"Nda, aku bosan."
Frasa sederhana yang seringkali membuat kita, orangtua, menjadi sibuk mencari cara bagaimana mengembalikan motivasi anak.
Beberapa dari kita malah bingung, ketakutan dan merasa bersalah. Merasa jika kebosanan anak berawal dari kegagalan orang terdekat (tentu saja orangtua) gagal menstimulasi, mencerahkan atau memperkaya keseharian anak.
Terkadang juga kita malah sedikit sinis dengan tidak mempercayai kebosanan anak. Sehingga dengan enteng memerintahkan mereka untuk bermain, mengerjakan tugas atau hal-hal lainnya.
Semua orang pernah merasa bosan. Saat terjebak lama dalam antrian, saat dalam perjalanan dan masih banyak lagi.
Seringkali kita tergesa-gesa untuk mengusirnya, mengambil gawai dan mengusap layarnya. Berharap kebosanan akan segera berlalu, namun ternyata kadang itu tidak membantu. Entah karena tidak ada percakapan baru dalam aplikasi whatsapp, tidak ada lagi yang baru di IG, FB atau Twitter. Justru kita malah terjebak dalam dimensi yang lebih dalam, semakin merasa bosan.
Apa sebenarnya bosan?
Tidak ada definisi yang disepakati ahli terkait kebosanan. Kamus Mirriam-Webster menyebutnya hanya sebagai keaadan lelah dan gelisah karena tidak tertarik.
Neel Burton dalam tulisannya di Psychology Today menawarkan definisi kebosanan sebagai sebuah keadaan yang tidak menyenangkan karena adanya gairah yang tidak terpenuhi (unmet arousal).
Sementara Eastwood, dkk., dalam salah satu artikel yang diterbitkan Perspectives on Psychological Science percaya bahwa kebosanan lahir dari kegagalan seseorang terlibat dengan lingkungannya.
Maggie Koerth-Baker dalam majalah Nature melihat kebosanan sebagai kondisi mental yang tidak menyenangkan akibat kurangnya rangsangan. Baginya kebosanan berbeda dengan depresi atau perasaan apatis. Seperti saat kita ingin beraktivitas tetapi tidak menyadari apa yang kita inginkan, dan berharap ada yang membantu menyelesaikan kebuntuan tersebut.