Â
Oleh: Akhmadi Swadesa
   Dan di dusun Ranjung di tengah hutan belantara itu, sekarang telah ada dua buah rumah. Bukan hanya rumah pak Gosai satu-satunya saja seperti dulu. Kira-kira berjarak lima puluh meter dari rumah tua milik pak Gosai, telah berdiri sebuah rumah minimalis berdinding papan pilihan terbaik susun sirih dan beratap seng multiroof warna biru.
   Rumah itu dibangun sejak tiga tahun lalu. Itulah rumah milik suami-istri Sardi dan Anisah atau Nisah.
   Tetapi untuk menuju ke dusun Ranjung tetap masih harus melewati jalan setapak. Pernah ada perusahaan pertambangan menawarkan kepada Sardi, untuk membuatkan jalan berbatu kerikil menuju dusun Ranjung itu, namun Sardi dan ayahnya menolak. Mereka ingin tetap jalan setapak itu lestari. Alami dan apa adanya.
   Oleh sebab itu, Sardi tidak bisa membawa mobilnya langsung ke rumah. Mobilnya dia parkir di tempat parkiran di Kantor Camat, tempat Sardi bekerja. Untuk lanjut ke dusun Ranjung, Sardi harus menggunakan sepeda motornya.
   Setamat dari SMA, Sardi langsung bekerja di Kantor Camat, karena keahliannya dibidang komputer sangat dibutuhkan. Sambil bekerja sebagai pegawai di Kantor Camat itu, Sardi juga meneruskan pendidikannya di Universitas Terbuka atau UT secara online. Kini Sardi sudah sarjana dan posisinya makin mantap saja, dia digadang-gadang akan jadi Kepala Desa atau Camat pula kelak.
   Sedang Anisah, istrinya, sementara ini masih sebagai ibu rumahtangga yang baik. Nisah berniat pula kuliah di UT secara online suatu saat nanti, karena mereka berdua sadar betul, bahwa menuntut ilmu itu sangat penting dan tak boleh berhenti sampai kapan pun, selama manusia masih diberi napas kehidupan oleh Sang Pencipta.
   Di tanah huma mereka di dusun Ranjung, Sardi dan Nisah tidak saja menanam dan membudidayakan berbagai jenis komoditas rotan yang harganya mahal itu, tapi mereka juga berkebun berbagai jenis buah dan sayuran yang hasil panennya bisa mereka jual ke pasar kecamatan.
   Sementara yang namanya beras mereka tidak pernah beli. Sepanjang tahun tanah huma mereka menghasilkan benih padi yang berkualitas baik.
   Nah. Kalian tentu masih ingat kejadian di tanah huma dulu itu kan? Itu sudah beberapa tahun terlewati. Ketika Yuli mengatakan kepada Sardi, bahwa ada seorang gadis sangat cantik yang lain, yang pantas untuk Sardi. Yuli katakan saat itu, gadis itulah yang kelak menjadi jodoh Sardi, namanya Anisah. Sardi jengkel dan bingung oleh ucapan Yuli itu.
   Waktu pun terus bergulir. Beberapa bulan setelah Sardi dan Yuli bersamaan tamat dari SMA, pada suatu siang pak Gosai dan bu Jalimah, kedua orangtua Sardi dan Nisah, mengajak Sardi bercakap enam mata. Saat itu Nisah masih berada di sekolah. Jadi hanya mereka bertiga di rumah.
   Pak Gosai lalu bercerita tentang Anisah atau Nisah. Sesekali bu Jalimah menimpali atau menambahi keterangan dari suaminya yang dia anggap kurang lengkap. Bukan main terkejutnya Sardi mendengar cerita dari kedua orangtuanya itu.
   "Jadi...?" suara Sardi tersendat. Rasanya dia ingin menangis.
   "Benar, Sar. Anisah bukanlah adik kandungmu. Tidak ada hubungan darah sedikitpun kalian berdua. Nisah adalah putri tunggal dari sahabatku, pak Bahtera, yang tinggal di kota kecamatan. Pak Bahtera dan bu Sumiyati, istrinya, sama meninggal karena virus Corona yang ketika itu sedang mewabah di mana-mana. Saat itu Nisah baru berusia sekitar satu tahun. Namun, sebelum meninggal suami-istri sahabatku itu, menitipkan Nisah kepada Bapak dan Mamamu ini. Mereka hanya ingin kamilah yang mengasuh dan merawat Nisah. Dan mereka pun berkenan, kalau Anisah kelak berjodoh dan menikah denganmu setelah dewasa. Pada saat kejadian itu, umurmu baru dua tahun jalan," cerita pak Gosai.
   "Selama ini, tentang Anisah ini, telah menjadi rahasia umum. Orang-orang di dusun Belimbing semua mengetahuinya. Tapi semua baik kepada kita. Tidak ada yang membukakan rahasia ini kepada Nisah," lanjut bu Jalimah.
   Saat itu juga Sardi langsung teringat ucapan Yuli di tanah huma itu. Dia yakin, Yuli mengetahui tentang Anisah dari kedua orangtuanya.
   "Yuli segera akan menikah dengan pacarnya itu, di sini," kata pak Gosai lagi.
   "Di Balai Desa kecamatan," tambah bu Jalimah.
   "Yuli akan menikah dengan Alfito?" tanya Sardi.
   "Ya. Maksud kami sekalian bersama-sama, kamu dan Anisah. Jadi di Balai Desa nanti ada dua pasangan pengantin. Yuli dan si Alfito itu, dan kamu dengan Nisah. Mantap kan?" seloroh pak Gosai dan disambut tawa berderai istrinya, bu Jalimah.
   "Tidak! Aku tidak mau menikah dengan Anisah," tolak Sardi, tapi hanya dalam hati.
   "Bapak dan Mamamu sangat setuju dan sepakat, kamu sangat cocok dengan Nisah, jadilah suami yang baik untuk dia," kata pak Gosai lagi.
   "Sayangi dan cintailah Anisah sepenuh hati, Sardi. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini kecuali kita. Dia sebatangkara," tambah bu Jalimah, mengingatkan putranya. "Bapak dan Mamamu ini yakin sekali, Anisah akan menjadi istri yang baik untukmu," lanjutnya.
   Saat itu, wajah Yuli dan wajah Nisah berganti-ganti membayang di mata Sardi. Yuli yang sangat dia harapkan menjadi miliknya, tapi Yuli akhirnya memilih Alfito. Dan Nisah, adik yang sangat dia sayangi namun ternyata baru sekarang dia tahu, bahwa Nisah bukan adik kandungnya. Tidak ada hubungan darah antara dirinya dan gadis itu.
   Sardi terdiam. Dia lantas berdiri. Lalu dengan cepat dia berlari menuju sungai di belakang rumah. Tanpa melepaskan pakaiannya Sardi langsung menceburkan diri ke sungai berair jernih dan tenang itu, dan berendam di sana hampir seharian! Dia merenung dan merenung.
   "Hhm. Tidak mungkin. Aku tak mau menjadi suami Anisah," ucap Sardi, kepada dirinya sendiri.
   Ketika Anisah juga diceritakan oleh pak Gosai dan bu Jalimah mengenai dirinya, gadis cantik itu terkejut dan menangis lama dalam pelukan bu Jalimah. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Kepada siapa lagi Nisah dapat menumpahkan kesedihannya, kalau tidak kepada pak Gosai dan bu Jalimah, dua orang yang selama ini telah memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya kepada Nisah, mengasuh dan membesarkan dirinya hingga seperti sekarang. Dua orang yang dia kira adalah bapak dan mama kandungnya sendiri, tapi ternyata bukan.
   "Ma-Pak, benarkah itu semua?" sesenggukan gadis itu bertanya
   "Tentu saja, Nisah. Tapi kami sudah menganggapmu sebagai anak sendiri. Kami semua, sebagaimana yang bisa kamu rasakan, sangat menyayangimu. Sepenuh hati," bisik bu Jalimah sambil membelai-belai rambut Nisah.
   Lantas pak Gosai dan bu Jalimah menceritakan keinginan kedua orangtua kandung Anisah sebelum meninggal karena virus Corona itu, bahwa mereka setuju dan mengijinkan, jika telah dewasa kelak, Nisah dijodohkan dengan Sardi, dan menjadi suami-istri.
   Anisah terdiam seketika mendengar itu. Lalu kepalanya menggeleng kuat-kuat, lantas dia berlari ke kamarnya dan melanjutkan tangisnya di sana sembari menutup wajahnya dengan bantal. Terbayang wajah kakaknya, Sardi, yang gagah dan tampan itu, yang sangat dia sayangi. Oh, ternyata kak Sardi bukan saudara kandungku, katanya dalam hati.
   "Tidak, tidak, aku tidak mau menjadi istrinya. Aku tidak mau menikah dengannya. Biarlah kami tetap menjadi kakak-beradik seperti yang selama ini kami jalani," bisik Anisah.
   Kemudian sikapnya terhadap Sardi berubah pula. Hampir sebulan dia tidak mau menegur cowok itu. Entah mengapa, hatinya menjadi jengkel dan gemas. Kalau Sardi mendekatinya, Nisah buru-buru menjauh. Kalau Sardi mengajaknya bicara, Nisah hanya diam. Tak mau menjawab.
   Sampai kemudian Nisah kehilangan buku kumpulan cerpen misteri yang berjudul: "Dedemit Sungai Mahakam," karya pengarang Akhmadi Swadesa. Nisah kalang kabut dibuatnya, karena buku tersebut dia pinjam dari teman sekelasnya, yang sangat mencintai buku-bukunya. Jangan sampai hilang lho ya bukuku itu, kalau sudah selesai baca langsung kembalikan! Kata temannya itu. Huh, Nisah benar-benar bingung.
   "Cari apa sih, kok repot betul nampaknya?" tanya Sardi, pura-pura. Padahal Sardi-lah yang sengaja menyembunyikan buku itu.
   "Buku kumpulan cerpen misteri Dedemit Sungai Mahakam. Itu buku punya teman, aku sudah selesai baca dan harus dikembalikan," jawab Nisah akhirnya.
   Di rumah itu hanya mereka berdua saja. Pak Gosai dan bu Jalimah sedang pergi ke huma.
   "Dibawa kucing ke ladang barangkali," canda Sardi asal saja.
   Anisah cemberut. Emang kucing bisa baca apa, gerutunya dalam hati. Sekuat tenaga dia menahan tawa.
   "Kalau aku yang menemukan buku itu, upahnya apa?"
   "Mana buku itu? Kakak yang sembunyikan ya?"
   Sardi tertawa. Dikeluarkan Sardi buku itu dari punggungnya, lalu dilambai-lambaikannya di depan Anisah. Gadis itu langsung merebutnya. Tapi kalah gesit dari Sardi. Cowok itu tak membiarkan kesempatan baik itu. Dia tangkap tangan Nisah dan langsung memeluknya. Erat.
   Anisah berontak. Mencoba memukuli dada Sardi. Tapi tak bisa. Sardi tertawa-tawa. Pipi Nisah memerah bukan main. Air matanya ingin ke luar. Pelukan Sardi semakin erat. Dan Nisah tidak dapat berbuat apa-apa, ketika....ketika...Sardi mencium kedua pipinya!
   "Kita segera akan menikah, jadi suami-istri," bisik Sardi, lembut.
   Anisah matanya basah. *** ( Selesai ).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H