Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masih Ada Hari Esok

13 Juli 2024   13:37 Diperbarui: 13 Juli 2024   17:55 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


   

Oleh: Akhmadi Swadesa
     
     Partonem adalah seorang karyawan di perusahaan batu bara yang cukup terkenal di wilayah itu. Gajinya setiap bulan, yang lumayan besar jumlahnya, dia tabung sedikit demi sedikit guna mewujudkan rencananya membentuk rumahtangga bersama Siswati, yang sudah dipacarinya hampir dua tahun lalu.
     Cukup berat juga perjuangan Partonem untuk mendapatkan cinta perempuan itu, karena ketika hatinya tertarik pada Siswati kala itu dia masih seorang pengangguran. Partonem datang merantau ke desa itu sejak tiga tahun lalu.
     Sebuah gubuk dia sewa dan dia kerja apa saja untuk mempertahankan hidup. Dalam keadaan pas-pasan itulah dia bertemu Siswati yang rumahnya tidak jauh dari gubuk sengsara Partonem. Lantas pertemuan yang berulang-ulang terjadi di antara mereka hingga akhirnya Partonem mengatakan cinta dan Siswati menerima.
     Semula Partonem menyangka hubungan mereka bakal berjalan mulus-mulus saja, tanpa rintangan. Ternyata perkiraan Partonem meleset total.
     Karena kerika bapak dan ibu Siswati mengetahui siapa sebenarnya Partonem, seorang pemuda yang kerjanya tidak jelas, maka Siswati dimohon oleh kedua orangtuanya agar segera memutuskan hubungan dengan lelaki perantauan yang miskin bin kere itu.
     "Buat apa kamu pacaran sama lelaki yang nggak jelas apa kerjanya itu, Wati? Mbok ya jangan buta hati kalau jatuh cinta, lihat-lihat dulu orangnya," omel bapak Siswati, kesal.
     "Cobalah mikir, Ti, apa yang bisa kamu harapkan dari lelaki macam si Partonem itu? Apa kamu pengin hidup susah berumahtangga dengan dia," timpal ibunya.
     Tentu saja Siswati terkejut dengan sikap kedua orangtuanya itu. Ditatapnya sang ibu dengan tajam. "Apa maksud Ibu?" tanyanya.
     "Ya, kalau kamu sampai kawin dengan Partonem yang pengangguran itu hidupmu pasti  akan susah. Miskin dan sengsara."
     "Ah, belum apa-apa Ibu sudah ngomongin kawin," gerutu Siswati, cemberut. "Lagi pula belum tentu selamanya Partonem nganggur kan? Nasib orang siapa yang tahu."
     Partonem pun tak lepas dari omelan bapak dan ibu Siswati. Kedua orangtua itu meminta Partonem agar memutuskan hubungan dengan anak perempuan mereka.
     Tentu saja Partonem sangat tersinggung menerima sikap mereka. Dia mencoba menjelaskan bahwa dia dan Siswati sungguh sangat saling mencinta. Partonem juga katakan bahwa dia tengah berusaha mencari pekerjaan yang mantap, yang nanti bisa menjamin kehidupan mereka berdua.
     Dan ternyata beberapa bulan kemudian sikap bapak dan ibu Siswati berubah, begitu mereka mendengar bahwa Partonem telah diterima bekerja di perusahaan tambang batu bara yang baru saja di buka di daerah itu. Partonem dan Siswati bahagia sekali karena hubungan mereka akhirnya direstui orangtua dan berjalan lancar.
      "Nak Parto, kalau niatmu sungguh-sungguh ingin mengawini Siswati, maka Bapak mohon agar mulai sekarang kamu menabung sebagian uang gajimu, untuk biaya pernikahan kalian nanti," saran bapak Siswati memperingatkan Partonem suatu malam, tatkala Partonem berkunjung ke rumah pacarnya itu.  "Agar kamu kelak tidak kelabakan bila hari H pernikahanmu telah diputuskan," lanjut orangtua itu.
     "Tentu saja, Pak. Saya pun tak ingin kalau menikah biayanya ngutang sana-sini, malu dong," balas Partonem tersenyum-senyum. "Pokoknya Bapak dan Ibu jangan khawatir, saya bukan lelaki yang senang hura-hura menghambur-hamburkan uang. Saya sadar betul bahwa untuk membangun sebuah rumah tangga perlu modal yang tidak sedikit. Oleh karena itu saya rajin menabung."
     "Syukurlah kalau kamu sadari hal itu. Tapi satu hal permintaan Bapak yang perlu kamu ingat bahwa, jika uangmu kira-kira telah mencukupi untuk menikah maka jangan tunda-tunda lagi, segeralah menikah dengan Siswati. Terlalu lama pacaran nggak baik juga, bisa-bisa nggak jadi kawin."
     "Ah, Bapak ini bisa saja," tukas Partonem, tertawa.
     Namun hingga saat ini Partonem ternyata belum juga dapat mengambil keputusan apakah dia akan menikahi Siswati atau tidak. Rasa gamang masih bermain-main di hatinya. Padahal uang tabungannya sudah lebih dari cukup untuk melaksanakan perkawinan. Bahkan Partonem sudah memperhitungkan pula biaya rumah kontrakkan selama setahun, jika nanti dia memperistri Siswati. Dan hal itu jauh-jauh hari telah pula ia ceritakan kepada perempuan hitam manis bertubuh montok itu.
     "Kita perlu rumah kontrakkan yang besar dan nyaman setelah menikah nanti, Ti. Dan itu telah aku pikirkan," kata Partonem beberapa waktu yang lalu, dan Siswati sangat senang mendengarnya.
     "Apakah itu tidak terlalu  memberatkanmu, Mas? Kupikir tak apa untuk sementara waktu kita tetap menempati rumah kontrakkanmu yang sekarang ini," ucap Siswati berbasa-basi.
     "Rumah kontrakkanku yang sekarang terlalu sempit, Ti, dan nggak ada WC-nya. Kalau mau buang air besar harus pergi ke kali," kilah Partonem  tertawa.
     "Lantas apa lagi yang Mas Parto tunggu, kalau memang sudah cukup modal segeralah nikahi aku. Aku ingin kita segera membentuk rumah rangga," rengek manja Siswati sambil memegang pergelangan tangan lelaki itu dan menggoyang-goyangkannya.
    "Sabarlah dulu, Ti. Bukan kamu saja yang ingin lekas-lekas menikah, tapi aku pun demikian," ucap Partonem pula.
     Kemudian diam. Lama juga. Partonem memandang jauh sambil menghela napas panjang. Bagaimana ini? Haruskah kuceritakan tentang kedatangan Bahrun kepada perempuan ini? Bertanya Partonem kepada dirinya sendiri. Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Untuk sementara ini aku tak boleh cerita apa-apa kepada Siswati. Perempuan itu tak boleh tahu. Dan yang lebih penting, semoga Bahrun tidak lancang menemui Siswati lantas bercerita apa saja. Kalau hal itu terjadi, maka rencana yang telah kususun selama ini akan hancur berantakan, pikir Partonem.
     "Apa yang kamu pikirkan Mas Par? Kok seperti orang bingung begitu?" tegur Siswati dalam nada bertanya.
     "Hm, tidak ada apa-apa kok. Nggak ada yang aku pikirkan," kilah Partonem cepat. "Sekali lagi, Ti. Bersabarlah sementara ini. Persiapan untuk menikah perlu kita pikirkan secara matang, jangan terburu-buru. Yakinlah, aku pasti akan memperistrimu."
     "Aku percaya, Mas Partonem pasti tidak akan mengecewakanku."
     "Oke, sip deh. Aku pulang dulu ya, Ti. Salam saja untuk Bapak dan Ibu."
     Partonem pun pulang ke rumah kontrakkannya. Hatinya galau. Dia lihat Bahrun duduk di teras, asyik membaca novel yang berjudul: "Bunga Cinta Mekar Semusim," karya pengarang Akhmadi Swadesa. Mendengar suara langkahnya di halaman, anak muda itu menengok dan segera meletakkan novel yang dibacanya. Partonem bersikap acuh tak acuh saja.
     "Baru pulang Mas Par?" tanya Bahrun pelan, basa basi.
     "Ya," sahut Partonem pendek, tanpa menoleh.
     "Dari mana, Mas?"
     "Dari jalan-jalan ke tempat teman."
     "Hhm. Mas Par kok kelihatan lesu, saya buatkan kopi ya?"
     "Nggak usah. Tadi barusan ngopi tempat teman. Aku cuma mau tiduran sebentar."
     Partonem langsung masuk ke kamar. Lantas dia membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun dia tak bisa beristirahat karena pikirannya sungguh galau. Dia tahu sumber kegalauannya adalah Bahrun. Ya, Bahrun-lah yang membuatnya blingsatan beberapa hari ini.
     Partonem sungguh tidak habis pikir, mengapa Bahrun bisa sampai di desa kecamatan yang terpencil ini dan kemudian bertemu dengannya. Padahal ketika beberapa tahun lalu dia berangkat meninggalkan kampung halamannya nun jauh di seberang lautan sana, Partonem sama sekali tak memberitahu kepada seorang pun kemana tujuannya pergi. Waktu itu dia hanya mengatakan akan pergi merantau untuk merubah nasib. Oleh karena itu, setengah bulan lalu, Partonem amat sangat terkejut manakala bertemu dengan Bahrun di desa ini. Sedang Bahrun nampak sangat gembira bertemu dengannya.
     "Oh, untung saja aku bertemu denganmu Mas Par, kalau tidak aku bisa hidup terlantar di sini," ucap Bahrun waktu itu dengan mimik sumringah.
      Dan tidak ada alasan bagi Partonem untuk menolak kehadiran Bahrun di rumah kontrakkannya. Sungguh. Bahrun bukan hanya sebagai orang sekampungnya, melainkan lebih daripada itu!
     "Siapa dia, Mas Par? Maksudku cowok yang tinggal di rumahmu itu?" tanya Siswati waktu pertama kali melihat kehadiran Bahrun di rumah kontrakkan Partonem.
     "Keluarga dari kampung," jawab Partonem. "Mau ikut cari kerjaan di sini."
     "Oh, kirain adik kandung, Mas Par."
     Dan Siswati sangat terkejut, ketika beberapa waktu kemudian Partonem menghilang begitu saja dari rumah kontrakkannya, demikian pula dengan Bahrun. Rumah itu mendadak kosong melompong. Tidak ada yang bisa dia hubungi. Handphone Partonem tidak aktif.
     Siswati tanyakan kepada pemilik rumah itu, jawabnya ternyata juga tidak tahu. Partonem dan Bahrun menghilang dari tempat itu dengan membawa seluruh barang-barangnya. Kemungkinan mereka pindah dari rumah itu pada tengah malam atau subuh hari, saat para tetangga sedang tidur lelap.
     "Kemungkinan Parto pindah ke rumah dinas milik perusahaan tempat dia bekerja, yang baru saja selesai dibangun dekat lokasi pekerjaannya, jaraknya cukup jauh dari sini, sekitar tiga puluh kilo meter," terang pak RT, berspekulasi.
     "Tapi kenapa kok pindahnya secara diam-diam, nggak pamit atau memberitahu tetangga," kata yang lain.
     "Iya ya? Masa kabur begitu saja. Kagak benar itu!"  timpal yang lain pula.
     Siswati juga merasa kesal dan tersinggung. Sekaligus juga merasa kehilangan. Mengapa Partonem pergi nggak pamit padaku? Ada apa? Apakah dia sudah tak suka padaku dan lantas memutuskan hubungan? Tapi caranya nggak boleh begini dong!
     Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Sudah tidak ada lagi kabar berita yang sampai ke Siswati tentang Partonem. Hati perempuan itu terasa perih dan kecewa, karena ditinggal sang kekasih begitu saja. Siswati akhirnya menganggap Partonem bukan seorang lelaki yang baik. Sikapnya sama sekali tidak jantan, dengan meninggalkan Siswati begitu saja, pergi tanpa pamit atau memberitahu dirinya. Ke mana perginya Partonem?
     Hari Minggu pagi. Siswati pergi ke pasar kecamatan seorang diri dengan mengendarai motor bebeknya.
     Di tengah keramaian pasar, Siswati tiba-tiba melihat Partonem bersama seorang wanita dan seorang bocah lelaki kira-kira berumur lima tahun. Mereka bertiga nampak asyik memilih-milih baju di lapak pedagang pakaian.
     Hati Siswati bergetar. Rasanya ingin dia berlari ke sana menghampiri Partonem. Tapi keakraban mereka bertiga itu seperti keakraban sebuah keluarga. Bahkan sebelah tangan Partonem memeluk pundak wanita itu.
     "Hallo, mBak Siswati," tegur seseorang tiba-tiba dari belakang.
     "Eh, kamu, Bahrun!" sambut Siswati, ketika menengok dan tahu siapa yang menegurnya.
     "Iya, mBak." Bahrun tertawa. "Maaf ya mBak Siswati. Kami nggak sempat pamitan, mendadak mas Parto ngajak pindah pada tengah malam hari itu," kata Bahrun.
     "Seharusnya mas Partonem memberitahu aku...." Siswati cepat menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Aku tak boleh berkata seperti itu, katanya dalam hati.
     Bahrun mohon izin, mengajak Siswati ke sebuah warung makan. Katanya ada yang hendak disampaikannya kepada Siswati, dan itu sangatlah penting untuk diketahui Siswati.
      Bahrun akhirnya menceritakan semuanya kepada Siswati. Perempuan itu terperangah. Kaget setengah mati. Tajam sorot matanya mengarah ke wajah lelaki muda di depannya. Bahrun. Bibirnya nampak bergetar.
     "Benarkah semua yang baru saja kamu ceritakan itu, Bahrun?" tanya Siswati.
     "Sumpah mBak Siswati. Demi rembulan dan matahari. Saya nggak bohong. Mas Partonem benar-benar sudah beristri, bahkan punya anak satu. Yang barusan mBak lihat tadi itulah mereka. Istrinya itu adalah kakak kandung saya. Jadi saya ini adik iparnya mas Partonem," jelas Bahrun dengan tenang dan hati-hati, takut Siswati naik pitam dan marah. "Beberapa waktu lalu saya meminta istrinya agar secepatnya menyusul suaminya kemari, karena khawatir suaminya itu kawin lagi di sini."
     Siswati terdiam, tak bisa berkata-kata lagi. Dia terduduk lemas di kursinya. Betapa geram hatinya kepada lelaki yang mengaku bujangan bernama Partonem itu!
     "Seandainya saya tidak datang ke desa ini, saya tidak mungkin bisa bertemu dengan mas Partonem. Dan mungkin dia sempat menikah dengan mBak Siswati, karena di sini dia mengaku masih bujangan. Iya kan mBak? Begitu lamanya mas Parto meninggalkan anak-istrinya," tukas Bahrun lagi. "Mas Partonem pergi meninggalkan anak-istrinya di kampung, maksudnya ingin dapat kerja yang bagus, sekaligus ingin mengubah nasibnya agar lebih baik..."
     Siswati tidak mau mendengarkan ucapan Bahrun lebih panjang lagi. Baginya Partonem memang lelaki yang tidak pantas dia harapkan. Meninggalkan anak dan istrinya jauh di kampung di seberang lautan sana, begitu lamanya hingga bertahun-tahun, alangkah teganya. Membayangkan seorang istri dengan seorang anak yang ditinggalkan suaminya pergi begitu lama untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ada rasa empati di hati Siswati terhadap istri dan anak Partonem itu. Kasihan sekali perempuan itu, pikir Siswati.
     Perasaan Siswati kini menjadi luruh. Timbul rasa kasihannya kepada mereka semua. Kepada Partonem sendiri, juga kepada istri dan anaknya yang lama dia tinggalkan. Dia merasa segala sesuatu yang terjadi, memang harus terjadi seperti itu. Tidak perlu disesali. Siswati yakin, ada hikmah dibalik semua yang telah dia alami. Yang jelas, masih ada hari esok! ***

Baca juga: Kesal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun