Mohon tunggu...
Akhmad Mukhlis
Akhmad Mukhlis Mohon Tunggu... Dosen - Gandrung Sepak Bola, Belajar Psikologi

4ic meng-Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kualitas Guru dan Amnesia Perguruan Tinggi

10 Juli 2015   11:21 Diperbarui: 10 Juli 2015   11:21 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kabar kurang menggembirakan datang dari ulasan Kompas 8 Juli 2015, disebutkan bahwa “Kualitas Guru Masih Rendah”, Kompas menyebutkan tidak lebih dari 20% guru yang mampu lolos dengan nilai diatas 60 (dengan rentang 0 – 100) pada uji kompetensi guru yang di gelar oleh Kemendikbud pada tingkat TK sampai SMA sederajat. Lebih memprihatinkan lagi, diantara 1.6 juta guru, hanya 192 guru (sebagian besar guru SMP) yang mampu mencapai nilai 90 – 100, sedangkan 130 ribu lainnya tak mampu melewati angka 30. Sebagai negara yang hampir genap berumur 70 tahun hal tersebut merupakan kado pahit, tamparan sekaligus tantangan keberlangsungan bangsa ini kedepan. Menengok pendidikan merupakan pondasi utama masa depan bangsa, sulit bagi bangsa ini untuk bangkit jika kualitas tenaga pendidikannya sangat memprihatinkan.

Kompas kemudian menyoroti bagaimana kiat pemerintah meningkatkan kualitas guru serta sedikit memberikan sorotan bagaimana peran LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) dalam hal ini kampus seharusnya memberikan peranannya, mengingat dari kampus-lah guru berasal. Secara pribadi saya lebih sepakat sorotan kedua Kompas, yaitu peran Perguruan Tinggi. Kesepakatan saya sederhana saja, bagaimana meningkatkan kualitas jika subjek targetnya (guru) memiliki dasar keilmuan yang memang kurang memenuhi standar? Sedangkan pelatihan dan kursus tidak akan selama masa pendidikan kuliah. Bagaimana bisa waktu sesingkat pelatihan bisa menyulap guru untuk menjadi lebih berkualitas?

Dalam hati seringkali saya merasa aneh bahkan sedikit gemas dan jengkel melihat komentar di acara dialog atau talk show televisi terkait kualitas guru. Campur aduk antara aneh, gemas dan jengkel memuncak ketika melihat yang melontarkan komentar adalah pakar pendidikan yang notabene dari kampus. Saya seperti melihat seorang tukang bakso yang berbicara mengkritisi kualitas rasa bakso buatannya dengan menempatkan dirinya sebagai “orang lain”. Padahal dia tahu persis bagaimana dia mengolah bumbu, bakso, kuah dan penyajiannya, namun saat berbicara dia seolah memakai dasi dan mengkritisi habis rasa bakso tersebut. Parahnya lagi, dia berbicara saat bakso sedang dinikmati konsumen.

Peran Perguruan Tinggi

Mau tidak mau kita harus jujur, bahwa formasi pendidikan dalam perguruan tinggi masih menjadi salah satu favorit pendaftar, bahkan pada tahun 2014 data resmi Kemendikbud menyebutkan jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) masuk 5 besar jurusan paling diminati pendaftar. Fakta tersebut minimal mendeskripsikan beberapa hal, pertama bangsa ini masih menaruh minat, harapan dan kepercayaan yang cukup tinggi pada pendidikan. Kedua masyarakat kita masih bersedia berjuang untuk kemajuan bangsa, mengingat masih banyak yang bercita-cita menjadi pendidik. Ketiga perguruan tinggi bisa lebih leluasa untuk melakukan seleksi untuk melihat, memilih dan memilah potensi peserta. Keempat (semoga hal ini tidak terjadi) masyarakat kita banyak yang gandrung untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS/ sekarang ASN). Saya menuliskan fakta terakhir karena banyak tetangga saya menginginkan dan berjuang habis-habisan untuk menyokong anaknya masuk jurusan pendidikan hanya untuk melihat anak-anaknya menjadi guru PNS.

Mengenai deskripsi ketiga, saya rasa hal tersebut sangat logis. Dengan melimpahnya peserta peminat pendidikan seharusnya tidak ada lagi alasan perguruan tinggi untuk berkata tidak pada peningkatan kualitas. Keleluasaan memilih dan memilah potensi pendaftar layaknya dimanfaatkan seluas-luasnya pagi pihak panitia penyeleksi. Mengingat profesi guru membutuhkan dedikasi dan integritas yang selayaknya lebih tinggi daripada profesi yang lainnya. Namun apa yang terjadi di lapangan tidak selalu seperti yang kita inginkan. Disana sini masih terdengar jalur-jalur tikus remang dan gelap terkadang ramai dilewati orang tua calon mahasiswa untuk menyiapkan kursi untuk anaknya. Tikus memang makhluk mengerat dengan imunitas tinggi, dimanapun dapat kita jumpai dimanapun dia mampu beradaptasi.

Setelah melihat jalur dan cara menyeleksi, kita seharusnya tidak terburu menuju cara perbaikan guru melalui pelatihan dan pendidikan guru (diklat) melainkan melihat bagaimana para calon guru (cagur) dididik dan ditempa di perguruan tinggi. Saya berandai jika semua cagur ini telah diseleksi dengan ketat, pihak kampus tentu tidak akan kerepotan memoles mereka untuk menjadi guru yang profesional. Namun sekali lagi semua harapan kita belum tentu menemui kenyataannya. Nyatanya cagur dididik hampir sama bahkan (ada yang) seadanya. Tengok saja daftar kampus yang kemarin dibekukan oleh Kemenristekdikti RI. Kalau mau melihat lebih dalam, mari kita lihat implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi yang diemban oleh para fasilitatornya (dosen), yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian. Untuk urusan ini, saya melempar pertanyaan pada pembaca yang budiman, kira-kira lebih banyak mana dosen yang benar-benar mengemban beban kerjanya (BKD) secara profesional atau yang melakukannya hanya karena ritual saja? Kita tentu mengendus bau anyir tentang dosen proyek, mereka yang lebih banyak berprofesi (ngamen) di luar kampus daripada mengemban Tri Dharma. Kita juga seringkali membaca demonstrasi mahasiswa karena dosen yang malas ngajar dan tidak profesional. Bagi anda yang pernah atau tengah kuliah, apakah seluruh tugas anda diujikan dengan sistem yang objektif? Seperti tugas kuliah, KKN/PKL, sampai skripsi. Mungkin secara bersama anda menjawab “ya”. Tapi jika saya bertanya, apakah anda pernah melihat berkas BKD diujikan secara terbuka? Misalnya, setiap dosen berkewajiban melakukan penelitian, apakah anda pernah mendengar penelitiannya diujikan?

Sekarang kita melihat kiat mahasiswa yang tengah dan telah menempuh jalur pendidikan di perguruan tinggi. Ini masalah mental dan tentunya fundamental. Tidak fair juga kalau kita hanya melihat kesiapan kampus menggodok mereka menjadi tenaga pendidik. Gaya hidup mahasiswa yang semakin komplek dengan problematika seharusnya menjadi perhatian kita bersama. Mahasiswa, keluarga, kampus dan masyarakat diharapkan meningkatkan kerjasama untuk terus membimbing mahasiswa (cagur) berada pada jalur yang tepat. Kasus kriminal, narkoba sampai aborsi menjadi peristiwa yang cukup memprihantinkan bagi generasi penerus ini. Jika pengawasan dan bimbingan antar pihak diatas longgar, saya tidak membayangkan berapa banyak lagi mahasiswa yang akan menemui jalan suram masa depannya.

Banyak masalah lain yang harus kita dalami satu per satu secara gamblang selain masalah yang saya paparkan sedikit diatas. Jika peningkatan mutu guru melihat secara holistik dan komprehensif problematika mulai cagur diseleksi, saya kira kita semua bisa menghitung waktu untuk melihat kualitas pendidikan kita sejajar dengan negara kelas wahid macam Finlandia. Bukan mimpi saya rasa. Kita juga tidak akan terlalu mendewakan efek diklat guru. Diklat saya rasa hanya dibutuhkan untuk mengup-grade kompetensi guru agar sesuai dengan kebijakan pemerintah, bukan sebagai ujung tombak penyelesaian masalah kualitas guru.

Kompleksitas masalah kualitas guru layaknya tanggung jawab bersama, utamanya perguruan tinggi sebagai dapur pengolahnya. Jika para ahli (yang notabene orang kampus) dengan gampang mengkritisi kualitas guru dan kebijakan pemerintah dalam memfasilitasi diklat, saya melihat perguruan tinggi tengah terserang amnesia. Kalaupun terserang, saya hanya berdoa hal tersebut adalah amnesia retrograde, yaitu lupa pada hal-hal sebelum masalah terjadi bukan amnesia anterograde, lenyapnya segala jenis memori setelah masalah terjadi (dalam beberapa kasus, susah untuk menyimpan memori lagi). Masalahnya jika retrograde kita masih memiliki hal untuk melakukan perbaikan kedepan, sedangkan anterograde kita akan melupakan masalah begitu saja dan tak mampu membuat perbaikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun