Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Pengarang

Menulis saja. 24.05.24

Selanjutnya

Tutup

Horor

Lakon Kesunyian

26 Agustus 2024   23:49 Diperbarui: 29 Agustus 2024   13:22 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen horor. Ilustrasi koldokpri.

Oleh: Akhmadi Swadesa

NAMA guru muda pindahan dari kota kabupaten itu adalah Basuni. Dia mengajar di es-de yang sama tempat Bu Marsiah - ibu kandung Rapilus, mengajar. Umurnya sedikit lebih tua dari Rapilus, tapi satu hal yang sama adalah mereka sama-sama masih bujangan alias jomblo.

Bu Marsiah menyuruh Basuni berteman dengan Rapilus, agar pemikiran anaknya itu bisa lebih luas dan terbuka, karena Bu Marsiah melihat Basuni orang yang gemar membaca dan berpengetahuan lumayan luas.

"Siapa saja yang meninggal karena penyakit itu di desa ini, Lus?" tanya Basuni ketika bertandang ke rumah Rapilus.

"Dalam tujuh bulan karena virus penyakit ini, hanya dua orang yang meninggal di sini, dan mudah-mudahan nggak nambah lagi," jawab Rapilus. "Yang pertama adalah Pak Camat, dan yang kedua bapaknya Sarmini?"

"Pak Camat dan bapaknya Sarmini? Maksudmu Sarmini yang hitam manis itu?"

Rapilus mengangguk. Tersenyum. Terbayang wajah gadis itu di benak Rapilus. Dia mengetahui semua kisah tentang Sarmini, yang gagal menikah dengan Tarmidi dikarenakan lelaki itu -- yang semula mengaku bujangan -- ternyata sudah beranak-istri. Satu bulan setelah berakhirnya hubungan Sarmini dengan Tarmidi, gadis itu kembali menerima cobaan yang memilukan; ayahnya positif terinfeksi virus berbahaya itu dan meninggal dunia.

Baca juga: Ziarah Senja

Basuni kemudian mengajak Rapilus membicarakan tentang banyaknya lahan tidur atau tanah yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk di desa itu.

"Sebenarnya banyak yang bisa menghasilkan uang di sini, asal kita mau bekerja," kata Basuni. "Contohnya memanfaatkan lahan-lahan tidur atau lahan yang tak terpakai, untuk kita buat perkebunan buah atau sayuran."

"Tapi itu semuanya kan butuh modal, Bas," kilah Rapilus

"Yah, modal utama adalah kemauan. Kalau kita mau bekerja pasti ada jalan. Itu memang kedengarannya klise, tapi itulah hukum dan kebijakan purba yang kebenarannya dapat dibuktikan," tukas Basuni.

Bu Marsiah yang nguping pembicaraan mereka berdua dari dalam rumah, tersenyum sendiri. Orang yang punya wawasan seperti Basuni, memang keren ngomongnya, puji Bu Marsiah dalam hati.

Dan ketika Basuni berlalu pulang, Rapilus menggerutu. Agak kesal dikuliahi guru muda itu. Enak aja kalau ngomong, gumamnya. Tapi ketika dia berpikir dan merenung lebih dalam, dia mengakui apa yang dikatakan Basuni memang benar adanya. Lantas Rapilus berdiri di ambang jendela kamarnya yang terbuka lebar, dia melihat betapa luas tanah milik orangtuanya di sekitar bangunan rumah panggung mereka ini, yang tidak dimanfaatkan kecuali hanya ditumbuhi rumput-rumput liar semak belukar.

Oh, Rapilus jadi ingat peristiwa aneh yang dialaminya di hutan bambu beberapa malam yang lalu. Setelah dia tak bisa bangkit karena tenaganya seolah terkuras, saat menyaksikan para dedemit sedang menari-nari di rumpun-rumpun bambu itu. Dia melihat dengan jelas itu para dedemit yang wajahnya berantakan tak keruan, dan dia sangat ketakutan. Lantas dia jatuh dan tertidur dibalut kepekatan malam, dan manakala tersadar ternyata hari sudah pagi dan Rapilus buru-buru pulang. Tapi dia ingat, saat tertidur tak sadarkan diri itu, dia bermimpi ditemui oleh almarhum ayahnya, pak Suryan, yang berpesan kepadanya agar dia bangkit dan percaya kepada diri sendiri dan menyuruh Rapilus untuk mengelola tanah atau lahan mereka sendiri. Mengingat itu Rapilus bagai tersentak. Apalagi barusan Basuni juga membicarakan hal yang sepertinya sama dengan pesan ayahnya di dalam mimpi itu. Apakah makna semua ini?

Rapilus jadi teringat kembali kepada ayahnya itu, pak Suryan, yang tewas diseruduk seekor babi jantan ketika sedang meramu rotan di hutan belantara. Kawannya yang ikut meramu hanya sempat mendengar teriakan kesakitan dari jauh, dan ketika dia berlari menemui ayah Rapilus, masih sempat dia lihat babi jantan itu kabur, meninggalkan ayah Rapilus yang tertiarap mengerang kesakitan. Punggungnya penuh luka robek oleh serudukkan taring babi jantan itu. Berdarah-darah. Kawannya memanggul tubuh ayah Rapilus pulang. Tetapi sesampainya di rumah, karena sudah terlalu banyak mengeluarkan darah diperjalanan, nyawanya tak bisa diselamatkan. Ayah Rapilus pun tewas.

Rapilus kemudian melaksanakan apa yang dianjurkan oleh Basuni dan juga ayahnya dari dalam mimpi itu. Lahan tidur di sekitar rumahnya itu dia bersihkan dengan membabat semak dan rumput liar, lalu mengolah tanahnya dengan cara menggemburkannya dengan cangkul. Dia tanami semangka, melon, jagung dan tanaman apa saja yang bermanfaat.

Sementara wabah penyakit itu belum juga sirna. Malah kini makin gencar menyantroni siapa saja yang tidak memiliki imun tubuh yang mumpuni. Wabah virus itu menyebar dari kota ke desa-desa.

Basuni kembali datang berkunjung ke rumah Bu Marsiah atau rumah Rapilus. Kali ini mereka ngobrol di ruang tamu enam mata. Bu Marsiah, Rapilus, dan Basuni. Bahan bincang mereka bertiga tidak lain mengenai kesuksesan Rapilus dengan kebun buahnya.

Sedang asyik bercakap, mereka melihat beberapa orang tengah berjalan mendekati rumah Bu Marsiah. Mereka adalah Pak Kades , Pak RT, dan seorang paranormal Babeh Lim yang baru sebulan mencari peruntungan di desa ini. Tiga orang bocah lelaki kecil tak berbaju mengiringi mereka dari belakang. Mereka nampaknya sedang membicarakan rumah Bu Marsiah. Dan salah seorang bocah kecil itu memungut sebutir batu kerikil dari tanah, lalu melempar dengan keras ke arah rumah itu, dan mengenai kaca jendela hingga pecah berantakan.

Bu Marsiah, Rapilus, dan Basuni geram bukan main melihat yang diperbuat bocah kecil itu.

"Kenapa kau lempari rumahku, hei anak kecil?!" teriak Bu Marsiah sambil berjalan ke arah pintu.

Rapilus dan Basuni mengikuti. Mereka membuka daun pintu lebar-lebar dan berdiri di sana memandangi Pak Kades, Pak RT, Babeh Lim, dan bocah-bocah nakal itu.

"Mau apa kalian datang kemari?" tanya Rapilus setengah berteriak.

"Mengapa kalian mengusik kami?" Bu Marsiah berkata dengan geram.

"Tidak cukupkah kebaikan Rapilus dan ibunya, Bu Marsiah, selama ini terhadap kalian? Bukankah mereka selalu berbagi kalau kebun buah Rapilus panen? Kalian sudah merasakan semua, betapa manisnya buah semangka dan melon dari kebun buah Rapilus?" Basuni juga ikut bersuara.

Tapi Pak Kades, Pak RT, dan paranormal Babeh Lim terus juga bercakap-cakap. Kedatangan mereka memang hanya ingin melihat rumah tua di pinggir desa, yang kini terkenal angker itu.

"Memang sudah berapa lama mereka itu pulang?" tanya Babeh Lim.

"Sudah tiga tahun lalu," jawab Pak RT. "Yang jelas mereka lebih dulu dari kita."

"Ya. Yang lebih dulu terkena ya si Basuni itu. Karena dia kerap berkunjung kemari, Bu Marsiah akhirnya ternyangkit pula, lalu menyusul putranya si Rapilus. Mereka bertiga terpaksa harus dikarantina di rumah itu juga, karena sudah terlampau parah.  Virus itu memang sangat mematikan. Tidak ada ampun bagi yang sudah tertular. Hanya diberi kesempatan bernapas beberapa hari saja, setelah itu pulang...," terang Pak Kades, sambil tangannya memberi isyarat agar bocah-bocah kecil tak berbaju itu segera enyah dari situ.

"Tadi kita lihat bersama, pintu rumah itu terbuka sendiri," kata Pak RT lagi. "Padahal tak ada angin atau apa."

"Begitulah...Tapi kita juga harus pulang sekarang, khawatir tempatku dimasuki oleh para dedemit atau hantu-hantu yang sialan itu," ucap Pak Kades, dan semua mereka tertawa. Bahkan tiga orang bocah kecil tak berbaju itu, tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata darah.

Rombongan itu segera berjalan kembali menuju kawasan tanah perkuburan yang khusus untuk orang-orang yang tewas karena wabah virus yang mematikan itu.

Sosok-sosok mereka kemudian memudar seperti asap yang ditiup angin. Tidak ada suara yang sangat lirih sekalipun. Yang terasa hanya kesunyian.

Tak seorang pun dapat melihat mereka kembali masuk ke liang kuburnya masing-masing, kecuali para dedemit dan hantu-hantu, yang memang kerap nongkrong di areal tanah perkuburan itu. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun