Mohon tunggu...
Akhmadi Swadesa
Akhmadi Swadesa Mohon Tunggu... Seniman - Menulis Fiksi

Menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

RUMAH

24 Mei 2024   12:52 Diperbarui: 24 Mei 2024   13:38 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Akhmadi Swadesa

MASIH kuingat semuanya. Seminggu setelah abah meninggal, pada siang hari yang panas, datang pak Nolin membawa meteran dan sibuk sendiri mengukur tanah di sekitar rumah tua yang kami tempati. Aku dan kakakku si Ibram, juga mama, berdiri menyaksikannya lewat jendela.
     "Kau ukur sajalah, Nolin, berapa luas tanah dan rumah bobrok ini," ucap mama pelan, bernada jengkel namun hanya terdengar oleh kami -- anak-anaknya.
     "Untuk apa dia mengukur-ukur itu, Ma?" tanya kakakku, Ibram.
     "Sekedar memberi tahu, kalau rumah tua dan jabuk ini, yang kita tempati ini, adalah rumah milik pemerintah," jawab mama. "Karena abahmu pegawai negeri dan sudah meninggal, barangkali kita diperingatkan untuk segera pindah dari rumah ini," lanjut mama.
     Kami masih terus memandangi lelaki yang bernama Nolin itu, yang setahuku dia adalah juga rekan sekerja abah di kantor kecamatan desa ini.
     "Pindah ke mana nanti kita, Ma?" tanyaku.
     "Kalau misalnya kita harus mengosongkan rumah milik pemerintah ini?" timpal Ibram. Dan kami sama memandang ke wajah mama.
     "Mama belum tahu, apakah kita nanti akan pindah ke kota kabupaten dan sementara tinggal bersama nenekmu di sana. Mama belum tahu juga."
     Tidak berapa lama pak Nolin sudah selesai dengan pekerjaannya mengukur-ukur itu. Lalu berjalan ke arah jendela, dimana kami masih berdiri menyaksikan apa yang telah dilakukannya.
     "Aku hanya menjalankan tugas. Pak Camat menyuruh aku mengukur luas lahan dan rumah milik pemerintah ini. Itu saja," kata pak Nolin, tersenyum kecut dan segera berlalu meninggalkan kami.
     Rumah milik pemerintah yang kami tempati ini konon peninggalan zaman Jepang. Terletak di pinggir hutan belantara, dan jauh pula dari hunian tetangga lain.
     Letak rumah tua itu memang menyendiri. Bentuknya memanjang dengan dinding papan susun sirih dan beratap sirap dari kayu ulin. Namun atap sirap itu sudah penuh tambalan plastik dan potongan seng di sana-sini, tanda sudah sangat tua dan lapuk. Kalau hujan lebat turun, dibeberapa tempat air hujan titik masuk ke dalam rumah dan mama sibuk menyiapkan baskom atau panci untuk menadah tirisan air hujan itu.
     Aku tak tahu sejak kapan kami menempati rumah itu, namun yang jelas aku dan kakakku si Ibram, lahir di rumah ini. Ketika itu, aku sudah duduk di bangku SD kelas 4, sedang kakakku Ibram di kelas 6.
     "Kalian tenang saja, kakak-kakakmu nanti akan Mama beritahu," kata mama tersenyum, seperti menenangkan hati kami.
     Aku dan Ibram sendiri tidak begitu perduli, kami tenang saja. Sepulang sekolah kami tetap bermain, memancing, atau mencari buah-buahan masuk ke  dalam hutan di belakang rumah kami itu.
Kegembiraan masa kanak kami sama sekali tidak terganggu.
     Kami semua berjumlah enam saudara. Semua lelaki. Ibram kakakku terkecil. Empat kakakku yang lain sudah pergi berpencar, merantau kemana-mana. Demikianlah orang untuk mencari penghidupan yang lebih baik, begitu kata mamaku mengenai kakak-kakakku yang pergi meninggalkan kampung halaman. Dan syukur alhamdulillah semua kakakku diperantauan sudah bekerja. Ada yang bekerja di perusahaan swasta,  juga ada yang jadi pegawai negeri. Oleh sebab itu, seperti bergantian dalam setiap bulan, ada saja dari kakak-kakakku itu yang mengirimi mama uang, untuk membantu kebutuhan hidup kami di desa kecamatan yang terpencil ini.
     Abahku sendiri, selain bekerja sebagai pegawai negeri di Kantor Camat, juga kerja nyambi sebagai penjahit pakaian. Dengan sebuah mesin jahit tua merk Singer, abah biasanya mulai bekerja pada sore hingga malam hari. Pada malam-malam sunyi, ketika aku sudah berada di dalam kelambu dan siap untuk tidur, akrab kudengar bunyi gunting yang sedang memotong-motong kain baju atau celana pesanan orang, juga suara mesin jahit tua milik abah itu. Abah bekerja dengan penerangan lampu pompa petromak, yang cahayanya sebagian menembus celah-celah dinding penyekat ruang yang terbuat dari anyaman bambu yang juga sudah mulai jabuk pula.
     Sedang mamaku seorang ibu rumahtangga yang pandai memasak apa saja, dan pernah bekerja sebagai koki di mess PT Aneka Tambang yang beroperasi di desa kami ini, hingga perusahan itu tutup. Mama kemudian mencoba membuat berbagai jenis kerupuk yang dititipkan ke beberapa warung yang ada. Aku dan Ibram-lah yang bertugas menitipkan ke warung-warung itu....
     Mama lantas menulis surat kepada kakak-kakakku itu. Menceritakan tentang pak Nolin yang datang mengukur-ukur tanah dan rumah tua yang kami tempati. Mereka ingin kita segera mengosongkan tanah dan rumah milik pemerintah ini, tulis mama dalam surat.
     Sebulan kemudian ke empat kakak-kakakku itu tiba bersamaan. Rumah tua itu jadi ramai. Kami semua berembug. Menyusun rencana.
     "Tenang saja," kata Husein, kakakku tertua. "Semuanya akan baik-baik saja dan beres."
     "Kita memang harus pindah dari rumah tua ini," timpal kakak keduaku, Rastam.
     "Untunglah almarhum abah ada mewariskan tanah untuk kita," tukas kakakku yang ke tiga, Markon.
     "Secepatnya kita bergerak! Mumpung belum masuk musim hujan," ucap Jamil, kakakku ke empat.
     Abah kami, dulu, memang ada membeli sebidang tanah kebun yang kira-kira jaraknya seratus meter dari rumah tua milik pemerintah yang kami tempati. Tanah itu juga terletak di pinggir hutan , sejajar dengan rumah ini, tapi ditanami pohon buahan, seperti durian, rambutan, lai, meritam, langsat dan beberapa pohon kelapa. Di atas tanah itulah kakak-kakakku akan membangunkan sebuah rumah sederhana untuk mama, aku dan Ibram.
     Kemudian, secara patungan tentu saja, kakak-kakakku menyiapkan semua material dan segala macam kebutuhan untuk membangun sebuah rumah. Rumah kayu. Tukang bangunan yang dipercaya lantas dipanggil untuk mengerjakannya. Hanya butuh waktu lima belas hari rumah kayu yang sederhana dan minimalis beratap seng lekuk besar sudah berdiri di tanah peninggalan almarhum abah kami itu.
      Dan kami pun segera pindah rumah pada saat musim hujan mulai tiba. Rumah tua milik pemerintah itu kami tinggalkan dengan mengangkut semua barang milik kami yang tidak seberapa. Banyak kenangan yang tertinggal di rumah itu.
     Mama, aku dan Ibram sangat senang dengan rumah baru kami. Namun baru seminggu kami menempatinya, suatu malam badai angin disertai hujan deras menyerang desa kami. Dan, keesokkan paginya, aku, Ibram dan mama berdiri tertegun-tegun di ambang jendela, kami saksikan dari kejauhan, rumah tua yang pernah selama bertahun-tahun kami tempati itu telah roboh dan sama rata dengan tanah. Tidak ada tonggak yang berdiri tersisa, semua telah ambruk ditindih atap sirap yang juga telah jabuk itu.
     Demikianlah.... ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun