Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Pengasuhan vs Ketakutan

3 Februari 2016   12:00 Diperbarui: 28 Agustus 2017   14:21 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari yang lalu, secara kebetulan saya diundang sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk memfasilitasi pertemuan ibu-ibu peserta didik. Saya bilang hal tersebut sebagai sebuah kebetulan karena memang awalnya diskusi tersebut mendatangkan seorang doktor psikologi. Berhubung pemateri tidak datang, teman sekantor (yang juga wali murid) meminta saya untuk bersedia hadir dalam diskusi rutin “kamis pahing” tersebut. Temanya menarik, bagaimana menggantikan kata “jangan” ketika mengasuh si kecil. Hmm...sekilas saya jadi teringat beberapa gambar dan tulisan pendek yang seringkali di share beberapa grup di sosial media.

Pengasuhan. Mungkin kata dan konsep tersebut masih jarang sekali diperbincangkan pada tahun 90-an ke bawah. Tapi kata tersebut kemudian menjadi hal yang sangat ramai diperbincangkan, diseminarkan, diteliti dan bahkan berlalu-lalng menjadi meme di medsos. Apakah ini berarti masyarakat (orangtua-red) zaman dulu tidak tahu bagaimana mengasuh dengan cara yang benar? Saya rasa tidak juga. Buktinya para pemimpin kita dan orang-orang jenius zaman sekarang adalah produk orangtua zaman dulu. Tapi mengapa perbincangan tentang pengasuhan baru ramai diatas tahun 2000? Tentu ini bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab.

Harus diakui, masyarakat kita berubah, paradigma, kepercayaan, mental, cara berpikir dan berperilakunya. Peran-peran keluarga juga telah berubah jika dibandingkan dengan masyarakat pada tahun 90-an ke bawah.

Dulu keluarga menyisakan dan menyediakan sumberdaya yang cukup untuk mengasuh anak-anak mereka. Sekarang, keluarga modern lupa atau memilih untuk tidak menyisakan sumber daya untuk mengasuh anak-anak mereka. Mereka lebih sibuk untuk mendistribusikan segenap sumber daya pada sektor-sektor lain seperti menambah aset/modal, karir dan bahkan  gaya hidup. Jika dulu peran gender perempuan memposisikan diri sebagai manajer rumah tangga dan juga pengasuhan.

Sekarang semuanya menjadi kabur. Perdebatan seringkali terjadi, bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dan kewajiban yang sama. Kalau yang satu kerja dan berkarir, yang satu juga sama. Kalau yang satu memiliki kewajiban rumah tangga, yang lain juga iya. Sayangnya, perdebatan hanya berhenti pada hak untuk berkerja dan berkarir dan jarang sekali berlanjut pada manajerial rumah tangga. Suami-istri, keduanya (seringkali) lalai, abai dan bahkan egois untuk mengutamakan hak-hak mereka dalam pekerjaan dan karir.

Perubahan paradigma tentang hak dan kewajiban dalam gender tersebut kemudian mau tidak mau merubah cara pandang orangtua hari ini. Sumber daya keluarga kemudian diarahkan pada keduanya, ya pekerjaan dan karir, ya rumah tangga dan pengasuhan. Sayangnya mereka kemudian terbentur dengan waktu yang tersedia. Sehari tetap saja hanya ada 24 jam. Sekitar 8 jam dihabiskan dalam keadaan mata tertutup, 8 jam untuk pekerjaan dan hanya kurang dari 8 jam untuk manajemen dan pengasuhan. Itupun kalau tidak capek dan ada pekerjaan tambahan. 

Fenomena tersebut kemudian menyeret keluarga modern untuk mulai berdalih memperdebatkan kualitas bukan kuantitas. Bagi keluarga sekarang, kualitas lebih penting dari kuantitas. Benarkah kualitas? Bukankah itu hanya merupakan dalih karena keluarga sekarang begitu terdesak dengan aktivitas luar rumah dan mulai ketakutan akan model pengasuhan anak-anaknya? Semoga saja tidak.

Kok malah jadi ngomong ngalor ngidul. Kembali pada pengasuhan tanpa kata “jangan”. Saya melihat hal tersebut sebagai sebuah paradoks. Pada satu sisi, tips-tips untuk menghindari kata “jangan” sampai-sampai muncul kamusnya adalah sebuah terobosan luar biasa. Sebuah kreativitas orangtua hari ini. Tapi di sisi lain, hal tersebut terlihat seolah sebagai sebuah ketakutan orangtua masa kini akan terbatasnya waktu pengasuhan. Mereka seolah menginginkan hal yang instan dalam pengasuhan.

Jika kita merujuk definisi pengasuhan (parenting) kebanyakan ahli mendefinisikannya sebagai sebuah proses timbal-balik antara orangtua dan anak yang bertujuan untuk mengantarkan anak-anak menjadi manusia yang mampu memahami dan mengimplementasikan tujuan hidup bermasyarakat (Brooks, 2012). Artinya, pengasuhan melibatkan tiga elemen utama, anak-orangtua-masyarakat, yang ketiganya harus berkolaborasi dalam sebuah interaksi yang dinamis. Jika ketiga elemen tersebut wajib berkolaborasi, bukankah kesemuanya memiliki hak untuk menentukan jalan menuju arah tujuan masyarakat (dewasa-red)?

Sekarang pertanyaannya adalah apakah kata “jangan” atau kata larangan lainnya tidak berlaku bagi masyarakat kita? Jawabannya tentu tidak. Lantas, bukankah banyak artikel menyebutkan kata-kata larangan akan membuat mental anak kita menjadi ciut dan pecundang? Kalau saya boleh menjawab, tidak selalu. Mental atau kapasitas kepribadian seseorang bukanlah hal yang mudah untuk diukur dan ditebak. Anak-anak merupakan fase perkembangan manusia dimana manusia membutuhkan interaksi yang lebih dengan teman sebaya, orang lain dan juga lingkungan fisik. Tidak selalu, anak yang dibesarkan dengan otoriter akan menjadi manusia otoriter, atau sebaliknya.

Sebelum jauh menciptakan dan memproduksi kata dan kalimat baru untuk menggantikan kata “jangan”, mari kita lihat fakta tentang anak usia dini berikut ini:

  1. Bukankah mereka merupakan manusia yang tengah berada pada masa pengembangan kapasitas tanda-petanda (bahasa-red). Jika kita percaya salah satu teori psikolog terkemuka Jean Piaget, anak usia dini (2-6 tahun) merupakan masa perkembangan pra-operasional. Pada masa ini, manusia berkembang sedemikian rupa dengan ditandai kemampuannya dalam menguasai bahasa. Bahasa adalah hukum tanda dan petanda, hukum tentang simbol. Jika memang teori ini masih relevan, sebagai orangtua kita harus menyadari bahwa anak kita tengah belajar tentang simbol dan tanda. Bukankah kata “jangan” dan sejenisnya juga merupakan simbol?
  2. Anak usia dini merupakan tahapan perkembangan yang egosentris. Artinya manusia pada masa tersebut menggunakan dirinya untuk menjadi tolok ukur dunia. Yakinkah anda bahwa kamus “anti kata jangan” akan sesuai dengan perspektif mereka? Karena mereka berfokus pada dirinya, bukan pada harapan anda. Jika anda inging melarangnya, alihkanlah perhatiannya.
  3. Mereka belajar dengan bermain. Sangat wajar jika anak usia dini hanya bisa bermain saja dan meninggalkan kotoran serta keadaan berantakan di rumah atau halaman rumah. Bagi mereka itulah hidup, bermain. Mereka belum mengenal kerapian, estetika seperti halnya orang dewasa. Jika kita kembali merujuk kata kunci definisi pengasuhan, ingat kata “interaksi”. Jika tugas anak adalah bermain, maka tugas kita sebagai orangtua adalah menemaninya dan tentu merapikannya saat mereka selesai. Jika kemudian ada pertanyaan “kapan kita mengajarkan kepada mereka budaya disiplin?” hal tersebut akan dijawab dalam poin keempat
  4. Bolehkah kita memberikan peraturan pada anak usia dini? Tidak akan ada jawaban tegas terkait pertanyaan tersebut. Mari kita merujuk poin pertama, tentang masa perkembangan pra-operasional. Perhatikan kata “pra”, jelas artinya belum. Beda lagi kalau Piaget merubahnya dengan kata “post” atau sudah. Mereka belum berada pada tahapan operasional, atau tahapan formal. Jika kita merujuk poin kedua ada kata egosentris. Terkait peraturan untuk anak usia dini, terdapat satu prinsip jika kita merujuk dari berbagai teori perkembangan, yaitu menarik. Artinya anak akan bergerak mengikuti sesuatu yang dianggapnya menarik. Jika kita menganggap kamus “anti kata jangan” menarik bagi meraka, ya gak masalah. Pakai saja. Tapi kalau tidak, carilah cara lain. Saya ulangi sekali lagi, anak akan berperilaku mengikuti apa yang menurutnya menarik. Jika dalam konteks kebersihan sesaat setelah bermain,  mari kita perlihatkan pada mereka bahwa bersih-bersih dan merapikan juga hal yang menarik bagi mereka. Contohkanlah, demonstrasikanlah dengan menarik. Jangan malu menari, bernyanyi atau menggunakan “kostum” khusus saat membersihkan ruangan, semoga mereka tertarik. Itulah salah satu jenis stimulasi.
  5. Kehadiran orangtua bukanlah tema perdebatan. Orangtua (pengasuh utama, bagi yatim piatu) adalah sesuatu yang mutlak. Kurangi perdebatan tentang kuantitas dan kualitas kehadiran orangtua, pilih saja keduanya. Memiliki kuantitas kehadiran yang berkualitas, artinya menyisakan waktu sebanyak mungkin bagi mereka dan juga berinteraksi dengan penuh kasih sayang. Disini, kesadaran dan kolaborasi antara ayah dan ibu sangat dibutuhkan. Saya ulangi sekali lagi, berhentilah memperdebatkan kuantitas dan kualitas kehadiran orangtua dengan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun