PADA banyak tahun yang lalu, saya pernah tinggal di sebuah percetakan di daerah Slipi, Jakarta Barat. Setiap pagi saya cari sarapan di luar atau lebih tepatnya di pinggiran jalan.
Sepanjang pinggiran jalan banyak orang berjualan makanan dari yang ringan sampai yang berat. Ada salah satu pedagang soto atau sop ayam yang enak dan saya kerap makan di situ. Yang jual seorang bapak kira-kira umur lima puluh tahunan, dan bapak itu selalu pakai peci atau kopiah warna hitam.
Tapi suatu hari, ketika saya berniat mampir ke situ mau makan soto atau sop ayamnya  saya lihat si bapak penjualnya sedang berdiri di samping rombongnya, sebelah tangannya masuk ke dalam baju kemejanya, dia menggosok-gosok tangannya itu ke ketiaknya, lalu menarik lagi tangannya ke luar dan menciumnya! Jorok! Dia mencium bau keteknya sendiri.  Bapak itu melihat ke saya dan nampak kemalu-maluan karena ulahnya yang blo'on dan udik itu kepergok. Saya tidak jadi mampir, dan dalam hati berjanji tidak akan pernah makan soto atau sop ayamnya si bapak itu lagi.
Cerita lainnya. Seorang teman penggemar jamu mengajak saya mampir ke depot jamu pinggir jalan. Menurut teman saya itu, depot jamu tersebut sudah cukup terkenal dan laris. Dia sudah lama jadi
langganan minum jamu di situ. Saya ikut saja dan pengin juga sesekali minum jamu.
Yang pertama saya perhatikan adalah penjualnya dan tempat dia berjualan. Yang berjualan jamu ini juga seorang bapak. Bajunya kaos oblong aja tapi kelihatan bersih. Di meja depannya ada telur bebek atau itik dan telur ayam kampung dalam wadahnya sendiri. Konsumen boleh pilih pakai telur apa saja untuk campuran jamunya, sesuai selera masing-masing. Tentu saja telur mentah. Si penjual dengan tangkas membuatkan jamu pesanan pelanggannya.
Nah ini. Yang saya perhatikan itu telur-telur bebek atau itik dan telur ayamnya. Telur-telur itu banyak yang masih berpulun bekas kotoran bebek atau ayam yang sudah mengering di kulitnya. Itu nampak jelas sekali.
Si penjual jamu dengan santainya mencomot telur-telur itu, telur ayam atau telur bebek sesuai pesanan, dan memecahkanya memakai pinggiran gelas jamu, lalu mencobloskan kuning telur itu ke dalam gelas tersebut, tanpa khawatir bekas kotoran di kulit telur itu terikut masuk ke dalam gelas yang sudah berisi larutan jamu. Saya ngeri melihatnya. Saya minta dibuatkan jamu saja, tanpa telur itik atau  telur ayam kampung.
Seharusnya telur-telur itu dibersihkan atau dicuci lebih dulu kulitnya, jangan sampai terlihat masih ada bekas kotoran unggas, yang dapat membahayakan kesehatan konsumen.
Di Bogor juga saya punya pengalaman. Waktu itu tahun 90 an. Â Masih agak pagi ketika itu, mungkin sekitar pukul delapan atau kurang. Saya berjalan kaki menyusuri trotoar hendak ke Kebun Raya. Masih pagi ini enak nih menikmati semangkok bubur kacang ijo dan segelas teh tawar, pikir saya.
Sepanjang pinggiran jalan di atas got trotoar banyak gerobak yang menjual makanan. Aneka ragam. Saya melihat salah satu gerobak burjo itu. Nah ini dia yang gua cari, pikir saya gembira. Up! Ternyata rupanya si pedagang belum siap benar, sebagian gerobaknya masih tertutup terpal biru. Namun, saya terkejut ketika memperhatikan di bagian belakang dalam gerobak burjo itu yang masih tertutup terpal. Di situ terlihat jelas pantat seseorang dewasa --atau itu pantat si pedagangnya sendiri-- sedang jongkok buang hajat tepat di atas got trotoar! Sial dangkalan! Saya langsung ngacir, dan terbayang "bubur kacang ijo" si Mas atau si Akang nyemprot ke got atau selokan trotoar! Wkwkwk. Selera ingin makan burjo plus minum teh tawar dipagi hari itu, langsung lenyap. Rupanya pedagang burjo itu menjadikan gerobak atau rombong jualannya sebagai rumah tempat tinggalnya, lantas sekaligus dijadikan tempat MCK ( Mandi, Cuci, Kakus ). Benar-benar dah!
Sumpah! Apa yang saya ceritakan di atas benar-benar pengalaman pribadi yang saya alami. Bukan cerita fiksi.