Terbentur, terbentur, terbentur, dan terbentuk. Adagium dari seorang pemikir Indonesia yang punya pengaruh dalam pemikiran para pemimpin Indonesia. Tan Malaka nama terdikenalnya, mendapat sebutan sebagai bapak republik. Sebagai tokoh nasional yang pemikirannya selalu penting penting dibahas dan terdapat nilai relevansi, baik dalam ilmu sosial.
Pembukaan tulisan di atas, saya kira sejalan dengan arah perjuangan para pelajar dan intelektual kampus--yang sedang berproses di era sekarang dengan segala tuntutan. Setiap dari kita punya pilihan, tapi tidak semua orang dapat kesempatan memilih. Seseorang bisa memilih karena punya kesempatan dan waktu yang baik dalam manajemen. Jadi setiap dari kita punya peluang keduanya, yang dibutuhkan menumbuh kesadaran personal dan intelektual.
Manusia sekarang kerap kali menghadapi kesunyian dan kesepian akan menjalani hidup. Adalah kesunyian dan kesepian terdapat perbedaan secara terminologi. Kesunyian berkaitan dengan sebuah suasana hati yang kerap berkaitan dengan kebutuhan diri semisal cinta, harta, dan tahta. Padahal ada yang lebih penting dari ketiganya yaitu kesehatan, yang sangat penting dan begitu perlu diperhatikan dan diusahakan sebaik-baiknya.
Adapun kesendirian kerap berkaitan dengan unsur sosial. Hal ini berkaitan sebuah unsur konstruksi sosial--yang pada dasarnya tidak perlu diperhitungkan jika sudah mampu mengukur unsur personal (individual). Sehingga ini menjadi salah satu masalah manusia abad modern--yang perlu terus dipantik (diingat-ingat terus agar selalu memiliki kesadaran atas sebuah tanggung jawab manusia sosial yang bermanfaat.

Sebagai seorang pelajar paling tidak mensyukuri atas segala privilege yang didapatkan kita: waktu, kesempatan, dan kesiapan. Sebab ini bentuk idealis setiap pelajar yang semestinya tertanam dalam diri sebagai modal tidak sekadar mahasiswa, tapi sebagai usaha lebih dari itu, jadi mahasiswa yang bisa menganalisis problem dan menemukan solusi. Hal ini butuh napas panjang serta proses yang bisa memunculkan kesadaran internal.
Kesadaran internal semestinya dihasilkan dari apa yang menjadi kesulitan dan kesedihan diri mengapa kita harus belajar, misalkan. Atau sebuah kesedihan yang disebabkan dari dalam diri, bersifat personal dan struktural. Sebagai seorang yang kritis perlu meletakkan ini semua pada sebuah taraf yang bisa membuka diri sekurang-kurang dari tiga dimensi: adaptasi dan jati diri. Dua hal ini tentu berkaitan dengan dua sifat perlu digaris bawahi.
Adapun sifat personal seorang bisa adaptasi dengan konteks zaman akan banyak hal. Namun agar tidak meluas dan kemana-mana pembahasan, fokus pada sebuah anggapan kolektif yang kerap diberikan kepada kita sebagai kaum terpelajar--yang berkaitan punya ilmu dan pengetahuan. Namun dua dasar tersebut mampu tidak menjawab persoalan yang dilihat oleh sosial kita? atau buruknya lagi kita kadang dianggap sebuah agen of change sesuai disiplin ilmu kita. Jika tidak bisa makan distras kepada dunia pendidikan. Ini tugas kita untuk bisa serta menjawab persoalan sesuai konteks zaman.
Untuk yang kedua yaitu berkaitan dengan jati diri. Bahwa ini bersifat personal. Pada sisi ini kita dituntut bisa punya kelebihan sesuai dengan apa yang dapat dikembangkan dan bisa menjadi core kita. Dengan kata lain branding atas diri kita mumpuni dengan satu bidang misalnya, yaitu menulis atau berkaitan dengan profesi yang ditekuni (yang menghidupi contoh praktikumnya). Namun contoh realitasnya kita menguasai satu bidang yang bisa membawa kehidupan lebih baik, menjawab persoalan pribadi.