"Posisi menentukan prestasi"
Begitu adagium masyhur yang diucapkan pelajar dan mahasiswa saat berebut tempat duduk sewaktu ujian. Apakah ungkapan tersebut benar adanya? Ataukah ia bagian dari mitos?
Sejauh pengamaatan pribadi saya sebagai pengajar, ungkapan tersebut tidak lebih dari bentuk pesimisme dan rendahnya harga diri pelajar saat ujian. Kebanyakan pelajar menghindari tempat duduk depan hanyalah untuk menghindari pengawasan berlebih dari guru/pengawas ujian. Mengapa demikian? Tidak lebih dari kurangnya persiapan (belajar) pelajar, bahkan kurangnya pemahaman mereka saat menerima pelajaran dan belajar di rumah (itupun kalau belajar, hehe). Selain berebut tempat duduk, terdapat aktivitas lain yang secara implisit menggambarkan optimisme pelajar, yaitu saat mereka diminta mengumpulkan tugas di meja guru.Â
Beberapa pelajar bukan saja mengumpulkan pekerjaannya, tapi juga menyelipkan pekerjaan tersebut sehingga tidak berada dalam urutan paling atas. Dua fenomena tersebut sewajarnya menjadi bahan evaluasi pembelajaran di kelas saat ini. Apakah pembelajaran telah terjadi dan memfasilitasi minat pelajar, atau sebaliknya, mereka dengan "terpaksa" menerima materi demi menghindari punishmentbaik dari guru, orangtua mereka atau masyarakat.
Penataan ruang kelas merupakan salah satu isu menarik dalam pendidikan formal. Sayangnya isu tersebut jarang tereksekusi dalam kenyataan dengan berbagai alasan, mulai dari aturan-aturan konvensional, biaya, sampai keberanian dan keterampilan guru. Selama puluhan tahun sampai dengan hari ini, banyak ruang kelas sekolah masih disusun secara tradisional, berderet menghadap papan tulis dan atau guru. Pada dasarnya setiap pelajar memiliki keinginan untu menentukan tempat duduknya saat di kelas. Lihat saja ketika kesempatan tersebut mereka dapatkan --semisal dalam ujian seperti contoh di atas, atau saat mereka masuk kelas pada hari pertama saat kursi belum memiliki "penghuni", mereka akan berebut posisi tempat duduk.
Jadi bagaimana dengan situasi kelas sekarang? Kelas anda (jika guru), kelas anak-anak kita sampai kelas sekolah-sekolah di sekitar kita. Apakah tetap seperti dulu sewaktu kita masih kecil, atau sudah mulai banyak perubahan? Kalau di perkotaan, saya rasa sudah banyak yang berubah. Sekolah di tingkatan dasar dan menengah berlomba memberikan penawaran kurikulum, tujuan pelajaran, strategi penilaian, dan metode pembelajaran yang paling sesuai untuk setiap kelompok pelajar. Bahkan sempat beberapa tahun belakangan ramai sekolah berbasis "alam".
Ruang kelas bukan sekat
Jika kita menyetujui bahwa kelas bukanlah milik guru/pengajar semata, maka harusnya kita menyediakan ruang kelas juga untuk pelajar. "Filosofi pendidikan guru tercermin dari bagaimana dia memperlakukan tata ruang kelas", begitu dikatakan oleh psikolog lingkungan Robert Sommer empat puluh tahun yang lalu melalui tulisan yang berjudul classroom layout. Menurutnya guru harus mengatur pengaturan kelas dan tata letak kursi berdasarkan tujuan pelajaran. Dia menekankan bahwa tidak ada layoutideal yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas pembelajaran.Â
Jika tidak ada tata letak ideal untuk semua jenis tujuan pelajaran, mengapa jarang sekali guru/sekolah yang berani melakukan perubahan pada ruang kelasnya? Kebanyakan tata letak kelas sekarang hanya cocok untuk metode ceramah dari guru. Harusnya berbeda dengan jenis berkelompok yang lebih cocok dengan jenis tabel klaster. Beberapa pelajaran ilmu eksakta biasanya membutuhkan meja panjang untuk peralatan dan menampilkan hasil uji coba.
Kenyamanan adalah salah satu pendorong partisipasi pelajar dalam pembelajaran. Fasilitas pembelajaran seperti ruang kelas, meja dan kursi serta lainnya harusnya benar-benar "memfasilitasi" pelajar dalam arti membantu pelajar mengambangkan potensinya. Bukan sebaliknya, malah menjadi sekat dan halangan bagi mereka.
Layout kelas dan partisipasi pelajar