Headbutt Zidane kepada Materazzi saat extra time final piala dunia 2006 di Berlin merupakan contoh sempurna bagaimana pemain besar-pun tumbang dengan mind-game. Materazzi merupakan tipikal pemain yang tahu betul bahwa terkadang pertandingan harus dimenangan dengan permainan pikiran --melalui provokasi.
Sebutan Matrix oleh penggemarnya merupakan penghargaan atas "kelebihan"nya tersebut. Sebagai sebuah bek, jelas dia bukanlah bek dengan kualitas teknik di atas rata-rata pada zamannya. Namun dia punya "kecerdikan lain" untuk menjatuhkan musuhnya, terlepas pro-kontra yan menyelimutinya.
Dalam sebuah kejuaraan, olahraga bukanlah semata kemampuan atlet dalam menampilkan teknik dan tenaga, melainkan juga kemampuan mengolah mental. Kejadian bertubi-tubi tentang perasaan atlet Indonesia "dicurangi" dalam Sea Gamesdi Malaysia tahun 2017 ini merupakan cermin yang pas untuk melihat seberapa jauh keseimbangan tenaga, teknik dan pikiran atlet kita.
Mulai dari kasus WO (plus adegan tangis massal) saat dicurangi dalam cabang sepak takraw sampai yang teranyar kasus perkelahian pemain sepakbola saat melawan Kambodja merupakan rentetan PR besar yang harus segera diselesaikan oleh jajaran pelatih masing-masing cabang.
Dalam buku yang terbit tahun 2007 berjudul Handbook of Sport Psychology,Robin S. Vealey menyebut setidaknya terdapat minimal empat keterampilan dasar mental yang harus dikuasai oleh atlet melalui latihan terus menerus, yaitu keterampilan dasar (foundation Skill), keterampilan penampilan (performance skill), keterampilan pengembangan diri (personal development skill), dan keterampilan tim (team skill). Keempat aspek tersebut dalam beberapa penelitian psikologi merupakan bangunan mental utama yang dimiliki atlet-atlet terkemuka dari berbagai cabang olahraga. Kebetulan aspek pertama sudah pernah saya ulas pada tulisan dapur mental olahraga.
Dalam kasus semalam, terkait "tawuran" antar pemain timnas sepakbola Indonesia Vs Kambodja, sepertinya kita perlu menyimak skill kedua bangunan mental menurut Vealey yaitu keterampilan penampilan (performance skill/PS) pemain-pemain kita.
Performance skill merupakan kemampuan mental yang penting untuk digunakan saat pemain  memperlihatkan skill olahbola di atas lapangan. Komentator bola di Indonesia sering menyebut kemampuan ini sebagai mental bertanding. Artinya, tanpa kemampuan ini pemain tidak akan mampu memperlihatkan kemampuan asli mereka atau mengeksekusi taktik-taktik yang sudah dikemas dalam latihan.Â
Vealey membagi kemampuan ini dalam tiga aspek dasar, yaitu kemampuan berpikir perseptual (perceptual-cognitive skill/PCS), memfokuskan perhatian (attention focus/AF), serta mengatur energi (energy management/EM). Singkat kata teori ini memberikan kita rumus PCS (berpikir cerdas) + AF (menjaga fokus) + EM (mengatur emosi) = V (kemenangan). Pertanyaannya, benarkah dalam pertandingan semalam aspek performance skillpemain-pemain kita jeblok? Mari kita lihat!
Kemampuan berpikir perseptual (PCS) sebagai aspek pertama PS sepertinya tidak berjalan dengan baik. PCS mengacu pada struktur pengetahuan dan cara berpikir pemain dalam mengeksekusi taktik pelatih. Meskipun menguasai jalannya pertandingan dengan 68% penguasaan bola, Evan Dimas dkk. seringkali gagal membaca arah taktik defensif lawan.Â
Hal tersebut dapat dibuktikan dengan "hanya" memiliki 4 tembakan mengarah ke gawang dari 22 total peluang yang dibangun. Statistik tersebut dapat dijelaskan dalam beberapa hal penting, yaitu kemampuan pemain mengingat taktik, mendeteksi dengan cepat taktik yang cocok saat dalam posisi tertentu sampai pada kemampuan mengambil keputusan (cepat dan tepat) saat mengeksekusi taktik. Kesalahan mengumpan, kebingungan menggunakan sisi lapangan dan juga kegagalan memilih ruang kosong saat bergerak merupakan indikasi pemain kita masih kebingungan dengan taktik yang diterapkan Luis Milla.