Mekanisme sistem saraf manusia memungkinkan siapa saja untuk mengatur emosi awal yang pada akhirnya kita perlihatkan sebagai respon (perilaku)
Tamparan Will Smith (WS) kepada Chris Rock (CR) bisa menjadi momen paling diingat tahun ini. Dari berbagai sudut pandang, hal tersebut tentu sangat menarik untuk diperbincangkan. WS jelas aktor jempolan, buktinya penghargaan Oscar berhasil dia gondol sesaat setelah peristiwa penamparan. Jangan-jangan itu hanya gimmick untuk rating.Â
Toh, banyak orang juga melihat momen WS ikut tertawa saat awal-awal CR melempar candaan. Namun, melihat pidato dan ekspresi sesaat setelah menerima piala, penamparan tersebut jelas reaksi emosional baginya. Sekali lagi, banyak orang bertanya mengapa Will Smith dengan berbagai kapasitasnya melakukan penamparan saat marah, terlebih di depan umum.
Di kelas, saya sering bertanya pada mahasiswa; "mana yang lebih dulu, emosi atau berpikir?" setelah saya memperlihatkan kejadian-kejadian emosional seperti pertengkaran di jalan raya, momen sedih seseorang yang mendengar berita duka dan banyak lagi. Bisa jadi, momen WS-CR akan menjadi koleksi video yang saya bagikan semester depan. Sebagian besar mahasiswa secara reaktif langsung menjawab bahwa emosi mendahului kognisi (berpikir). Benarkah demikian? Bagaimana juga dengan pendapat bahwa kita merasa (emosi) dengan hati?
Berpikir Tentang Emosi
Tidak perlu menjadi ahli saraf untuk memahami pentingnya emosi dalam kehidupan sehari-hari. Emosi mendorong sebagian besar kehidupan kita sehari-hari. Kita mengejar apa yang menurut kita bermanfaat dan membuat bahagia dan menghindari hal-hal sebaliknya. Emosi akan menjadi selalu menarik untuk dibahas, karena dibandingkan dengan gerakan (motorik), kemampuan sensorik dan kognitif, emosi relatif kurang dipelajari dalam neurologi. Emosi memang relatif lebih sulit untuk dipelajari, terutama dalam hal pengukuran yang bisa diandalkan.
Emosi merupakan fenomena psikologis-fisiologis (biasanya berumur pendek) sebagai model adaptasi paling efektif manusia dengan tuntutan lingkunganÂ
Banyak ahli menyebut emosi sebagai sebuah fenomena psikologis-fisiologis berumur pendek yang mewakili mode adaptasi paling efektif manusia terhadap tuntutan lingkungan yang berubah dengan cepat. Emosi mengatur berbagai respons tubuh dan neurologis termasuk sensasi di organ jeroan kita (usus, lambung), ekspresi di wajah dan tubuh, dan mengubah perhatian dan pikiran. Respon emosional biasanya sangat membantu dan segera mengkoordinasikan pikiran dan tubuh untuk situasi yang muncul.
Secara umum, otak memproses emosi dalam serangkaian langkah. Pertama, informasi yang masuk harus dinilai dan diberi nilai emosional. Proses ini seringkali sangat cepat dan mungkin melampaui kesadaran kita. inilah yang menyebabkan kita cenderung tidak berpikir saat bertindak emosional. Meski begitu, reaksi emosional awal kita bergantung pada sejumlah bias dan konteks individu. K
ita kemudian dapat mengidentifikasi dan merasakan emosi tersebut. Tergantung pada situasi sosial, kita mungkin harus mengatur ekspresi emosi itu. Misalnya, ada saat-saat dimana kita mungkin ingin mengungkapkan kemarahan atau rasa jijik, tetapi bagaimanapun juga harus tetap tenang.Â