Oleh: Akhmadi Swadesa
   Sepontan, Yuli mencubit lengan Sardi. Gemas. Sebenarnyalah, Yuli juga menyukai Sardi.
   "Kalau liburan, aku pasti pulang ke sini. Dan kita masih tetap bisa bertemu."
   Mereka kembali bertatapan. Sama tersenyum lagi. Tapi kali ini, Sardi memberanikan diri menyentuh pipi Yuli dengan jari telunjuk tangan kanannya dan 'menuliskan' lambang cinta di pipi yang mulus itu. Yuli tertawa, mengerti. Kedua pipinya memerah.
   Dan Nisah, adik Sardi, yang menyaksikan itu, juga ikut tertawa-tawa sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan.
   "Nisah cantik sekali, Sar. Aku tidak secantik dia," ucap Yuli mengalihkan percakapan. Yuli memandang Nisah sambil tersenyum.
   "Ah, dia nakal dan sering usil menggangguku," sahut Sardi. "Tapi aku sangat menyayanginya," lanjut  Sardi seraya menarik tangan Nisah dan memeluk pundaknya.
   Dan setelah itu Yuli menepati janjinya. Setiap kali ada waktu liburan sekolah, dia selalu pulang kampung dan bertemu Sardi. Mereka berdua kadang berbincang lama di atas pondok yang tinggi di tengah ladang padi milik orangtua Yuli. Atau mereka pergi naik sepeda ke kota kecamatan, berkeliling-keliling sambil terus ngobrol dan bersenda-gurau, lantas singgah di rumah makan dekat pasar, dan makan bakso daging sapi iris kesukaan mereka.
   Suatu kali, Yuli menghadiahkan kepada Sardi sebuah buku kumpulan cerpen karya pengarang Akhmadi Swadesa yang berjudul: "Merajut Retak Keping Hati." Tentu saja Sardi sangat gembira karena dia memang sangat gemar membaca, terlebih ketika dia membuka halaman pertama buku itu, Yuli menulis dengan tulisan tangannya yang bagus; 'Buat Sardi, yang teristimewa buatku.' Sardi benar-benar tersanjung. Makin besar rasa cintanya kepada gadis itu. Sungguh.
   Demikianlah untaian hari-hari manis yang mereka lalui berdua, sepanjang tahun demi tahun dan terlewati. Dan sekarang mereka sama telah duduk di bangku kelas 3 SMA meski berbeda tempat. Sebentar lagi Sardi dan Yuli menempuh ujian akhir dan lulus, dan lalu mengucapkan selamat tinggal pada SMA.
   "Selain bertanya kabar tentang diriku, Yuli cerita apa lagi, Nisah?" Sardi bertanya kembali sambil menatap adiknya itu, yang dia lihat juga semakin cantik saja.
   "Tidak ada. Cuma dia sering menatapku dalam-dalam, lama, lalu tersenyum. Katanya: Kamu sangat cantik Nisah." Nisah tertawa.
   "Kau memang sangat cantik, adikku. Tapi Yuli juga cantik dan dia calon kakak iparmu kelak."
   "Nah, itu...itu...."
   "Apa maksudmu, Nisah?"
   "Apa yang Kak Sardi katakan itu, kukatakan padanya, bahwa calon kakak iparku juga sangat cantik. Dia menggeleng, dan bergegas meninggalku."
   "Benar Yuli seperti itu?"
   Nisah mengangguk.
   "Sebaiknya, Kakak temui dia sekarang. Aku yakin, dia sudah sangat rindu denganmu," kata Nisah tersenyum.
   "Ya. Kamu jadi ikut sekalian memeriksa keadaan kebun buah kita di sana?"
   "Aku nggak jadi ikut. Biar Kak Sardi saja yang pergi."
   Beberapa saat kemudian Sardi sudah tiba di dusun Belimbing. Langsung menuju ke rumah Yuli. Di halaman depan nampak adik lelaki kecil Yuli, Topan, sedang bermain kelereng sendirian.
   "Kak Yuli tadi barusan pergi ke ladang bersama temannya," jelas Topan begitu melihat kehadiran Sardi, sambil tangannya menunjuk sebuah sepeda motor yang terparkir di bawah pohon meritam di sudut halaman.
   "Oh ya?" Perasaan Sardi tiba-tiba tak enak. Dilambaikannya tangannya kepada Topan, dan terus berjalan mengikuti jalan setapak ke arah huma milik orangtua Yuli.
   Sore itu cuaca begitu cerah. Langit biru bening. Burung-burung ramai berkicau di pepohonan yang dilewati Sardi.
   Di jauhan, di tanah huma yang sepi itu, terdengar suara orang bercakap, dan diselingi oleh senda-gurau dan tawa. Salah satunya itu jelas suara Yuli, sedang yang satunya siapakah dia? Tapi itu jelas suara cowok!
   Kira-kira dua puluh meter dari pondok di tengah huma itu, Sardi berhenti dan berlindung di balik pohon jengkol yang besar. Benar. Di atas pondok di tengah ladang atau huma itu, nampak Yuli sedang bercakap dan bercanda ria dengan seorang cowok yang sama sekali tidak Sardi kenal.
   "Akan kubeli tanah huma ini sehingga jadi milik kita, lalu akan kubangun rumah yang bagus di sini untuk kita berdua, Yuli," kata cowok itu.
   "Jangan bohong ah. Kau kan lebih suka tinggal di kota." Yuli memukul pelan pundak  cowok itu sambil tertawa senang. Cowok itu membalas dengan cubitan sayang di pipi Yuli yang mulus. Gila!
   Sardi terkejut ketika ada tepukan di pundaknya. Cepat dia menoleh. Nisah!
   "Tadi aku diam-diam ngikuti Kak Sardi dari belakang," bisik Nisah.
   "Ngapain? Katanya tadi gak jadi ikut? Ganggu aja." Sardi tersenyum, meski dipaksakan. Hatinya sudah terlanjur tak enak menyaksikan keakraban Yuli dengan cowok itu. Mengapa Yuli bisa seperti ini? tanya Sardi kepada diri sendiri. Hatinya benar-benar terasa luka dan perih. Haruskah hubunganku dengan Yuli berakhir seperti ini? Sardi mengeluh dalam hati.
   "Ada memang yang belum kuceritakan kepada Kak Sardi," bisik Nisah lagi.
   "Tentang apa?"
   "Kemarin, waktu aku bertemu Yuli di pasar, dia sudah bersama cowok itu. Dari salah seorang teman Yuli, aku dapat info kalau cowok itu adalah teman sekerja kakaknya Yuli. Namanya Alfito."
   "Oh. Terus?"
   "Sepertinya Alfito suka sama Yuli...."
   "Dan Yuli juga suka sama Alfito," potong Sardi.
   Nisah menghela napas. Dipandanginya Sardi dengan rasa kasihan. Nisah tahu, betapa sakitnya hati seseorang itu, jika sang kekasih yang dicintai dan disayang ternyata berkhianat.
   Perlahan Nisah menarik tangan Sardi, mengajaknya berlalu tinggalkan tanah huma itu. Lebih bagus menjauh saja. Biarkan saja Yuli dan Alfito terus berbincang dan bercanda di sana.
   Sardi menurut. Dia biarkan Nisah menarik tangannya dan menyeretnya pergi. Namun keesokkan harinya Sardi kembali ke tanah huma itu, dan bertemu dengan Yuli yang agak tersipu menyambutnya. Yuli sendiri saja.
   "Sardi, kamu...." tegur Yuli lebih dulu, senyum manis terkembang di bibirnya yang merah dan tipis.
   "Kamu sendirian?" tanya Sardi.
   "Ya. Seperti yang kamu lihat. Alfito sudah kembali ke kota kabupaten kemarin juga," jawab Yuli, enteng. Dia tahu dari adiknya, Topan, kalau kemarin Sardi datang untuk menemuinya. Menurut Yuli, kini tidak ada yang perlu disembunyikan lagi. Lantas Yuli mengajak Sardi naik ke atas pondoknya di tengah huma itu. Dan menceritakan semuanya.
   Tentang Alfito, Yuli baru kenal setahun lalu. Dia teman sekerja kakak lelaki Yuli di kota kabupaten. Dari kakaknya itulah Yuli diperkenalkan dengan Alfito. Selanjutnya lelaki itu kerap main ke rumah kakaknya dan bertemu Yuli. Bahkan, kerap Alfito mengantarkan Yuli dengan sepeda motornya pergi ke sekolah. Kedekatan itu, telah menumbuhkan rasa saling suka antara keduanya.
   "Sama sepertimu, Sardi. Alfito juga cowok yang baik," kata Yuli.
   "Juga gagah dan tampan, sehingga kamu...."
   "Kamu juga gagah dan tampan," potong Yuli. Ditatapnya Sardi. Lembut. Sardi memang cowok gagah dan tampan. Jujur dia juga sayang dan cinta dengan Sardi. Apalagi bila mengingat kebersamaan mereka sejak duduk di bangku SD dan SMP dulu, ketika Sardi sering menjemputnya dan mereka pergi ke sekolah bersama-sama.
   "Lantas hubungan kita bagaimana?" Lirih suara Sardi mengucapkan itu.
   Yuli tersenyum. Sardi jadi dagdigdug penasaran.
   "Ya, tetap aja seperti ini, Sardi. Emang kenapa sih?"
   "Maksudku, kamu kan harus memilih."
   "Aku cinta dan sayang sama kamu, Sar. Tapi aku juga cinta dan sayang sama Alfito."
   Sardi dan Yuli berpandangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H