Tidak dapat kita pungkiri, isu SARA masih mengepung dan mengungkung kebebasan kita dalam beraspirasi dalam sistem demokrasi. Urusan kebebasan beragama memang diatur dalam konstitusi, namun memaksa dan menyebarkan isu SARA untuk kepentingan politik jelas menyalahi konstitusi. UU Pilkada menjamin seseorang tidak boleh mendapatkan ‘serangan’ dalam bentuk penghinaan suku, ras, agama dan antar golongan. Tapi apa yang terjadi, banyak kita lihat di media Calon Gubernur yang didiskreditkan melalui isu Agama.
Diskriminasi terhadap hak politik Cagub ini terjadi di Jakarta, Ibukota Republik tercinta yang katanya menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi. Atas tuduhan tak berdasar, massa berbondong-bondong dan persidangan pun dilakukan untuk menenangkan massa yang begitu besar. Banyak teriakan-teriakan ‘jangan pilih pemimpin kafir’ dan agitasi-agitasi berbahaya lainnya. Meski berpenduduk mayoritas muslim (termasuk saya) Indonesia bukanlah negara dengan sistem Pemerintahan Islam. Tampaknya Pancasila dan Demokrasi sebagai landasan sudah tak lagi mereka hormati, bahkan pimpinan dan Imam Besar mereka pun menistakan Pancasila.
Apa yang bisa kita harapkan jika politik terus-terusan berada dalam konflik Sektarian dan isu Agama? Hal-hal Substansial seperti kemakmuran rakyat, perkembangan ekonomi, reformasi birokrasi dan lain-lain akan menjadi prioritas kesekian. Isu utama yang digembar-gemborkan adalah ‘Pilih Saya karena saya beragama sama dengan mayoritas di negeri ini’. Masyarakat sudah lelah terus-terusan digembosi oleh konflik agama dan semakin banyak orang dituding ‘kafir’.
Tidak ada salahnya kita memiliki pemimpin ‘kafir’, toh mereka hanyalah pegawai pemerintahan yang segala tugas dan batasan wewenangnya diatur oleh Undang-Undang. Penting diingat, butir-butir UU Pilkada untuk tidak menyerang identitas SARA seseorang dan menjadikan tempat ibadah sebagai wahana kampanye seharusnya dipatuhi. Namun, dapat kita lihat pelanggaran terhadap kedua butir peraturan itu dilakukan oleh Paslon-Paslon lain yang tidak memiliki masalah dugaan penistaan agama.
Sudah pudarkah hukum di Indonesia? Apakah gerakan Populis kaum Fundamentalis ini sangat berbahaya sehingga negara kerap ‘mengalah’ dan membebaskan mereka atas pelanggaran-pelanggaran hukum yang mereka perbuat? Negara harus hadir untuk menegakkan keadilan bagi tiap pihak. Jika Basuki (Ahok) dilanggar haknya karena diserang melalui isu agama, harus diusut pihak mana yang bertanggung jawab.
 Bahkan, Menteri Agama malah ikut memperkeruh suasana dengan pernyataannya di Twitter."Kita bangsa religius yg menjadikan agama sebagai acuan bersikap. Memilih cagub berdasar keyakinan agama sama sekali tak langgar konstitusi," kata Lukman, mencuit di Twitter lewat akun resminya, @lukmansaifuddin. Pernyataan Menteri Agama ini jelas mengganggu stabilitas dan perdamaian masyarakat. Tidak ada dalam Undang-Undang yang menyatakan Indonesia menggunakan ajaran Agama sebagai Acuan bersikap.
Stabilitas negara sedang kacau, mari kita berpikir waras dan memikirkan solusi untuk menyelamatkan bangsa dari perpecahan. Politik dan kekuasaan memang menyilaukan, tapi jangan korbankan masyarakat yang mudah terbawa arus melalui provokasi isu agama. Demokrasi bukan melulu melayani kepentingan kaum Mayoritas, tapi juga mengakomodasi kepentingan Kaum Minoritas yang haknya dilanggar.
Saya sadar sepenuhnya, melalui tulisan ini saya bisa dicap ‘kafir’ oleh mereka yang sering menghakimi iman seseorang beramai-ramai. Namun, poin saya adalah redam emosi kita semua, mari kita sama-sama belajar lagi dalam memaknai landasan Negara Indonesia, Toleransi dan perdamaian dalam keberagaman. Damai Indonesiaku, panjang umur Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H