Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki yang Menyendiri

8 Juli 2024   11:32 Diperbarui: 9 Juli 2024   13:58 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Ilustrasi sumber: pixabay

Oleh: Akhmadi Swadesa

     TERDENGAR suara langkah halus dari arah jalan setapak yang berliku di tengah hutan belantara itu. Seketika Hadran berhenti menebas ranting kecil di depannya, dan masih dengan parang di tangan kanannya, dia menunggu sebentar. Seorang anak kelaki sekira berumur sembilan tahun, muncul dari jalan setapak itu sambil memikul seikat kayu sungkai yang semuanya lurus-lurus, baru ditebangnya dengan panjang kira-kira dua meteran dan besarnya seukuran jempol kaki orang dewasa.
     Hadran terkesima memandang bocah lelaki itu. Siapa anak ini, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengenalnya.
     Bocah lelaki itu juga terkejut melihat Hadran berdiri di semak pinggir jalan setapak itu.
     Hadran memasukkan parang ke kumpang atau ke sarung parang yang menggantung di pinggang kirinya. Dia memberikan senyumnya kepada anak lelaki yang nampak bersih dan ganteng pula.
     "Siapa kamu ya?" tanya Hadran, pelan.
     "Aku Iknas, anak Jumriah," sahut lelaki kecil itu, sedikit malu-malu. Dia letakkan pikulan kayu sungkainya di tanah perlahan-lahan.
     Hadran terkejut. "Anak Jumriah...?"
     "Ya. Aku tadi mencari kayu sungkai ini untuk buat kandang ayam. Aku mau memelihara ayam."
     "Hah. Bukankah kalian selama ini tinggal di kota?"
     "Mulai sekarang tidak lagi. Aku dan mamaku sudah dua bulan pulang ke kampung ini."
     "Bapakmu?"
     Iknas menggeleng dan tersenyum. Katanya pelan: "Mama dan bapakku sudah pisah. Tapi aku ikut mama, pulang dan mau menetap di kampung mamaku ini."
     Hadran makin terkejut mendengar cerita yang polos dari lelaki kecil bernama Iknas itu. Dia terdiam, dengan gerakan tangannya dia suruh Iknas memikul kembali ikatan kayu sungkainya, dan mempersilahkan anak itu melanjutkan perjalanannya menuju pulang.
     Hadran pun meneruskan langkahnya dalam arah yang berlawan dengan anak lelaki tadi, lebih masuk ke dalam hutan, pulang juga ke rumahnya. Hari sudah mulai sore. Hadran memutuskan untuk beristirahat saja di rumah, setelah tadi selesai membersihkan tanah humanya.
     Dari atas pohon yang tinggi dan besar beberapa ekor burung enggang ramai berkaok-kaok, asyik bercengkerama dengan sesama mereka, ditingkahi oleh suara angin yang tak henti-hentinya bertiup.
     Sesampai di rumahnya, Hadran langsung membuat kopi dan mengambil sepiring kecil singkong rebus dari dalam panci, lalu duduk di dekat jendela yang menghadap sungai kecil di samping rumah. Sambil sesekali menyeruput kopinya dan makan singkong rebus, terbayang-bayang lagi di matanya wajah Jumriah. Perempuan yang sebenarnya sudah dia lupakan, namun kini teringat lagi olehnya gara-gara pertemuannya dengan anak lelaki yang mengaku sebagai anak Jumriah tadi.
     Lama sekali rasanya Hadran tidak pernah lagi bertemu Jumriah. Bagaimanakah keadaannya sekarang? Mengapa dia berpisah dengan suaminya?
     Hadran menggelengkan kepalanya. Tidak perlu diingat-ingat lagi, pikirnya. Lantas dia bangkit dari duduknya dan menghampiri onggokan dua buah karung goni yang bersandar di dinding papan rumahnya. Satu karung berisi buah jengkol yang sudah dikupas kulitnya, dan yang satu karung lagi berisi buah durian sarikaya yang kecil-kecil namun aromanya sangat harum. Semua itu dia panen dari tanah humanya sendiri. Besok pagi-pagi, dengan sepeda motornya, akan dia bawa ke pasar kecamatan, dan langsung dia antar ke warung yang memesannya.
     Lumayan juga besok aku bakal dapat uang dari hasil jual jengkol dan durian ini, pikir Hadran tersenyum.

      Lelaki bujang lapuk yang hidup sendiri itu kemudian menghidupkan perangkat VCD elektroniknya yang sebenarnya sudah ketinggalan zaman namun masih berfungsi dengan baik, menggunakan baterai aki 12 volt. Memasukkan lempengan VCD ke tempatnya, dan tidak berapa lama mengumandanglah lagu dangdut berirama ceria dengan volume yang full.
     Suara musik dan nyanyi dangdut yang amat nyaring di tengah hutan belantara itu, mengagetkan para monyet, bekantan, orang utan, siamang, macan dahan, babi, landak, kancil, rusa, beruang, burung-burung dan binatang lainnya. Namun begitu mereka mengetahui musik dan nyanyian keras itu berasal dari rumah tunggal milik Hadran, laki-laki yang hidup sendiri itu, menjadi cueklah mereka akhirnya, dan mereka kembali pada kesibukan masing-masing.

     Keesokan harinya di pasar kecamatan, setelah Hadran menerima uang pembayaran dari warung yang memesan jengkol dan durian sarikayanya, lelaki itu berniat berkunjung ke rumah Jumriah di pinggir desa. Tapi baru saja dia ingin menyalakan mesin sepeda motornya, tiba-tiba terdengar suara anak lelaki seperti mengusiknya:
     "Mama, itu bapak yang ketemu denganku di hutan kemarin!"
     Sontak Hadran menoleh. Dia lihat Iknas menunjuk kepadanya. Anak itu berjalan bersisian dengan seorang wanita yang nampak cantik dan berpenampilan menawan, dialah si Jumriah, ibu Iknas.
     "Oh, kau Kak Hadran," sapa Jumriah, tertawa.
     "Iya, Jum. Alangkah lamanya kita tak pernah bertemu. Kemarin memang aku bersua dengan anakmu ini yang sedang membawa seikat kayu sungkai. Semula kukira dia siapa, ternyata Iknas anakmu," sahut Hadran.
     "Iknas memang sudah beberapa kali kuajak ke hutan, menengok tanah huma milikku yang sudah lama tidak kuurus. Jadi dia sudah hapal jalan menuju ke sana."
     "Lho, memangnya kau sudah berapa lama pulang kampung ini?"
     "Aku sudah jalan dua bulan di sini, Kak Hadran. Dan mungkin akan tetap di sini selamanya."
     Hadran terkesima. Seperti heran mendengar kata-kata Jumriah itu. Dipandangi Jumriah yang nampak sangat cantik di matanya. Tentu saja penampilan Jumriah semenawan ini, pikir Hadran, karena perempuan itu sudah menjadi orang kota sejak diperistri oleh seorang saudagar beras dari kota provensi.
     "Jum, kalau kau dan Iknas anakmu tidak keberatan, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol sambil makan soto Banjar," ajak Hadran.
    "Oh, tentu saja kami suka dengan ajakan, Kak Hadran."
     Akhirnya Jumriah menceritakan semuanya kepada Hadran. Tentang suaminya yang ternyata doyan kawin dan punya istri di mana-mana. Jumriah hanya diperlakukan sebagai istri simpanan yang mendapat giliran dikunjungi sang suami sekali sebulan. Tinggal pun hanya di rumah kontrakkan. Sang suami hanya  janji-janji saja ingin membelikan rumah untuk Jumriah, tapi tak pernah terwujud. Bisnisnya kemudian mengalami kemunduran karena banyak hal. Kiriman dana untuk kehidupan Jumriah dan anak tunggal mereka, Iknas, jadi morat-marit tanpa bisa diandalkan lagi. Jumriah tak tahan dengan kondisi rumahtangga semacam itu, dia segera minta diceraikan, dan si suami pun mengabulkan. Dengan demikian habis sudah. Jumriah lalu membawa putranya kembali pulang ke kampung halaman.
     Jujur Hadran merasa terharu mendengar kisah hidup Jumriah. Namun jika dia teringat kejadian lebih sepuluh tahun yang lalu itu, Hadran pun merasa hatinya terluka dan nelangsa. Betapa dulu dia sangat mengharapkan cinta Jumriah. Sangat ingin dia memperistri wanita itu. Kerap mereka bertemu dan ngobrol berdua di sana berlama-lama. Kedekatan mereka berdua terasa sangat menjanjikan. Namun ketika Hadran akhirnya mengungkapkan isi hatinya, dan ingin melamar Jumriah, ternyata Hadran memperoleh jawaban yang sangat diluar dugaannya sama sekali.
     "Tidak, Kak Hadran. Aku belum berpikir untuk berumahtangga. Beri aku waktu untuk menimbang-nimbang, apakah aku sudah pantas untuk bersuami," kata Jumriah ketika itu.
     "Kau masih galau?" tanya Hadran.
     "Galau? Ya ya, sepertinya aku memang masih galau."
     Namun kenyataannya apa yang terjadi sangat menyakitkan hati Hadran. Karena kira-kira tiga bulan setelah itu, Jumriah menikah dengan lelaki lain yang berprofesi sebagai saudagar beras itu, yang lantas memboyongnya ke kota provensi.
     Memang, itu dulu sekali. Sudah banyak tahun terlewati. Sekarang, Jumriah statusnya sudah jadi janda dengan anak satu. Bagaimanakah pendiriannya sekarang? Dapatkah aku mengharapkan cintanya, dan dia mau menerimaku dengan apa adanya? Kemudian kami sepakat untuk hidup bersama, menikah dan jadi suami-istri? Sudikah kiranya dia bersuamikan seorang lelaki yang selama ini hidup menyendiri di tengah hutan rimba? Sementara Jumriah sudah cukup lama mengecap pola dan gaya hidup perkotaan? Benak Hadran dipenuhi gelombang-gelombang berbagai pertanyaan yang sangat mengusik dan membuat hatinya semakin galau.
     Dan sepanjang percakapan mereka tadi, naluri Hadran sama sekali tidak mendapatkan signal jika Jumriah memiliki perasan berharap yang sama seperti yang ada pada dirinya. Wanita itu bersikap biasa saja, seperti seseorang yang berjumpa teman lama. Tidak lebih. Dari sorot mata Jumriah, tidak Hadran temukan getar-getar perasaan seorang perempuan, yang berharap lelaki di depannya merasa tertarik dan menaruh hati terhadap dirinya, lalu dia terbuka untuk menerima. Tidak ada sedikit pun Hadran menangkap tanda-tanda seperti itu.
     Hari sudah terlampau sore, ketika Hadran memutuskan untuk pulang. Cinta dari Jumriah tidak bisa kuharapkan, bisiknya di hati. Perempuan itu tidak mungkin mau menerima cintaku, meskipun sekarang dia seorang janda. Sudah kurasakan penolakkannya. Apalagi? Apakah aku akan tetap hidup sendiri selamanya seperti ini? Tidak ada perempuan yang mendampingku sebagai istri atau kekasih? Sampai kapankah aku akan tetap seperti ini? Sungguh! Perasaan lelaki yang hidup menyendiri di tengah hutan belantara itu, kini, benar-benar galau!  ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun