Mohon tunggu...
Akhmad Rijal
Akhmad Rijal Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Indah pada batasnya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Polemik di Sekitar Fatwa Pemimpin Non-Muslim

10 Februari 2017   14:19 Diperbarui: 10 Februari 2017   14:44 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini, semua orang mempermasalahkan status keagamaan seorang pemimpin. Kaum-kaum fundamentalis ini mengacu pada ayat dan fatwa tertentu bahwa seorang pemimpin haruslah dari yang seagama. Dalam konteks ini adalah agama Islam. Indonesia meski berstatus negara dengan pemeluk Islam terbesar didunia, tidak menganut sistem Khalifah. Indonesia berlandaskan Pancasila yang Demokratis dan menjunjung tinggi Hukum. Negara Modern memiliki peraturan tersendiri untuk menentukan status seorang pemimpin.

Dilihat dari segi Hukum Kenegaraan dan Hukum Agama Islam, tidak ada permasalahan mengenai status keagamaan seorang pejabat publik. Negara Modern menghasilkan pemahaman baru soal status pemimpin. Pemimpin atau pejabat publik itu sama saja dengan pegawai yang dibatasi kompetensinya sesuai Undang-Undang atau hukum yang berlaku di negara tersebut.

Secara hukum, penduduk Indonesia memiliki hak yang sama di mata hukum. Warga Negara memiliki hak dipilih dan memilih yang terjamin dalam Konstitusi. Syaratnya hanyalah status kewarganegaraan, tidak dipandang status keagamaan dan jenis kelaminnya. Islam memang menjelaskan dalam Al-qur’an agar Non-Muslim atau Perempuan tidak diperkenankan menjadi Pemimpin.

Tapi yang dimaksud pemimpin adalah pemimpih keagamaan, seperti Rasul beserta sahabatnya. Di masa modern kini, definisi pemimpin sudah beralih dan harus kita maknai secara berbeda. Era Demokrasi dan pemerintahan modern lainnya menghadirkan sosok pemimpin yang memfokuskan dan mengabdikan dirinya seputar kebijakan politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Merujuk pada penjelasan diatas, mari kita bahas perkara seputar fatwa dan peraturan agama Islam.

Lembaga Fatwa pertama ada di Mesir, berdiri pada tahun 1895. Pemerintah Mesir selalu bekerja sama dengan lembaga fatwa Mesir(Darul Ifta’ al-Mishriyyah) tersebut. Hal menarik yang perlu kita sorot adalah Lembaga Fatwa Mesir tidak mempermasalahkan ada pemimpin kenegaraan atau pejabat publik yang non-muslim atau perempuan, karena konteksnya berbeda dengan pemimpin keagamaan.

Karena tidak ada bedanya dengan pegawai, tidak ada masalahnya jika yang dipilih adalah seorang non-muslim atau perempuan. Fatwa ini diputuskan setelah ulama-ulama Mesir menjawab Istifta (Proses Pengajuan Fatwa) melalui sudut pandang Fiqih dalam Islam. Hasilnya, fatwa yang dikeluarkan pada 12 Oktober 2016 tersebut menyatakan tidak masalah jika Al-Hakim (kewenangan) dipegang oleh non-muslim atau perempuan, karena mereka adalah bagian dari kesatuan hukum dan aparatur negara, tidak bisa dipandang sebagai sosok pribadi.

Distingsi yang jelas melalui fatwa ini menunjukkan tidak masalah jika kita memilih calon pemimpin non-muslim karena mereka bukanlah sosok tunggal yang memimpin segalanya tetapi bagian dari kesatuan koordinasi yang diatur oleh Undang-Undang. Jadi, lebih bijaklah sebelum menentukan pilihan, pilih yang sudah terbukti dapat memimpin dengan baik tanpa memandang status keagamaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun