Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Plagiarisme I: Karena Copy Tetangga Lebih Nikmat

24 Februari 2015   21:57 Diperbarui: 28 Agustus 2017   12:20 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari sussex.ac.uk

Akhir-akhir ini isu plagiarisme semakin kuat berhembus di lingkungan saya bekerja. Sesekali isu tersebut kemudian menjadi wacana berbagai kampus untuk bersih-bersih diri dari penyakit memalukan dan laten ini. Bahkan beberapa kelompok mahasiswa juga ikut-ikutan demo atau sekedar membuat spanduk penolakan plagiarisme.


Plagiarisme, terutama dalam dunia akademik seperti bulan yang mengitari bumi. Kadang dia terlihat dengan jelas ketika purnama, kadangpun dia nampak samar dalam bentuk sabit, bahkan tak terlihat sama sekali. Pada waktu-waktu tertentu, dia bahkan tetap tidak terlihat walaupun purnama, di kala mendung dan hujan. Namun adakalanya dia akan terlihat sangat jelas meskipun dalam keadaan sabit, karena memang sengaja diperhatikan oleh orang yang sedang kasmaran, penyair atau seorang klenik yang sedang beraksi. Itulah bulan, secara kasat mata ataupun tidak dia muncul dan menghilang, namun akan tetap selalu ada. Begitu juga plagiarisme.

Dalam bahasa latin, plagiarius disebutkan penculik anak atau budak milik orang lain. Namanya menculik, tentu dia tidak memakai tata krama. Dalam perkembangan maknanya, plagiat bukan hanya diartikan seorang yang mencuri hasil karya orang lain tanpa sepengetahuan orangnya, namun juga bagi yang izin sekalipun. Dengan catatan mereka tidak mengkonfirmasi izinnya dalam tulisan. Artinya plagiarisme bukan hanya urusan antara mereka yang menulis (meminjam ide/pendapat orang lain) dengan mereka yang ide/pendapatnya dipinjam. Plagiarisme secara luas merupakan isu makro dan bersifat futuristik, dia berbicara tentang bagaimana setiap karya memiliki kejelasan oleh siapa dan dari siapa, namun kejelasan yang dimaksudkan adalah kejelasan dalam perspektif penikmat karya tersebut. Inilah yang sering disalahtafsifkan oleh sebagian besar orang. Mereka menganggap plagiarisme telah selesai manakala urusan mereka dan orang yang mereka ambil ide/pendapatnya telah usai. Mereka memakai perspektif internal pembuat karya, bukan penikmat karya.

Nyatanya perkembangan arus informasi begitu derasnya, kita kadangkala tidak terasa ikut terseret arus tersebut. Kita seringkali tergiur oleh betapa berharganya manfaat dari tulisan seseorang sehingga secara tergesa-gesa tidak mencantumkan dari mana tulisan tersebut dan kapan tulisan tersebut dibuat. Jujur, saya merinding melihat model ini. Beberapa kali suatu waktu saya pun melakukan itu tanpa melihat konsekuensi masa depannya. Seringkali kita hanya menuliskan kata ”copas dari tetangga” atau “share dari tulisan teman”. Padahal kita sendiri paham, dunia cyber tidak memiliki sudut ruang yang mudah untuk dijelaskan. Dari kata-kata tersebut, “tetangga atau teman” yang mana yang kita maksud? Siapa mereka? Apakah itu karya mereka atau jaangan-jangan itu sudah duplikasi karya dari orang lain. Itulah mengapa filsuf postmodern menyebut akan datang suatu masa dimana realitas sudah sangat sulit untuk kita raba, karena jangan-jangan realitas yang kita raba adalah pencitraan dari realitas aslinya. Inilah yang disebut postrealitas.

Namun terkadang dengan sengaja kita ikut menceburkan diri dan mengikuti arus. Diam-diam kita melakukan penggandaan dan menyebar karya orang lain tanpa sedikitpun menyebut darimana hal tersebut berasal, padahal kita tahu sumber muasalnya. Inilah kejahatan sesungguhnya. Kita sengaja membunuh dan menghilangkan jejak pembuat karya dengan kejam dan dingin. Semoga kita tidak termasuk golongannya.

Plagiarisme adalah kecurangan, minimal kecurangan kepada masa depan. Saya katakan demikian karena terkadang kita merasa selesai melakukan copy paste hanya dengan izin kepada orang tersebut tanpa menggunakan tata administrasi yang benar dan diakui publik. Mungkin kita tidak (merasa) salah ketika pengarang asli masih hidup, tapi akankah kita masih merasa benar jika pengarang asli sudah meninggal?

Beberapa penelitian psikologi bisa menjadi tolok ukur mengapa kita mampu/tega berbuat curang dengan mengambil karya milik orang lain. Seijts, Latham, Tasya dan Latham (2004) dalam jurnalnya yang berjudul “Goal setting and goal orientation: an integration of two different yet related literatures” menyatakan bahwa terdapat tiga model orientasi hasil (goal orientation) pada pelajar, yaitu pelajar yang berorientasi kemahiran (mastery/learning orientation/MO), performasi/kinerja (performance orientation/PO) dan sosial (social orientation/SO). Pendapat tentang tiga model ini juga diamini peneliti seperti Elliot dan Harackiewicz (1996); Middleton dan Midgley (1997); dan VandeWalle (1997). Peneliti lain lebih mefokuskan diri pada dua model orientasi tujuan, yaitu MO dan PO (Dweck 1986; Dweck dan Leggett 1988).

Singkatnya begini, bahwa seorang yang menggunakan PO dalam menilai kesuksesan dia akan cenderung untuk mengembangkan kinerja berdasarkan hasil akhir, prestasi dan penghargaan. Individu jenis ini akan melakukan hal-hal yang membuat hasil akhirnya menjadi lebih bagus dan objektif. Dalam prestasi diukur pada seberapa sering dia mendapatkan nilai maksimal, penghargaan, kemenangan, pujian, untung dan piagam. Penelitian menunjukkan individu jenis inilah yang memiliki potensi lebih besar untuk berbuat curang dan melakukan segaala hal demi mendapatkan prestasi.

Lain halnya dengan orang dengan MO sebagai ukuran kesuksesannya, dia lebih pada mengembangkan penguasaan dengan belajar tahap demi tahap ketika mendapatkan tugas. Dia lebih subjektif dalam memaknai keberhasilan. MO mengarahkan individu untuk mengembangkan penguasaan pada hal-hal lain yang mampu mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya. Karena orientasinya bukan hasil, MO bahkan mengarahkan individu untuk tetap bahagia (baca: sejahtera) ketika dia mendapatkan kegagaalan. Inilah yang membuat orang untuk lebih teliti dan berpikir beribu kali untuk melakukan kecurangan.

Sayangnya banyak dari kita yang lebih memilih hasil akhir ketimbang proses. Kita cenderung terburu-buru menganggap prestasi dalam ukuran objektif bukan makna subjektif. Kita mengarahkan diri kita untuk diukur orang lain, bukan menghargai orientasi sesuai apa yang kita butuhkan. Kita lebih mendahulukan keinginan kita untuk dihormati atau sekedar mendapatkan jempol dan tepukan tangan orang lain daripada kebutuhan kita untuk berkembang dan lebih berkualitas.

Untuk itu kita hanya butuh untuk lebih tau bagaimana aturan yang membedakan antara plagiat dan mengutip. Saya akan mencoba membagi dalam tulisan pada bagian selanjutnya....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun