Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

PSSI, Kumpulan Anak TK yang Masuk Kuliah

22 Februari 2015   22:02 Diperbarui: 28 Agustus 2017   13:20 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari http://clipart-library.com

Tidak ada suporter bola di dunia yang sesabar suporter di Indonesia. Di negara lain, mungkin kompetisi sepakbola akan segera di reformulasi, reformasi atau revolusi jika keadaan kompetisi dan prestasi tim nasional jeblok bertahun-tahun seperti di Indonesia. Di negara lain pula, mungkin saja orang sudah akan malas mendukung ataupun hanya sekedar menonton sepakbola, jika sepakbola mereka sama seperti Indonesia. Nyatanya di Indonesia tidak.

Siapa yang tidak tahu Indonesia adalah negara besar, minimal luas geografis dan jumlah penduduknya. Dalam sepakbola, Indonesia juga tergolong negara besar jika dilihat dari antusias dan budaya bola sampai pada masyarakatnya. Namun jangan pernah sekalipun melihat negara ini besar dari berbagai sudut, termasuk dalam sudut prestasi sepakbola. Jangankan berbicara level dunia ataupun Asia, pada level Asia Tenggara saja kita masih nol sejak tahun 1991. Secara matematis bisa saja Indonesia akan menjadi bulan-bulanan negara kecil macam Brunei ataupun Timor Leste dalam kurun waktu 5 tahunan mendatang jika kondisi persepakbolaan kita masih saja mundur langkah demi langkah.

Belum sepenuhnya waras dari dualisme kepemimpinan, lagi-lagi sepakbola ramai bukan di stadion melainkan di halaman surat kabar. Karena berbagai hal kompetisi tertinggi negeri ini, ISL ditunda. Hal terbut berdasarkan rekomendasi BOPI dan juga Kemenpora. Seketika PSSI (melalui anggota klub ISL) mengadakan pertemuan di Bandung (20/2/2015) dan menyatakan “melawan” kebijakan BOPI dan Kemenpora. Malahan ada klub yang berniat menggugat BOPI. Sekejab kemudian BOPI dan Kemenpora menjadi common enemy seluruh warga ISL, PT LI dan PSSI. Pertemuan Bandung kemudian melahirkan Deklarasi Bandung yang berisi empat poin, yaitu: (1) mengindahkan penetapan prasyarat BOPI tentang penerbitan rekomendasi ISL 2015; (2) merencanakaan jadwal baru ISL; (3) melakukan penyesuaian program dalam masa transisi hingga kick off; (4) mengambil langkah strategis lain untuk memproteksi bisnis klub. Selain empat poin tersebut, Deklarasi Bnadung juga memohon kepada presiden untuk mengambil tindakan atas putusan Menpora yang dianggap melakukan abuse of power dengan menghambat, menghalangi, mempersulit, dan melarang ISL digulingkan.

Hebat kan PSSI, PT LI dan anggotanya??

Saya mulai dengan berbicara PSSI. Dia adalah induk sepakbola yang usianya lebih tua dari Republik ini. Dulu, dia lahir dari kegelisahan suara Nusantara untuk mendeklarasikan diri sebagai “ada”nya Indonesia melalui sepakbola. Namun mari kita lihat sekarang. Pertama, PSSI masih tetap menjadi induk sepakbola, minimal mereka (pengurus) mengaku demikian.  Memang nyatanya tidak ada induk lain yang mengurusi sepakbola di Indonesia. Tapi jangan samakan PSSI dengan induk dalam pengertian kita, melindungi dan mengayomi. Seringkali justru dia menggunakan tangan-tangan anak-anaknya untuk berlindung dari masalah, layaaknya Deklarasi Bandung kemarin.

Kedua, mereka juga mengaku menjalankan organisasi secara profesional, bukan amatir. Karena ISL buktinya mendapatkan jatah di kompetisi AFC. Bagi mereka, itu merupakan legitimasi sebagai profesional. Tapi apa kata mereka jika ada fakta tentang pemain tidak digaji dan utang klub? Mereka selalu saja berkilah itu masalah klub, akan segera diatasi. Jika pertanyaannya tentang unsur profesionalisme seperti kompetisi yang kacau, pajak dan laporan keuangan? Mereka akan teriak balik mengancam, jangan intervensi kami, nanti FIFA marah dan kita akan di sanksi. Enak benar kan jadi PSSI?

Ketiga, mereka selalu berkampanye persepakbolaan Indonesia akan segera maju sambil menodongkan segebok program peningkatan kualitas sepakbola. Apa jadinya jika mereka ditanya tentang jenjang kompetisi? Sejauh mana program berlanjut? Mereka akan berkilah program sudah dijalankan dengan optimal, tidak ada yang instan, jadi harap bersabar.

Enak benar jadi pejabat PSSI...

Sebagai awam, hemat saya masalah ini bukan masalah yang tiba-tiba saja muncul kepermukaan. Mengingat telah berkalai-kali sebelumnya muncul berita tunggakan gaji pemain, sampai pada transparasi PSSI sebagai induk organisasi sepakbola yang buram. BOPI dalam hal ini Kemenpora (Pemerintah) sudah sangat-sangat sabar dan halus dalam penanganan persepakbolaan Nusantara. Sehingga pada akhirnya ISL 2015 ditunda dengan pertimbangan yang sangat matang. Banyak klub kompetisi tertinggi Nusantara belum mampu menyelesaikan persyaratan diantaranya; akte pendirian klub sebagai badan usaha, SIUP, NPWP, susunan direksi, manajemen dan pemegang saham klub, dokumen keuangan klub, kontrak/MoU stadion kandang, serta kontrak kerja profesional pemain, pelatih dan ofisial. Sisanya silahkan baca di http://bola.kompas.com/read/2015/02/14/19361608/Tim.Sembilan.Rekomendasikan.Tunda.ISL?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktkwp

Logika sederhana saja, jika karyawan bergaji UMR saja harus punya NPWP misalnya, semestinya persyaratan tersebut diatas tidak sulit bagi klub dan kompetisi yang menghabiskan uang milyaran rupiah. Mana mungkin sepakbola akan tiba-tiba bisa maju tanpa penanganan profesional yang benar dan tepat.

Namun berbicara sepakbola Indonesia itu serumit menganalisa keadaan politiknya. Pertama, PSSI dalam hal ini perwakilannya sampai pada cabang sejauh ini adalah cerminan perpolitikan di Indonesia. Lihat saja kalau tidak percaya, sebutkan saja satu klub ISL yang tidak memiliki pengurus dari kalangan orang politik, biasanya kepala daerah. Sederhananya kayak gini, sejauh mana anda percaya pada politisi Indonesia, sejauh itu pula jarak harapan anda dengan kemajuan sepakbola Indonesia.

Kedua, karena kebanyakan pengurus klub dan PSSI adalah orang politik, mereka jarang sekali yang faham tentang bagaimana sepakbola harus berkembang. Kalaupun mereka faham, itu malah berbahaya. Karena mereka malah akan semakin tahu bagaimana membuat perencanaan yang baik hanya untuk mengeluarkan pundi-pundi keuangan saja. yang penting banyak berbicara, kerja nanti dulu.

Ketiga, politisi biasanya memiliki intelegensi memukau dalam hal mencari alasan. Sehingga jangan kaget jika mereka akan menganggap segala bentuk upaya perbaikan untuk persepakbolaan adalah intervensi. Segala bentuk intervensi bagi mereka wajib untuk dilaporkan pada Tuhan yang bernama FIFA. Mereka akan mendapat mu’jizat yang bernama ancaman sanksi, sebagian besar masyarakat bola pasti takut dengan kata banned oleh FIFA.

Keempat, jika klub kompetisi tertinggi saja kebanyakan tidak mampu memenuhi syarat profesional, bagaimana dengan kompetisi di bawahnya? Jangan salahkan jika setiap tahun ada saja tunggakan gaji pemain, pelatih atau ofisial. Apalagi jika harus berbicara tentang pembinaan usia dini, ah...mungkin itu terlalu jauh bagi PSSI

Kelima, apa gunanya kompetisi jika di level kompetisi klub antar negara Asia atau level tim nasional prestasi terjun bebas? Mereka mungkin berkilah banyak hal, terutama tim nasional tidak akan ada jika tidak ada kompetisi. Apakah Timnas U-19 yang kemarin baru saja jadi pahlawan dan dipencundangkan merupakan hasil dari ISL? Atau ahasil dari PT LI? Ahhh....sudahlah.

Keenam, mau tidak mau ada beberapa media massa yang memberikan informasi secara sepihak dan gencar, tidak berimbang. Bagi saya ini wajar, karena memang elit PSSI dekat dengan politik. Dan beberapa media memang berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Sehingga susah sekali informasi sampai pada masyarakat bola secara komprehensif. Setiap pagi, siang sore dan malam mereka nongkrong melihat dan membaca berita olahraga di media massa. Sayang sekali jika informasi yang mereka dapat hanya sepotong.

Bangsa ini seperti berhadapan dengan anak taman kanak-kanak (TK) setiap kali masalah PSSI kembali mencuat. Bagaimana tidak, selayaknya anak TK, PSSI selalu menggunakan kacamata sendiri untuk melihat apa yang benar dan apa yang salah. Dalam istilah perkembangan PSSI belum melewati masa egosentrisme masa kanak-kanak. Masa ini adalah masa dimana manusia menganggap pusat dunia adalah dirinya sendiri. Seperti digambarkan salah satu adegan serial Masya and The Bear, ketika suatu ketika Masya main petak umpet dengan Beruang, setiapkali Masya menutup matanya (dia tidak melihat apapun) dia juga merasa tidak ada yang bisa melihatnya, termasuk beruang. Sama seperti PSSI dan seluruh anggota klub ISL dalam deklarasi Bandung, mereka merasa dengan menjelaskan bahwa sanksi FIFA begitu menakutkan, mereka merasa semua orang pasti akan takut. Dalam hal profesionalisme, mereka merancang sedemikian rupa alasan yang menurut mereka sangat masuk akal (sekali lagi menurut mereka, seperti PSSI bukan badan publik yang harus laporan keuangan, tidak ada aturan dari FIFA tentang transparansi dll) mereka merasa semua orang pasti akan menerimanya.

Sekali lagi susah berhadapan dengan anak TK, jika mereka tidak punya uang mereka merengek ke orang tua, namun jika dimintai pertanggungjawaban mereka bilang “pokoknya habis”. Kalau kita memaksa, mereka akan melaporkan kita pada orang tua, bahkan nenek mereka. PSSI dalam hal organisasi di Negara ini mendapatkan jatah pembinaan, namun mereka tidak mau melaporkan keuangan layaknya lembaga lain, ketika kita paksa mereka akan mengadu pada FIFA.

Memang susah berurusan dengan anak TK. Tapi anehnya, mereka mengaku mampu menjalankan kompetisi ISL dengan baik dan profesional. Lisensi keorganisasian klub, kontrak profesional pemain, pelatih dan ofisial, kandang/stadion, jaminan dan NPWP/pajak tidak mampu memenuhi tapi ingin menyelenggarakan kompetisi. Ini seperti anak TK, yang tidak memiliki ijazah jenjang apapun ingin bahkan sudah masuk perguruan tinggi alias kuliah. Percayakah anda mereka bisa lulus?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun