Mohon tunggu...
Akhmad Zailani
Akhmad Zailani Mohon Tunggu... Jurnalis - jurnalis/penulis

lelaki sederhana yang berusaha baik hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita pendek: Bau Busuk dan Setumpuk Telinga di Tong Sampah (protes cerpenis se Indonesia atas kondisi politik Indonesia saat ini)

29 Mei 2014   16:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:59 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita pendek: Bau Busuk dan Setumpuk Telinga di Tong Sampah (protes cerpenis se Indonesia atas kondisi politik Indonesia saat ini)

protes cerpenis se Indo atas kondisi politik Indonesia saat ini Antologi 20 Cerpen Kritik Sosial Se-Indonesia (penerbit Kendi Aksara- Bali-2013)- cetakan pertama Cerita pendek: Bau Busuk dan Setumpuk Telinga di Tong Sampah

I

PALUI namanya. Tukang angkut sampah. Rumahnya sekitar 50 meter dari tempat pembuangan akhir sampah dan sekitar 500 meter atau mungkin lebih dari gedung parlemen di kotanya. Soal sampah, jangan ditanya hidung bapak beristri satu dan sembilan anak ini sudah kebal dengan berbagai wajah bau, terutama bau busuk dari berbagai kotoran. Karena kerja di Kantor Dinas Kebersihan dan Pemakaman kota itulah, Palui jadi akrab dengan sampah. Padahal gajinya tak seberapa. Tak ada apa-apanya dibandingkan dengan gaji sekelompok orang yang mewakili dirinya dan berkantor sekitar 500 meter lebih tersebut dari gubuknya. Tapi Palui bangga, karena digaji sesuai dengan kerja yang dilakukannya. Sekalipun tak ada fasilitas dan berbagai tunjangan seperti yang dinikmati orang-orang di gedung yang berjarak sekitar 500 meter lebih tersebut. Bahkan, boleh dikatakan Palui lebih punya banyak waktu mengurusi sampah dibandingkan menggeluti bininya di rumah. Pagi hingga siang bersama teman-temannya Palui mengangkuti sampah ke dalam dump truk dari tempat-tempat pembuangan sampah di pinggir-pinggir jalan. Sorenya, Palui menambah kerja sampingan, masih sebagai tukang angkut sampah di lingkungan perumahan mewah di dekat rumahnya. Malamnya baru dia bisa mendekap istrinya, yang juga kelelahan karena setengah harian bekerja sebagai tukang cuci pakaian di perumahan mewah di dekat rumahnya. Sekalipun kebal bau, sebenarnya hidung Palui tak bisa dibohongi. Sudah semenjak lama, hidungnya mencium bau yang lebih busuk. Bau busuk yang aneh. Bau busuk tersebut bukan berasal dari tempat pembuangan sampah 50 meter dari rumahnya, tapi dari tempat yang berjarak sekitar 500 meter atau mungkin lebih. Bila boleh digambarkan bau busuk tersebut bagaikan campuran bau busuk dari tikus atau manusia yang mati berhari-hari ditambah dengan bau berbagai sampah kotoran manusia. Anehnya, bau busuk itu lebih tajam dari bau busuk gunung- gunung sampah, yang berjarak 50 meter dari rumahnya. Masih lebih bau busuk dari septic tank. II CURUT panggilannya. Dia menjadi wakil rakyat setelah membeli suara per satu orang pemilih Rp 100 ribu ditambah sekantong plastik sembako; gula, kecap yang nomor 1, minyak goreng, ikan asin dan 2 bungkus mie. Jumlah suara Curut saat pemilu lalu tak cukup untuk memenuhi kuota yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum setempat, namun setelah dihitung dari suara-suara sisa, ternyata Curuk ikut terpilih. Selain modal duit membeli suara, modal Curut lainnya yakni berkarung-karung janji. Curut sangat pandai melakukan serangan fajar atau money politic. “Bila saya terpilih, rakyat akan sejahtera …,’’ ujar Curut saat kampanye. Kenyataannya setelah terpilih, Curut lebih dulu sejahtera, selanjutnya keluarganya lalu teman-temannya. “Saya siap membela kepentingan rakyat …,’’ bagian lain kalimat Curut. Faktanya setelah terpilih, Curut malah membela pihak-pihak yang menguntungkan dirinya, keluarganya dan partainya. Saat dialog, Curut berkata ; “sebagai wakil rakyat saya hanya memfasilitasi saja …” Ketika masyarakat datang menagis janji kepadanya, Curut malah tersenyum sinis; “Syukur- syukur masih saya beri janji, daripada tidak saya beri sama sekali …”. Bila ada yang berkata; Curut adalah figur politisi yang tak tahu malu alias muka tembok dan tak tahu diri, memang benar adanya. Karena suatu hari, saat angin menerbangkan selembar poster bergambar calon presiden dan wakil presiden yang tergeletak di jalan, lalu kemudian dilindas roda kendaraan, Curut pernah menemui Palui untuk menanyakan; apakah Palui pernah melihat atau menemukan kemaluan dirinya yang hilang. “Kemaluan saya tak mungkin tertinggal di kakus. Apakah anda pernah menemukan atau melihat semacam kemaluan di tumpukan bak sampah?’’ ujar Curut kepada Palui. “Kok bisa hilang?” Palui heran. “Malamnya sebelum hilang, rasa-rasanya masih saya gunakan untuk bercinta dengan simpanan saya,’’ Curut berusaha mengingat-ingat. Kira-kira mungkin beginilah pikiran Curut : Sebelum ke kakus untuk mandi, aku rasa kemaluanku masih ada. Menggantung dan berkibar-kibar loyo seperti bendera Jepang, yang kalah perang dunia ke II. Saat tiba di kantor, dan tahu kemaluanku hilang, aku kembali ke kakus untuk mencari-cari. Aku lihat di lobang closet tidak ada, di dalam bak mandi juga tak ada. Kemana kemaluanku? Apakah tadi kemaluanku menyusul ke kantor? Tapi kakinya tak ada. Atau jangan-jangan kemaluanku ke kantor polisi untuk melapor telah kehilangan. Atau ke pengadilan untuk mencari keadilan, atau malah jangan-jangan ke kejaksaan untuk menuntutku yang telah lupa sehabis mandi pagi dan masih kotor. Atau kemaluanku menemui wakil rakyat minta difasilitasi. Tapi kemaluanku tak punya mulut? Apa bisa berbicara dengan kemaluan milik polisi, milik hakim, milik jaksa atau pun milik wakil rakyat. Atau jangan-jangan sudah dimakan tikus. Oh, mana kemaluanku? III KEMBALI ke soal bau busuk. Sekalipun Palui yakin bau busuk itu berasal dari gedung parlemen yang berjarak sekitar 500 meter lebih bukan bersumber dari gunung sampah yang jaraknya 50 meter dari gubuknya, tidak lah demikian menurut keyakinan Curut. Keyakinan Curut mengenai bau busuk yang mengolok-ngolok dirinya itu, begini; “Aku tak menyadarinya. Kalian terus menuding; ‘’ Bau busuk itu berasal dari diri kau dan juga teman-teman kau. Bau busuk itu telah membunuh anak-anak kami! Membunuh keluarga kami!’’. Mereka menutup hidung. Mereka menyalahkan kami. Aku mengendus- ngendus, menciumi ketek, menciumi selangkangan. Tak ada bau. Aku sudah mandi uap, ber spa, luluran sekalian massage menggosok daki, sekalian ho-oh seharian di salon simpananku. Lalu aku berendam di bathtub sebuah hotel mewah. Tapi kalian masih menuduh diriku berbau busuk. bau busuk darimana? kalau bau busuk dari tahi di perutku yang belum dikeluarkan, kalian pun punya pula. Ini fitnah. ini pembunuhan karakter”. Curut sudah membantah. Tapi masyarakat malah beramai-ramai mendatanginya dan teman-teman. “ Kalian membawa poster. Bertuliskan tuntutan mundur; jangan cemari negeri kami. Padahal kami sedang duduk-duduk santai . membaca koran, yang bertumpuk di meja di sebuah gedung yang sama nilainya dengan 1000 rumah sangat sangat sederhana sekali (RSSSS). Padahal kami baru jalan-jalan dari luar kota dan luar negeri. Padahal kami habis ho-oh di sebuah hotel mewah di Jakarta. Kalian yang datang dengan tutup hidung masih tak percaya. Aku dan teman-temanku saling mencium. Saling menciumi ketek dan selangkangan. Tapi tak juga terdeteksi bau busuk itu. Apakah hidung kami telah mati. dan hanya bisa menciumi bau uang? Curut dan teman-temannya mengguyur tubuh dengan farfum minyak super wangi. Seluruh gedung juga sudah mereka semprot dengan bermacam-macam minyak harum. Puluhan drum berisi minyak harum sudah habis, tapi bau busuk menurut hidung masyarakat masih ada. Padahal minyak wangi yang diseprotkan lebih mahal dari minyak wangi yang sering dipakai penjaja seks komersial. Besoknya kalian datang lagi. Lebih banyak lagi. Ribuan. Jutaan. Terus berdatangan pakai masker. Mengepung. Mengutuk. Meludahi. Mengencingi. Memberaki. Sehingga gedung kami berbau pesing. Gundukan tahi janji telah dikembalikan ke kami. Kalian terus berdatangan, seperti tawon, yang akan menyengati kami. Dan kalian terus saja berteriak-teriak, dengan lidah menjulur hingga urat leher putus; ‘’kalian memang busuk!’’ . IV 1998. Masyarakat termasuk mahasiswa berharap bau busuk itu akan hilang setelah Curut dan teman-temannya di gusur dari kekuasaan. Setelah sekelompok orang melempar telinga- telinga ke tong-tong sampah penampungan aspirasi. Setelah mata dicungkil dan disimpan di laci. Mata yang bercampur dengan air mata dan amplop berisi uang sehabis membahas anggaran. Hati nurani telah dikubur di toilet. Bau busuk terus tercium dan makin lebih busuk. “Kalian telah mengganti orde, sambil makan onde-onde. Menikmati matinya orde baru, sambil memakai baju baru dari toko-toko yang dijarah setahun yang lalu. Kalian masih duduk- duduk, dengan kemaluan yang mengantuk sehabis mengobok-ngobok kemaluan gadis tionghoa setahun yang lalu. Kalian mabuk demokrasi menyebut orde reformasi, sambil berharap tidak repot nasi,” Curut mengomel sendiri. Ketika Curut mengomel sendiri, harapan seperti tergantung di tiang –tiang listrik yang byar pet dan melambai-lambai. Sudah kusam. Berdebu. Malam dirubung laron-laron. Bila subuh kedinginan dipagut embun. Harapan bak seperti air PDAM macet. Kran-kran hanya mengeluarkan angin-angin kentut; busuk dari mulut-mulut yang mengomel, karena membeli dan membayar angin setiap bulan. V LIMA TAHUN kemudian. Menjelang Pemilu. Ketika wajah-wajah dipajang di tembok- tembok kota yang kusam, wajah-wajah ditempel di tiang listrik dan berbagai tempat agar rakyat bisa mengenali. Palui akhirnya memberanikan diri ke gedung parlemen. Dia sudah tak tahan diolok-olok bau busuk yang membunuh hidungnya. Dia ingin mencari dan mengetahui sumber bau busuk. Maka bersama sejumlah pengunjuk rasa, mungkin sekitar seratusan para pelacur, yang di antaranya membawa poster : Politisi Jangan Jadi Pelacur Amanah Rakyat!, Palui berkesempatan datang ke gedung dewan perwakilan rakyat. Baru sekali itu dia menginjakkan kaki di gedung rakyat tersebut. Tiba di halaman gedung mewah tersebut dan ketika seorang koordinator pengunjuk rasa mengibarkan celana dalam yang kusam berwarna merah di halaman gedung dewan, diam-diam Palui mengendus-ngendus ke samping gedung dewan. Di samping gedung dewan perwakilan rakyat, mata Palui jelas melihat setumpuk telinga di dalam tempat sampah. Apakah itu sumber bau busuk? pikir Palui. Palui ingin masuk ke dalam, untuk menanyakan ke orang-orang, namun di depan pintu utama ruang sidang paripurna, Palui tertegun. Matanya sangat jelas melihat puluhan mulut nampak tergantung di mikropon. Apakah Palui masih perlu bertanya; di mana sumber bau busuk tersebut?*** Suka · · Bagikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun