana yang berusaha baik hati

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tersenyumlah Untukku, Fay …..

1 Juli 2011   22:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SENYUM UNTUK FAY

FAI masih jongkok sendirian di depan kuburan May. Gundukan tanah di depannya penuh dengan kembang dari tujuh macam rupa, yang ditaburkan merata di atasnya. Baunya menyapa dan menegur hidunya. Dia mematung sejak pagi. Sejak tubuh May dimasukkan ke dalam tanah di hadapannya. Dia tak bergerak. Tak mengeluarkan air mata. Tak bersuara sepatah katapun. hanya diam membisu. Hanya ... Fai begitu terpukul atas kematian May! Sementara itu, mendung yang menggantung di langit sudah letih mengajaknya berbicara. Hingga akhirnya siang itu, gerimislah yang jadi lakon utamanya .... *** SAMARINDA yang elok. Sinar matahari mulai pudar warnanya setelah siang tadi benda bulat itu memancarkan sinar kehidupan. Dan, kini, cuaca yang cerah milik Kota Tepian. Pagi tadi nggak sekolah. Karena aku yakin, pelajaran Biologi kosong. Gurunya pergi ke Malinau. Aku tahu itu. Sekarang aku berniat pergi ke rumah Fay. Aku ingin melihat keadaan sahabatku itu. Sudah berapa minggu nggak bertemu dengannya. Nah untuk itulah aku datang beranjangsana ke rumahnya. Ding dong ... Setelah memencet bel yang terletak di sisi pintu depan rumahnya, aku menunggu tak lama. Pintu terkuak lebar. Bukan Fay yang membuka pintu, tapi adiknya Rin. ‘’Fay ada, El?’’ ‘’Ada tuh di kamarnya. Masuk aja, Bim,’’ Ela gadis tinggi semampai itu tersenyum. ‘’Faaay... ‘’ teriaknya memanggil sang kakak. Aku melepaskan sepatu kets. Lalu melangkah menuju ke kamar Fay. Semua penghuni di rumah Fay sudah tau dan kenal siapa aku. Termasuk kucingnya si Ella, Madonna. Aku memang orang terkenal kok ... di rumahnya Fay maksudnya. Aku sering mau ke rumah Fay. Tok! Tok! Tok. Ku ketok pintu kamar Fay. ‘’Masuk! ‘’ teriak Fay dari dalam. Aku masuk dan meletakkan pantat di bangku belajarnya. ‘’Nggak keluar, Fay?’’ Di meja belajarnya itulah Kahlin Gibran bertemu dengan Arsewendo Atmowiloto penulis idolanya, dalam bentuk buku. Berbaris rapi. Fay berbaring di ranjang sambil menatap wajah close up May di bingkai berukuran 16 R. ‘’Enggak. Lagi malas ....’’ ‘’Masih ingat dengan  May, kamu Fay’’. Sementara forever in love-nya Kenny G mengalun lemnbut dari mini compo di sudut kamarnya. ‘’May sudah tentram di sisi-Nya Fay ... aku nggak ingin kamu hanyut terbawa perasaanmu sendiri!’’ ‘’Aku nggak bisa melupakan dia, Bim. Enggak bisa!’’. ‘’Sebagai sahabat, aku nggak tega ngeliat kamu terus-terusan begini Fay. Sekolahmu jadi terbengkalai. Kamu selalu nggak bersemangat. Nggak bergairah. Kamu tampak loyo, Fay!’’. ‘’Kamu nggak ngerti Bim. Kamu ...’’. ‘’Kita masih muda, Fay. Masih banyak yang bisa kita lakukan. Kita punya masa depan, Fay! Bukan hanya menyesali yang sudah terjadi,’’ potongku. Aku menatap wajahnya. Menatap anak berambut gondrong itu! Seandainya kamu tahu, Fay. Kamu lebih beruntung dari aku. Seandainya kamu tahu kalau di tubuhku yang kurus ini bersarang penyakit yang ditakuti dan mematikan. Leukimia, Fay!. Aku selalu dihantui waktu, Fay. Walaupun suasana sekolah tak berarti lagi bagiku, tapi aku tetap turun Fay. Aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Bila masih diberi waktu Fay, aku ingin kuliah di Pertanian, Fay. Turun ke sawah bekerja bersama Pak Tani. Seandainya kamu tau, Fay ... ‘’Aku begitu mencintainya, Bim ‘’ suara Fay mengiba. ‘’Fay ...Fay. Ingat Fay, May sudah meninggal. Yakinlah May sudah bahagia di alam-Nya. Berusahalah melupakannya. Tinggal kamu aja lagi sekarang. Hadapi dan gunakan sisa hidupmu sekarang Masih banyak cewek yang perlu cinta dan dicintai. Jalani hidup ini apa adanya. Seperti air yang mengalir, seperti matahari yang terbit pagi hari lalu tenggelam sore hari ... Fai hanya diam. Cukup lama aku menasehatinya. ‘’Aku pulang dulu, Fay. Sudah hampir magrib ...,’’ ujarku akhirnya sambil melihat jam di meja belajar Fay. Fay hanya mengangguk. Sementara itu suara saksofon Kenny G sudah sedari tadi berhenti. *** BEBERAPA hari kemudian. ‘’Terima kasih, Bim atas nasehatnya. Aku bangga punya sahabat sepertimu. Aku akan berusaha hidup lebih baik, walaupun aku belum bisa melupakan May ...’’ kata Fay sewaktu bertemu aku di sekolah. Aku tersenyum. ‘’Aku berkenalan dengan seorang cewek cakep, Bim. Rambutnya panjang. Dia begitu mirip dengan May. Aku berkenalan dengannya di sebuah toko buku. Dia begitu baik. Dia sering menepon ke rumah. Dialah yang membuat hidup aku kembali bergairah dan bersemangat. Dialah yang membuat hidup aku kembali berwarna dan hari-hariku kembali indah. Dialah ... ‘’cerita Fay. Aku bersyukur,  Fay kembali bergairah menyongsong hidup, yang sebenarnya indah. *** MALAM minggu yang suram bagiku ... Aku duduk termenung sendirian di teras rumah sambil menatap bulan yang iba melihatku. Aku tiada henti mengajakku bercanda, dengan memainkan rambutku yang gondrong. Tapi aku tak menghiraukannya. Biarkan angin malam yang centil mengganguku. Biarkan angin malam menambah sakit hatiku. Biar! Aku tak peduli. Aku baru tau, kalau yang membuat hidup Fay kembali bergairah itu sebenarnya adalah ... Vi, pacarku sendiri! Aku baru tahu! Aku masih sendiri. Sendirian. Pikiranku melayang jauh. Ingatanku menerawang ketika bersama Ella mengukir cinta pelangi di dua hati kami. Pada saat ... ah, aku menarik napas panjang. mendesah panjang. Aku ingin menangis. Fay sendiri hingga sekarang nggak tau kalau Vi itu pacarku. Kini Vi telah memutuskan hubungan denganku. Oh ... Tuhan bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa mesti Vi. Padahal Vi  yang membuat hidupku bergairah dan bersemangat menatap matahari. Vi  yang membuatku berani menantang hidup. Vi  sebenarnya yang membuat aku mampu bertahan menghadapi leukemia yang bersarang di tubuhku. Oh Tuhan ... berilah kekuatan padaku. Mampukah aku membuat sisa hidupku agar sedikit berarti dan memulainya dengan cerita hidup yang baru lagi? Ah, biarlah aku punya kebanggaan sendiri dengan membuat Fay, sahabatku itu tersenyum di sisa akhir hidupku. Samarinda,  Februari 1985

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun