[caption id="attachment_365128" align="aligncenter" width="600" caption="Timnas U19/Kompasiana (Kompas Bola)"][/caption]
Sesi perkuliahan Psikologi Makro yang diasuh oleh Prof Johanna EP, atau biasa disapa Bu Menuk mempertemukan saya dengan sosok ini. Bu Menuk melemparkan pertanyaan yang mengeksplorasi tentang bagaimana kebahagiaan dan kesejahteraan manusia sesungguhnya. Argument mengalir deras dari beberapa peserta kelas, salah satunya adalah argument dari seorang yang menurut saya angkuh dan sedikit sombong. Dia memberikan opininya dengan berdiri dan suara besar berkarakter namun terasa bagi saya kurang bersahabat. Masih salam ingatan terbatas saya, dia mengatakan kebahagiaan berhubungan erat dengan seberapa besar kontribusi kita kepada orang lain. Detik itu jugalah saya berkata dalam hati “wiih pede sekali anak ini, sedikit gaya pula”. Yang membuat saya semakin tertarik adalah dia memberikan contoh tentang kebahagiaan baginya adalah ketika ia mampu berkontribusi dalam kemajuan sepakbola Indonesia, yang tentunya dalam kondisi memprihatinkan. Padahal, lanjut dia sepakbola merupakan olahraga paling ekonomis dan paling mashur di Nusantara.
Kemudian hari saya menyapanya Guntur. Guntur Cahyo Utomo adalah nama lengkapnya, lahir di Solo 19 September 1980. Data kelahirannya saya dapatkan ketika tiga tahun setelah perkenalan kami, saya mengundangnya bersama coach Indra Sjafri di kampus untuk sebuah seminar psikologi olahraga.
[caption id="attachment_365093" align="aligncenter" width="300" caption="Foto bersama di Training Camp Batu (Dok. Pribadi)"]
Perkenalan dan pertemanan kami dimulai 2011 saat kami sama-sama menempuh jenjang pascasarjana psikologi di UGM. Bagi orang yang belum mengenalnya, sosoknya bisa dikatakan kurang bersahabat. Ini karena karakter suara serta wajahnya terkesan tegas (meskipun dia tiang solo asli) serta terkesan sangat terbuka untuk mengungkapkan argumentasi kepada siapapun yang dia kenal. Bagi saya pribadi, dia adalah pribadi tekun dan tegas dalam menjalani prinsip hidup. Meskipun usia kami terpaut lumayan jauh, persepsi awal tentang sosok sombong telah bergeser jauh menjadi sosok hangat dan komunkatif. Saya menyebut pertemanan kami lebih berdasar pada kesamaan ilmu dan juga hobi, psikologi dan olahraga sepakbola. Psikologi dan sepakbola kemudian berlanjut dalam beratus cangkir kopi dan warung.
Perjalanan hidup dan juga nilai dalam keluarga mempengaruhi paradigmanya. Saya melihat sekilas dia adalah anak yang beruntung hidup dalam keluarga demokratis. Meskipun ibu dan bapaknya adalah seorang terpelajar, keduanya tidak pernah melarang Guntur kecil bermain dan bercita-cita menjadi pesepakbola. Cita-cita asing bagi anak pada masa itu. Sayang cedera ligament parah menempanya ketika karirnya memasuki jenjang junior di salah satu klub professional di solo, Arseto. Cedera tersebut yang mau tidak mau mengakhiri cita Guntur kecil sebagai pesepakbola professional. Disinilah, keluarga berperan penting membangun kepercayaan diri bahwa cita-cita tersebut tetap dapat dilanjutkan, bukan sebagai pemain, tapi sebagai pelatih dan ilmuan sepakbola.
Berulangkali Guntur bercerita, bahwa gak usah berfikir terlalu muluk-muluk (hal besar) lakukan saja apa yang kamu bisa sesuai dengan keahlianmu. Cukup realistis, namun kadang terlihat aneh bagi kita. Itulah bagi sebagian yang pernah mengenalnya, bahkan beberapa dosen yang pernah mengajarnya, tindakan Guntur terkesan tidak biasa. Seperti juga pernah dia ceritakan pada saya, bahwa dia berusaha menarik semua tugas kuliahnya ke ranah yang paling ia cintai, sepakbola. Mulai makalah, artikel, skripsi sampai tesis ia selesaikan dengan tema sepakbola.
Sebagai mahasiswa, Guntur mungkin sudah jarang ditemukan sosoknya pada mahasiswa sekarang. Selain konsentrasi keilmuannya terfokus mulai awal, dia juga sosok mahasiswa yang aktif berorganisasi, khususnya jurnalistik. Dalam sebuah cerita, dia pernah menjadi ketua salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) Bulaksumur di UGM. Belum lagi (yang mungkin tidak pernah akan bisa ditiru mahasiswa sekarang) tentang kelulusannya di injury time. Karena semasa menempuh sarjana, dia menghabiskan waktu lebih dari 12 semester (he…maaf cak). Namun perbedaannya, dia menghabiskan waktu lama untuk berorganisasi dan berkarya, bukan untuk yang lain. Dia pernah mendirikan majalah kepelatihan sepakbola “KICKOFF” bersama beberapa sahabatnya semasa kuliah, dia juga pernah beberapakali magang di beberapa media masa. Jika mahasiswa lain hanya cukup membaca kabar berita sepakbola dan olahraga lain, dia sibuk dengan membaca majalah kepelatihan, analisa sampai jurnal ilmiah tentang olahraga. La bukan hanya Bola, Soccer, dan majalah dalam negeri lain, namun Gazzeta dello Sport, Journal of Sport Science, FourFourTwo merupakan bacaan dia sejak duduk di bangku perkuliahan.
Karir kepelatihannya dia mulai dari keilmuan, itulah mengapa saya lebih senang menyebutnya sebagai ilmuan olahraga (sport scientist). Analisanya bukan hanya berdasarkan pengamatan saat ini, namun juga dari hasil objektif penelitian sebelumnya. Dia pernah mendirikan Atlantis Football Academy, melatih tim sepakbola Universitas Negeri Yogyakarta, Tim Pelatih Pro Duta FC sampai kemudian dalam sebuah diskusi dengan Indra Sjafri dia kemudian ditarik dalam tim pelatih Tim Garuda Jaya U19 mulai tahun 2012.
Namanya mulai dikenal, karena dia mendeklarasikan dirinya sebagai pelatih mental Evan Dimas dkk., istilah asing bagi masyarakat kita. Pelatih Mental?? Ya, sesuai dengan kepercayaannya, olahraga bukan saja melulu tentang kekuatan fisik, tehnik, dan taktik, namun juga harus diimbangi dengan ketangguhan mental. Seorang atlit dengan fisik mumpuni, teknik menawan, pengusaan taktik menyeluruh tidak akan menunjukkan performance impressif jika mentalnya tidak tangguh. “Kepleset, salah kontrol, salah umpan, itu bukan hal biasa, semuanya dapat dipelajari dalam penelurusan mental” begitu selorohnya saat ngopi dengan saya.
Pelatih mental, dia mungkin yang pertama mendeklarasikan diri di Negara ini. Untuk itulah tugasnya juga tidak mudah. Dia wajib membuktikan bahwa logos (ilmu) mampu meraba, menjelaskan dan memprediksi keadan mental seorang atlit. Analisa dimulai dari kehidupan keseharian pemain, kondisi disekitar pemain dan masa lalu pemain yang menentukan proses kognitif pemain bekerja saat bertanding. Semacam detektif mental. Bagi saya pribadi, Guntur bukan hanya menjadi harapan dalam sepakbola, namun juga harapan ilmu psikologi untuk menemukan ruangnya dalam sepakbola dan olahraga pada umumnya. Piala di Hongkong, AFF 2013 dan juga lolos AFC menjadi bukti awal bahwa olahraga membutuhkan sentuhan ilmu kejiwaan. Selanjutnya, saya berharap Garuda Jaya berhasil meraih target serta lahir Guntur lainnya dalam psikologi Indonesia.
Terakhir saya menutup tulisan saya dengan megajak khalayak bola mendoakan Garuda Jaya dengan doa yang spesifik seperti permintaan coach Guntur “pokoe iso main bal-balan seneng dab!” Jika saya artikan, “pokoknya bisa main sepakbola dengan gembira” Doa yang terkesan sederhana, namun itu kunci keberhasilan permainan. Good Prayer Coach!! Good Luck
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H