Kepergian Soeharto beberapa tahun lalu, mantan presiden yang pernah menjabat 31 tahun tersebut telah membawa duka ke pelosok negeri. Pengumuman wafatnya pada hari Ahad, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB telah merebut simpati untuk dijadikan berita utama di berbagai media massa. Terlepas dari kontroversialnya karena dianggap telah melanggar hak asasi manusia (HAM), namun di mata dunia internasional sepakat mengganggap Soeharto sebagai sosok yang telah membawa modernisasi, kemajuan ekonomi, dan persatuan di Indonesia.
Jasa Pak Harto yang tak terbantahkan pun diakui secara jujur oleh Jenderal Besar A.H. Nasution saat menghancurkan PKI dengan basis massa pendukungnya tahun 1965, yang pada waktu itu PKI adalah gerakan internasional yang didukung oleh Uni Soviet dan China.
Oleh karena itu salah satu anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar pada waktu itu, Priyo Budi Santoso, tiba-tiba menggulirkan wacana agar Pak Harto diberi gelar pahlawan nasional. Akhir-akhir ini pun kemudian terulang kembali ketika tiba-tiba Pak Harto diajukan kembali menjadi salah satu Pahlawan Nasional sebagaimana yang kita lihat dan dengar di berbagai media nasional. Gagasan ini sebenarnya bukanlah yang pertama kali mengemuka setelah wafatnya Pak Harto, tetapi pada masa orde baru sendiri pernah dikemukakan oleh mantan Jaksa Agung Ismail Saleh.
Mengenai pantas dan tidaknya, marilah merujuk kepada Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 yang berisi ketentuan tentang pahlawan nasional. Terdapat tiga kriteria yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela bangsa dan negara, dan tidak pernah cacat dalam perjuangannya. Di dalam surat edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial No. 281/PS/X/2006 diuraikan kembali kriteria tersebut seperti perjuangan itu bukan sesaat melainkan secara konsisten (hampir) seumur hidup, punya jiwa atau semangat nasionalisme yang tinggi, memiliki jangkauan yang luas dan berskala nasional, serta tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Meskipun tidak disebutkan bahwasannya calon pahlawan itu harus yang sudah wafat, namun calon yang masih hidup tidak dianjurkan, karena bila seseorang sudah diangkat menjadi pahlawan kemungkinan ditakutkan melakukan tindakan yang tidak terpuji. Untuk mencegah hal tersebut maka selama ini (calon) pahlawan itu adalah tokoh yang sudah meninggal.
Tentunya akan sangat berisiko tinggi apabila mantan presiden itu diangkat sebagai pahlawan nasional dan ternyata kemudian jelas-jelas terlibat korupsi ataupun pelanggaran-pelanggaran HAM. Ditakutkan pemerintah dan presiden akan kerepotan karena selama ini belum pernah ada gelar pahlawan nasional yang dibatalkan. Tetapi yang pernah ada adalah dicabutnya Bintang Mahaputra yang dimiliki oleh DN Aidit pada tahun 1966 melalui TAP MPRS No. XXX/1966 dengan alasan “mengkhianati Pancasila dan Revolusi Indonesia.”
Seorang sejarawan dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengingatkan bahwasannya Soekarno, presiden pertama RI yang wafat pada tanggal 21 Juni 1970 baru mendapat gelar Pahlawan Proklamasi pada tanggal 23 Oktober 1986 berdasarkan Keppres No. 081/TK/1086 yang ditandatangani Soeharto. Artinya, gelar pahlawan itu baru melekat pada Soekarno itu 16 tahun setelah wafatnya. Kemudian sang proklamator Bung Hatta yang meninggal pada tanggal 14 Maret 1980 baru mendapat gelar pahlawan nasional 6 tahun kemudian setelah wafatnya. Namun berbeda dengan Ny. Tien Soeharto, istri Soeharto yang meninggal pada tanggal 28 April 1996 dan mendapatkan gelar pahlawan pada tanggal 9 November 1996 atau sekitar tujuh bulan setelah wafatnya.
Lantas sekarang apakah layak Soeharto menjadi pahlawan nasional? Jawabannya tunggu dulu, mantan Presiden Soekarno saja diangkat sebagai pahlawan nasional tahun 1986 setelah 16 tahun meninggal. Jadi usulan mengenai Soeharto untuk dijadikan pahlawan nasional silahkan saja diajukan 17 tahun lagi setelah semua kasus perdata, pelanggaran-pelanggaran berat HAM, proses hukum terhadap keluarga, kroni, dan loyalis-loyalisnya atas kasus korupsi betul-betul telah terselesaikan. Ini sangat beralasan sebab, seorang peneliti asing pernah mengatakan bahwa di Indonesia sebuah perkara hukum pada umumnya, dari pengadilan tingkat pertama sampai banding dan kasasi serta PK menghabiskan waktu rata-rata 8 tahun. Jikalau bangsa ini tiba-tiba mempunyai pahlawan nasional tapi ‘kok’ masih bermasalah, lantas apa kata dunia..?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H