Masyarakat muslim tentu saja tidak asing dengan istilah amar ma'ruf nahi munkar. Praktik amar ma'ruf nahi munkar sendiri adalah landasan ajaran Islam yang menjadi identitas orang mukmin. Artinya setiap orang yang beriman wajib mengajak atau menyerukan kepada seseorang atau kelompok, agar mereka berbuat kebaikan dan mencegah segala bentuk keburukan sesuai dengan ajaran agama Islam.Â
Hal tersebut yang menjadikan umat Islam sebagai khoiro ummah (umat terbaik), sebagaimana yang dijelaskan pada Q.S. Ali Imran ayat 110 yang artinya "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintah kepada yang ma'ruf, dan mencegah yang munkar, dan beriman kepada Allah."
Tiga strategi atau cara yang dapat dilakukan dalam melakukan amar ma'ruf nahi munkar, yaitu dengan tangan (kekuasaan, kewenangan, dan posisi sosial yang kita miliki), lalu lisan (pendapat, opini, nasehat, dan sebagainya), dan dengan hati (mengingkari perbuatan munkar). Cara terakhir dinilai sebagai manifestasi dari iman yang paling lemah.
Dalam masyarakat Islam Indonesia term amar ma'ruf nahi munkar telah menjadi semboyan yang secara maknawi mengandung makna perjuangan untuk membela kebenaran dan memberantas kemungkaran.Â
Perjuangan memberantas kejahatan, kebatilan, kemaksiatan dan kezhaliman, seperti pemberantasan dan perlawanan terhadap perbuatan zina, prostitusi (pelacuran), LGBT, narkoba, korupsi, pornografi dan pornoaksi, minuman keras, perjudian, tindakan begal dan sebagainya biasanya dikategorikan sebagai perwujudan dari amar ma'ruf nahi munkar.
Secara sosiologis-empiris dakwah dan pelaksanaan amar ma'ruf nahi munkar yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, menurut Nurcholish Madjid, cenderung mengarah kepada nahi munkar saja, yakni tekanan-tekanan dalam bentuk perlawanan dan perjuangan reaktif yang bersifat memberantas, memberangus dan membasmi kemungkaran dan kurang mempertimbangkan pelaksanaan amar ma'ruf-nya yang mengajak kepada kebaikan, kebersamaan dan suatu cita-cita perjuangan proaktif. Barangkali inilah sebabnya mengapa sikap proaktif dalam menyahuti hal-hal dan perbuatan yang ma'ruf masih menjadi tantangan besar bagi umat Islam di Indonesia.
Melaksanakan nahi munkar memang lebih mudah daripada melaksanakan amar ma'ruf. Karena mengutuk, mencaci maki, dan sebagainya tidak perlu dengan ilmu yang tiggi. Seseorang lebih mudah untuk menyalahkan daripada memberikan tuntunan.Â
Selain itu, kebutuhan nahi munkar kepada emosi adalah lebih besar atau lebih tepat. Sebaliknya amar ma'ruf lebih bersifat kalem dan dalam melaksanakannya membutuhkan pengetahuan yang cukup, solutif, dan rasionalitas.
Konsep amar ma'ruf dan nahi mungkar seharusnya berjalan beriringan, tidak ada yang ditinggal atau yang lebih diutamakan. Memang benar bahwa amar ma'ruf dan nahi munkar adalah dua hal yang berbeda. Tapi tidaklah tepat jika kita berpikir dikotomis seperti itu,  karena Al-Qur'an selalu menyandingkan keduanya.
Baik amar ma'ruf atau nahi munkar tentu ada etika dalam melakukannya. Bukan berarti kita bisa berbuat sewenang-wenang jika melihat seseorang yang meninggalkan kebaikan atau melakukan kemungkaran. Jangan sampai kita ber-amar ma'ruf nahi munkar tetapi justru berseberangan dengan ajaran Islam itu sendiri, bahkan mencederai citra Islam sebagai agam yang mulia.Â
Adapaun etika yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Mendidik, bukan menghardik 2. Merangkul, bukan memukul 3. Menasehati, bukan menggurui. 4. Membuat mulia, bukan menghina. 5. Mengapresiasi dan mempersuasi, bukan melukai dan menyakitkan hati. 6. Memberi teladan, bukan melawan kebenaran 7. Memberdayakan, bukan memperdayakan 8. Menghormati keragaman, bukan memaksakan tindakan 9. Memudahkan, bukan menyulitkan 10. Menggembirakan, bukan menyedihkan 11. Mengedepankan ketaatan, bukan kemaksiatan.