Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Surat Lebaran untuk Emak

26 Juli 2014   21:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:06 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mak, sebentar lagi lebaran tiba. Lebaran pertama yang akan kita rayakan tanpa kehadiran panjenengan. Mak kami kangen, terlebih menjelang lebaran. Ada banyak hal yang tidak mungkin kami rasakan lagi tanpa kehadiran njenengan. Jika dalam buku, TV dan media lainnya kami melihat lebaran identik dengan ketupat, tapi emak meracik masakan lain setiap kali lebaran tiba. Setiap pagi menjelang sholat Id, kami selalu kesulitan bangun selepas begadang takbir semalaman. Njenengan memiliki cara berbeda membangunkan kami dengan bau khas lezat nasi uduk dan sambal docang. Nasi yang terasa amat gurih ditambah sambal parutan kelapa yang disengatkan batu pecahan genting super panas merah menganga. Aku takut lusa pagi, saat fajar lebaran tiba hidung kami tidak mencium bau itu lagi. Aku juga takut, lusa sebelum sholat Id, lidah kami tidak lagi merasakan lezatnya uduk sambel docang.

Mak cucu njenengan telah genap selusin, lima laki-laki dan lainnya perempuan. Insyaallah lebaran kali ini kumpul bersama menemani bapak di rumah pandangan, kecuali Fahmi, yang sekarang mungkin sedang njenengan pomong. Alhamdulillah mak, dalam lebaran pertama tanpa njenengan, kami bisa menemani bapak disini dalam keadaan sehat. Ini bukan kebetulan, karena seharusnya keluargaku dan keluarga kak Qodir giliran lebaran di rumah mertua kami masing-masing. Sempat juga suatu ketika sebelum puasa aku merasa kasihan sama bapak jika lebaran kali ini kami tidak bisa lebaran di Pandangan. Namun puji syukur kami panjatkan, selang beberapa hari pikiran tersebut menggangguku, selepas sholat subuh istriku membisikiku untuk lebaran di rumah Bapak saja. “kasihan Bapak yah, ini kan lebaran pertama beliau tanpa emak” begitu bisik bundanya Radip padaku mak. Tak lama kemudian, kakak menelponku dari Surabaya mengabarkan istrinya ingin lebaran di Pandangan juga.

Saat itu juga aku menangis, emak benar dulu pernah berkata “cung, ojo bingung golek bojo, bojo iku ayang-ayangmu. Sing paling penting dadi ayang-ayang iku yo nurut, ora pintere, ora wajahe, opo maneh donyone”(nak, jangan khawatir mencari istri, istri itu bayang-bayangmu. Yang terpenting dari sebuah bayang-bayang adalah penurut, bukan kepintaran, kecantikan, apalagi hartanya). Nasehat tersebut seingatku menjadi nasehat pertama njenengan padaku ketika aku terlihat kusut diusia remaja akhirku. Iya mak, waktu itu aku kusut, kusut karena menjadi sarjana pengangguran dan terluka parah dalam perjalanan asmara. Nasehat njenengan itu juga yang aku pegang sampai menemukan jodohku mak, Alhamdulillah dia memenuhi kriteria emak.

Mak, njenengan selalu berpesan jadilah seperti bapakmu dalam beribadah. “oleh koe pengen dadi opo wae mben nak mergawe cung, tapi nak ngibadah turuno bapakmu ae. Bapakmu iku uripe mung ngibadah tok” (Nak, boleh kamu menjadi apapun dalam bekerja, namun untuk contoh beribadah contohlah bapakmu. Bapakmu itu hidupnya cuma beribadah). Nasehat tersebut engkau pesankan berulangkali sampai sebelum engkau wafat, sungguh itu PR besar bagiku mak. Bagiku, bapak bukan hanya seorang religius, tapi juga juga sosok spiritual bagiku mak.

Bapak tidak pernah mengeluh mak. Emak sendiri pernah bercerita sambil menangis padaku melihat bapak yang menjadi omongan orang sekampung, bapak dianggap gila. Mereka benar mak, lirih aku pernah mendengar “dengan pekerjaan hanya sebagai pedagang ayam daging kaki lima kok berani menyekolahkan tujuh anaknya sampai jenjang S1??” Bukannya itu gila mak? Yang paling menyakitkan bagimu adalah ketika hidup bapak dipakai ajang taruhan. Banyak orang bertaruh apakah sampai akhir hidupnya bapak bisa menutup hutang yang segunung. Mak, orang-orang tersebut tidak salah, mereka menggunakan logika awam “masak, pedagang ayam daging kaki lima sanggup membayar hutang segunung??” Bukannya itu menarik untuk dipertaruhkan mak? Ah, emakku sayang, aku tahu bagaimana perasaan njenengan dulu mendengar imam njenengan dipergunjingkan gila dan dijadikan ajang taruhan. Tapi aku lebih yakin, imam njenengan telah menjelaskan bagaimana hidup kepada njenengan mak. Bapak tahu hidup adalah semata perjuangan, tidak ada kata menyerah karena tidak seorangpun mampu menentukan hidup orang lain. Bapak tahu, semua miliki Allah. Mak, doakan aku bisa mengikutinya.

Bapakku mak, beliau sangat sederhana sekali. Emak sendiri dulu sering jengkel kepada bapak, beliau lebih suka pakaian yang menurut emak jelek dan tidak layak pakai. Bahkan seringkali emak marah melihat bapak menggunakan tali rumput jepang sebagai ikat pinggang ketika bapak sedang sibuk bekerja di kandang. Emak juga tahu, bapak tidak suka makan di warung meskipun sedang bepergian. Beliau beralasan hanya masakan mak yang beliau suka. Padahal waktu itu, laki-laki belum dianggap jantan kalau tidak pernah marung. Sedangkan aku mak, marung dan ngopi sering mengahnyutkan waktuku. Ah...mak, doakan aku bisa mengikutinya.

Bapakku juga orang yang sangat taat beragama mak. Meskipun setiap hari kami melihatnya, emak sering bercerita kepada kami. “deloken bapakem iku, turune gak tau luweh ko limang jam” begitu perintah njenengan mengingatkan kami anakmu. Benar mak, sampai sekarang emak tiada bapakku Alhamdulillah tidak pernah luntur beribadah. Waktu istirahatnya-pun sangat singkat. Bapak selalu sudah terabangun sebelum fajar, shalat tahajud seperti kewajiban baginya. Lepas subuh beliau sudah bekerja, ditengah ramainya pembeli sekitar pukul 9 pagi bapak justru pulang. Dzuha juga menjadi kewajiban beliau. Bapak pulang dari pasar sebelum kumandang dzuhur, seringkali beli.au mengumandangkan adzan. Pernah suatu kali aku bertanya, “pak kok adzannya cuma dzuhur saja?” dengan senyum beliau menjawab “makanya kamu cepat berani adzan dzuhur, biar musollanya gak sepi” Disaat orang lain sibuk jagongan diwaktu siang, bapak malah melanjutkan membaca buku selepas mengaji sampai asar tiba. Padahal bapak hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat). Kebanyakan orang kampung menghabiskan waktunya di warung piggir jalan selepas asar. Bapak hanya sesekali jika benar-benar kandang kosong tidak ada ayam. Begitu juga kehidupan bapak dimalam hari, sholat dan mengaji. Bedanya bapak sudah tidak membaca buku lagi di malam hari mak, mungkin huruf dibuku sekarang terlalu kecil dan melelahkan untuk dibaca. Bapak menggantinya dengan sesekali melihat berita dan wawasan di TV. Mak, bagaimana bapak bisa hidup bahagia tanpa banyak berkumpul dan tertawa dengan orang lain seumurannya? Logikaku belum juga sampai kesana. Maka mak, doakan aku bisa mengikutinya.

Selain itu mak, aku cerewet, sedangkan bapak sangat irit berbicara. Mak, mungkin nasehat mengikuti jejak bapak bagi kami adalah cita-cita. Karena kami bukan hanya ingin taat beribadah seperti bapak, namun kami juga ingin mempraktekkan inti ibadah dalam kehidupan keseharian kita seperti bapak.

Mak, njenengan sangat beruntung dipertemukan dengan sosok imam sehebat bapak, bagitu juga bapak yang sangat beruntung didampingi emak yang sholehah. Mak, kedua adikku Iin siruju dan Taqin sekarang mendampingi bapak di rumah. Dalam hati, aku sangat iri dengan dua adikku ini mak. Iin mak, dia semakin dewasa, cara berfikirnya sangat aku kagumi mak. Seharusnya dia sudah bekerja dan aku sangat yakin dia ingin bekerja mak. Namun, dia memilih untuk mendampingi bapak saja dirumah, entahlah sampai kapan mak. Terlebih lagi taqin mak, dia rela melepaskan pekerjaannya dan memilih mendampingi bapak dan adiknya dirumah. Sungguh aku iri.

Mak, apakah mak tahu apa hari favorit bapak sekarang? Bapak sangat menunggu hari dimana beliau mengunjungi makammu mak, hari kamis. Air mataku menetes ketika aku mencoba membayangkan perasaan beliau ketika berada disamping peristirahatan njenengan mak. Terlebih dalam telfon Iin pernah bercerita bapak tetap berangkat kemakam walaupun hujan deras waktu itu. Aku tidak bisa membayangkan betapa rindu dan bahagianya bapak kepada njenengan.

.......

Emak, lebaran sebentar lagi. Selain kami, banyak anak yatim di sekitar rumah yang merindukan njenengan. Mak, suatu ketika aku bermimpi melihat njenengan. Panjenengan hanya tersenyum tanpa mengucapkan kata sambil menata bunga didepan njenengan. Aku berharap itu adalah tanda bahwa emak sekarang bahagia. Mak, kau memang pantas berbahagia.

Dalam sebuah nasehat ketika sakit sebelum wafat, njenengan berpesan dengan penuh kekhawatiran agar kami ketujuh anak njenengan bisa hidup akur tanpa perselisihan. Kemarin saya baru tiba mudik mak, Alhamdulillah seluruh anak njenengan kumpul bahagia, tanpa kurang suatu apapun. Emak mungkin khawatir, harta tak seberapa yang emak tinggalkan menimbulkan bibit perselisihan. Tenang saja mak, kami semua mengikuti orang tua kami. Tidak pernah sedikitpun kami membicarakan itu, karena kami tahu emak dan bapak memulai hidup bahagia tanpa sedikitpun harta warisan embah-embah kami. Padahal emak sering berkisah embah kami adalah saudagar desa. Atau mungkin kekhawatiran emak kami akan iri dengan keberhasilan saudara kami, Alhamdulillah mak, kami semua Insyaallah berhasil. Jadi tidak ada yang perlu kami curigai dan iri. Mak, njenengan memang pantas berbahagia..

Mak, diakhir tahun insyaallah bapak dan keluarga mbak imah berangkat umrah ke Mekkah. Alhamdulillah mak, rejeki bapak mengalir. Seluruh hutang bapak telah lunas mak, itu mengapa bapak berani berangkat ke Mekkah. Mak, baru aku sadar tangis njenengan dulu ketika bapak dipertaruhkan adalah aliran doa istri yang sholehah. dan itu merupakan satu diantara banyak doa mustajab. Aku yakin, mak dulu terus berdoa bapak bisa berangkat haji. Akupun tak kalah yakin, doa itu akan segera terkabul. Njenengan memang pantas berbahagia mak.

Mak, aku mungkin anak yang paling njenengan khawatirkan. Watakku memang berbeda dengan saudaraku yang lain, kata njenengan aku mogol (keras kepala), ngenyel dan pemberontak. Tak terhitung berapakali njenengan berpesan agar aku lebih bersabar, tidak suka melawan dan menjaga lisan. Mak, itu mungkin karunia yang diberikan Allah padaku mak, aku berjanji akan mengontrol sikapku sebaik mungkin. Mak dan juga bapak berjuang untuk membuat kami pintar dan ngerti sampai pada jenjang tertinggi.Hal itu insyaallah tidak sia-sia. Mak, njenengan memang pantas berbahagia.

.....

Mak, lebaran akan segera tiba. Kami sadar kami kangen panjenengan. Kami tidak bisa lagi mencium tangan njenengan, merasakan lezatnya olahan uduk sambel docang hasil racikan tangan njenengan. Kamipun tidak bisa merasakan hangatnya pelukan njenengan. Kami rindu dan ingin terus menerima nasihat njenengan. Mak izinkan kami terus mengahdirkan njenengan dalam kehidupan kami selamanya. Doakan kami agar menjadi yang panjenengan citakan sambil mengelus perut waktu panjenengan mengandung kami. Mak, sampai disini kabar kami menjelang lebarang kali ini. Terimakasih atas segalanya, emak adalah segalanya bagi hidup kami. kami menyayangi njenengan. Mak, sempatkan waktu njenengan untuk mampir di mimpi-mimpi kami.

Pandangan, dua hari menjelang lebaran 1435 H. Dari anakmu yang mogol.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun