Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gaya Belajar dan Alasan Mengapa Kita Menyukai Guru atau Dosen Tertentu

27 Februari 2018   15:47 Diperbarui: 28 Februari 2018   08:11 3236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: knowtex.com

Sambil menuang kopi, Doni mengeluhkan perkuliahan yang harus dihadapinya semester ini gara-gara harus bertemu lagi dengan dosen yang menurutnya sulit untuk dipahami keterangannya saat di kelas. 

Di lain tempat, sekelompok dosen sedang berbincang santai tentang hasil survey kepuasan layanan dosen yang lagi-lagi menempatkan beberapa dosen yang hampir sama dengan semester sebelumnya dalam urutan teratasnya.

Selama bertahun-tahun para pengajar dan pelajar sama-sama berjibaku dalam proses pembelajaran, di satu sisi pengajar terus berjuang dengan cara pengajar, pada sisi lainnya pelajar juga terus menerus berjuang untuk memperbaiki cara belajar mereka. 

Hampir bisa dipastikan bahwa setiap pengajar (guru dan dosen) memiliki gaya khusus dalam mengajar, begitu juga setiap pelajar yang memiliki gaya dalam belajar. Masalah dalam pembelajaran baru akan terlihat jika gaya mengajar seorang pengajar tidak sesuai dengan gaya belajar beberapa pelajarnya.

Sejatinya setiap dari kita telah menyadari bahwa kita berbeda dengan saudara kita, dengan orangtua kita dan juga berbeda dengan teman-teman kita. Perbedaan tersebut terlihat saat kita merasakan bahwa orangtua kita mungkin terasa memaksakan kehendaknya kepada kita. Atau bahkan sebaliknya, kita seringklai memaksakan kehendak kita kepada anak-anak kita. 

Padahal mereka tidak tertarik kepada bidang yang kita kehendaki untuk mereka kuasai. Pada saat itu, kita mungkin mulai mempertanyakan mengapa anak-anak kita tidak tertarik atau tidak mampu "menangkap" hal-hal yang sewaktu kita kecil kita mampu melakukannya. 

Saat mengingat masa-masa sekolah, kita mungkinjuga sering bertanya mengapa beberapa guru menurut kita "lebih baik" ketimbang guru yang lainnya. Mengapa juga kita dan anak-anak lainnya lebih menyukai pelajaran tertentu dibandingkan pelajaran yang lainnya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas memang terlihat seperti hal yang sederhana, namun sebenarnya hal tersebut penting dalam dunia pendidikan. Selama bertahun-tahun ilmu pendidikan mempelajari pertanyaan-pertanyaan tersebut dan telah menemukan satu benang merah, bahwa pertanyaan selayaknya bukan saja kita buat dengan narasi 'bagaimana pelajar belajar memahami pelajaran?' namun juga harus dilengkapi dengan narasi pertanyaan 'bagaimana mereka menerima pelajaran dari guru mereka?'. Artinya, pendidikan bukan hanya masalah bagaiamana pelajar belajar, namun juga bagaimana gurunya menyampaikan pelajaran tersebut.

Seperti yang diketahui bersama, bahwa setiap orang belajar dengan cara berbeda dari yang lainnya. Namun sayangnya selama bertahun-tahun gaya belajar seseorang seolah dikotakkan hanya dalam tiga kategori besar. 

Sebagian orang belajar dominan dengan menggunakan penglihatannya (gaya visual), sebagian lainnya lebih menggunakan pendengarannya (gaya auditori) dan sisanya menggunakan cara langsung bersentuhan dengan objek belajarnya dengan mempraktekkannya (gaya kinestetik/fisik). Senyatanya ketiga gaya belajar tersebut memiliki cakupan yang sangat luas, sehingga dapat kita kategorikan ulang dalam beberapa kategori kecil.

Berikut adalah kategori gaya belajar yang disusun oleh behavioris Scott Black yang didasari dari teori Howard Gardner, sang profesor termasyhur Harvard:

  1. Gaya Linguistik. Pembelajar linguistik adalah orang yang paling banyak belajar melalui keterampilan linguistik termasuk membaca, menulis, mendengar, atau berbicara. Terkadang, orang-orang yang menggunakan gaya ini mengombinasikan ketiganya. Metode pembelajaran terbaik bagi orang dengan gaya linguistik adalah membaca, kemudian mendengarkan rekaman audio dan mencatatnya. Bagi orang-orang linguistik, konsentrasi mereka akan lebih baik jika mereka bukan hanya memahaminya, namun juga mencatatkannya. Tidak mengherankan, jika banyak akademisi adalah seorang dengan gaya linguistik.
  2. Gaya naturalis. Merupakan gaya belajar individu yang membutuhkan praktik langsung, mengalami dan berinteraksi langsung dengan sumber belajarnya. Hal tersebut terdengar seperti kerja seorang ilmuan. Memang begitulah orang-orang naturais, mereka menyukai pengalaman, terjun ke lapangan untuk mengamati apa yang terjadi, kemudian menangkap pengetahuan terbaik bagi mereka untuk kemudian diuji cobakan.
  3. Gaya musikal atau aural. Orang-orang dengan gaya musikal adalah orang-orang yang belajar dengan menggunakan  irama, melodi dan ritme. Seorang musisi adalah contoh paling tepat orangorang dengan gaya ini. Musikalis biasa mendengarkan melodi dan ritme yang datang kapanpun juga, mereka mempelajari hal tersebut dan menggabungkannya menjadi hal yang baru. Bisa jadi sewaktu anak-anak, orang jenis ini akan terlihat sangat menjengkelkan, karena seringkali mengetuk meja di kelas, bersiul, mengentakkan kaki, bergoyang-goyang dan bersenandung saat mata pelajaran berlangsung. Bagi mereka irama dibutuhkan sebagai latar belakang pembelajaran. Musik adalah kebutuhan, bukan gangguan.
  4. Gaya kinestetik. Seseorang dengan gaya kinestetik biasanya baru dapat memahami sesuatu jika mereka benar-benar telah mengalami dan melakukannya. Mereka bersifat sangat ilmiah, karena membutuhkan percobaan secara langsung dalam belajar. Seorang kinestetik disebut akan sangat cocok bila bekerja dalam bidang yang membutuhkan pengalaman langsung, alih-alih hanya memahami teks seperti di kelas. Beberapa pekerjaan berbasis kinestetik yang paling umum adalah seni, manufaktur atau bidang kreatif seperti terapi fisik, tarian, akting, pertanian, pertukangan, operasi, dan pembuatan perhiasan.
  5. Gaya visual-spasial. Seseorang dengan gaya ini adalah orang yang akan belajar baik jika ada alat bantu visual untuk membimbing proses belajar. Seperti diagram, gambar, grafik atau yang lainnya. Biasanya, orang-orang ini cenderung berorientasi teknis dan memasuki bidang teknik, salah satunya adalah bidang IT. Kita bisa melihat berapa banyak teman kita yang jurusan IT tapi kemampuannya tidak lebih baik dari mereka yang tidak mengambil IT namun menekuninya karena merasa itulah dunianya. Mengapa? Karena mahir dalam pemrograman dan IT mengharuskan seseorang menjadi pembelajar visual atau spasial yang kuat. Hampir semua yang berkaitan dengan komputer bersifat konseptual dan bergantung pada representasi grafis atau visual komponen yang sebenarnya tidak dapat dilihat (misalnya byte).
  6. Gaya logis-matematis. Seseorang dengan gaya logis atau matematis harus mengklasifikasikan atau mengkategorikan sesuatu. Mereka juga cenderung memahami hubungan atau pola, angka dan persamaan, lebih baik dari yang lain. Gaya belajar ini jelas dimiliki oleh semua matematikawan, sebagian besar insinyur dan profesi teknis lainnya.
  7. Gaya Interpersonal. Banyak diantara kita mampu belajar dengan baik jika telah mengkoreksi dan atau berinteraksi dengan orang lain. Seringkali, orang-orang ini berbagi cerita, bekerja paling baik dalam tim, dan membandingkan gagasan mereka dengan gagasan orang lain. Dalam arti tertentu, yang lain membantu mereka memikirkan gagasan baru mereka sendiri. Mereka seringkali merupakan pemimpin yang baik dan juga pemain tim. Anda sering melihat orang-orang ini di berbagai bidang politik, psikologi atau ilmu sosial lainnya.
  8. Gaya Intrapersonal atau soliter. Sebagai lawan dari interpersonal, terdapat gaya intrapersonal, mereka justru akan terlihat sangat baik jika bekerja dan belajar saat mereka sendiri. Orang-orang seperti ini biasanya menetapkan tujuan individual yang sangat menantang (jika tidak dapat dikatakan perfeksionis) namun realistis bagi dirinya. Mereka juga termotivasi oleh kekuatan internal, bukan yang eksternal. Seringkali individu intrapersonal adalah seorang yang tertutup, namun juga kreatif. Gaya belajar seperti ini mengantarkan orang-orangnya menjadi pengusaha, dan terkadang pemilik usaha kecil. Kalaupun mereka memasuki bidang industri dan menjadi karyawan, mereka sangat tidak suka mendapatkan pengawasan langsung.

Apakah gaya belajar merupakan perilaku tetap?

Ahli psikologi Robert J. Sternberg (1994) menyebut gaya belajar bukanlah kemampuan seseorang, melainkan cara yang lebih disukai seseorang untuk menggunakan kemampuannya. Pengertian tersebut menggenapi definisi yang disebutkan Kolb (1984) yang menyatakan gaya belajar sebagai kategori yang dikembangkan oleh peneliti pendidikan untuk mengklasifikasikan peserta didik berdasarkan pendekatan mereka dalam memahami dan memproses informasi. 

Artinya, setiap individu memang memiliki perbedaan secara alami dalam kebiasaan dan pilihan mereka untuk menyerap, memproses, dan mempertahankan informasi dan keterampilan baru. Gaya belajar biasanya merupakan entitas bipolar (misalnya reflektif versus impulsif, acak versus berurutan, induktif versus deduktif), mewakili dua ekstrem dari rangkaian luas yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan potensial sendiri. Kabar baiknya, menurut ahli pendidikan Jay M. Reid (1995), gaya belajar bukanlah mode perilaku yang tetap. 

Artinya, gaya belajar seseorang menurutnya dapat saja berubah atau termodifikasi berdasarkan situasi dan tugas yang berbeda. Namun, sejauh mana individu dapat memperpanjang atau mengubah gaya mereka agar sesuai dengan situasi tertentu bervariasi.

Secara umum, perhatian peneliti pada gaya belajar dimulai oleh teori psychological typesyang dilempar oleh salah satu murid Freud, Carl Gustav Jung pada tahun 1920-an. Sedangkan dalam bidang pendidikan, menurut Carol Griffith (2012) konsep ini mulai ramai diperbincangkan sejak tahun 1970an.

Guru, apakah harus menuruti gaya belajar siswa?

Implikasi antara gaya belajar dan hubungannya dengan prestasi akademik dalam pendidikan terus saja menjadi kontroversi baik dalam kalangan psikologi maupun dunia pendidikan. Pendukung penilaian gaya belajar dalam pengajaran percaya bahwa gaya belajar dapat diukur dan digunakan sebagai alat pengajaran yang berharga di dalam kelas. 

Para ahli yang mendukung percaya bahwa dengan mendiagnosis (melacak) gaya belajar siswa kemudian mencocokkannya dengan metode pengajaran akan sangat membantu siswa baik dalam pemahaman maupun partisipasinya di kelas. 

Sedangkan para ahli lainnya --seperti Daniel Willingham (2005) dan juga Stevan Stahl (1999), tidak kalah sengit menentang dan mengklaim bahwa menyesuaikan instruksi dengan gaya belajar individual siswa tidak menghasilkan hasil belajar yang lebih baik.

Dialektika dalam tema gaya belajar seharusnya kita sikapi dengan bijak, pada satu sisi kita bisa menggunakannya sebagai jaga-jaga untuk tidak tergesa-gesa menyalahkan peserta didik, entah itu adalah kita, anak kita atau siapapun saat mereka belum mampu menyerap informasi dan pengetahuan yang telah disajikan dalam proses belajar mereka. Pada sisi lain, kita juga harus menyadari bahwa preferensi gaya tersebut bukanlah pati,atau sesuatu yang tidak lagi bisa berubah.

Intinya tidak ada satu orangpun yang hanya memiliki satu gaya sebagai modal utama mereka untuk belajar. Oleh karena itu penting bagi orangtua dan lembaga pendidikan memperluas kemampuan peserta didik untuk menggunakan sebanyak mungkin gaya belajar.  Stimulasi dan dukungan terus menerus untuk pelajar merupakan hal yang tak kalah penting untuk membantu seseorang belajar lebih baik. Lagi dan lagi.

Untuk lebih mendalam, silahkan membaca:

Griffiths, C. (2012). Learning styles: Traversing the quagmire. In Psychology for Language Learning (pp. 151--168). Springer.

Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning. Prentice-Hall: Englewood Cliffs, NJ.

Reid, J. M. (1995). Learning styles in the ESL/EFL classroom. ERIC.

Stahl, S. A. (1999). Different Strokes for Different Folks? A Critique of Learning Styles. American Educator, 23(3), 27--31.

Sternberg, R. J. (1994). Allowing for Thinking Styles. Educational Leadership, 52(3), 36--40.

Sternberg, R. J. (1994). Allowing for thinking styles'. Educational Leadership, 52(3), 36--40.

Willingham, D. T. (2005). Ask the Cognitive Scientist Do Visual, Auditory, and Kinesthetic Learners Need Visual, Auditory, and Kinesthetic Instruction? American Educator, 29(2), 31.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun