Oleh: Akhmadi Swadesa
NAMA guru muda pindahan dari kota kabupaten itu adalah Basuni. Dia mengajar di es-de yang sama tempat Bu Marsiah - ibu kandung Rapilus, mengajar. Umurnya sedikit lebih tua dari Rapilus, tapi satu hal yang sama adalah mereka sama-sama masih bujangan alias jomblo.
Bu Marsiah menyuruh Basuni berteman dengan Rapilus, agar pemikiran anaknya itu bisa lebih luas dan terbuka, karena Bu Marsiah melihat Basuni orang yang gemar membaca dan berpengetahuan lumayan luas.
"Siapa saja yang meninggal karena penyakit itu di desa ini, Lus?" tanya Basuni ketika bertandang ke rumah Rapilus.
"Dalam tujuh bulan karena virus penyakit ini, hanya dua orang yang meninggal di sini, dan mudah-mudahan nggak nambah lagi," jawab Rapilus. "Yang pertama adalah Pak Camat, dan yang kedua bapaknya Sarmini?"
"Pak Camat dan bapaknya Sarmini? Maksudmu Sarmini yang hitam manis itu?"
Rapilus mengangguk. Tersenyum. Terbayang wajah gadis itu di benak Rapilus. Dia mengetahui semua kisah tentang Sarmini, yang gagal menikah dengan Tarmidi dikarenakan lelaki itu -- yang semula mengaku bujangan -- ternyata sudah beranak-istri. Satu bulan setelah berakhirnya hubungan Sarmini dengan Tarmidi, gadis itu kembali menerima cobaan yang memilukan; ayahnya positif terinfeksi virus berbahaya itu dan meninggal dunia.
Basuni kemudian mengajak Rapilus membicarakan tentang banyaknya lahan tidur atau tanah yang tidak dimanfaatkan oleh penduduk di desa itu.
"Sebenarnya banyak yang bisa menghasilkan uang di sini, asal kita mau bekerja," kata Basuni. "Contohnya memanfaatkan lahan-lahan tidur atau lahan yang tak terpakai, untuk kita buat perkebunan buah atau sayuran."
"Tapi itu semuanya kan butuh modal, Bas," kilah Rapilus