Kompetisi politik 2014 tinggal menunggu waktu, strategi klasik para pemburu suara mulai dirancang, bendera dikibarkan, janji diucapkan, baliho dengan pose wajah terbaik terlihat kokoh tertancap diujung gang hingga pusat kota, euvoria pesta demokrasi menjadi symbol semaraknya persaingan antar politisi dalam membentuk citra dan perang janji (appointment war), berjuang untuk rakyat, berantas korupsi, jujur dan adil manjadi tag line beberapa partai yang arahnya hampir senada. Pesta demokrasi menjadi ekspektasi besar masyarakat dalam memilih pemimpin yang ideal dan pro-rakyat. Sebagai eksekutor rakyat memiliki posisi strategis, suara rakyat adalah penentu kemenangan dalam kompetisi ini dan partai politik sebagai institusi di harapkan mampu menjadi jemabatan emas (the golden bridge) dalam menyambung dan memfasilitasi kehidupan dan kesejahteraan rakyat agar menjadi rakyat yang mandiri, beradab, dan bermoral, dengan mengusung calon yang representative, aspiratif, dan memiliki jiwa seperasaan sepenanggungan terhadap rakyat.
Idealnya hubungan antara partai politik, calon yang diusung dan konstituen merupakan system politik yang terpadu, artinya ketiga unsur tersebut tidak dapat dipisahkan, partai sebagai subjek demokrasi memiliki peran penting dalam menentukan calon yang diusung. Setiap partai politik tentu memiliki ideologi yang berbeda-beda sehingga dalam menentukan calon yang akan diusung-pun juga berbeda, selain ideologi yang seiring searah antara partai politik dan calon yang di usung, partai politik juga akan melihat pangsa pasar atau dalam hal ini adalah kebutuhan masyarakat, melakukan analisa politik untuk melihat seberapa besar peluang dan kelemahan sang calon.
Hal ini berdampak pada kecenderungan perilaku transaksional antara partai politik dan calon yang akan diusung, melihat kondsi objektif peta perpolitikan tahun 2014 ini ebagian besar partai politik justru merekomendasikan calon diluar partainya daripada mengusung kader binaanya sendiri, fenomena politik ini disebabkan karena pertamaKeberhasilan hubungan transaksional yang dilakukan terhadap partai pengusung, kondisi ini sebenarnya akan mengakibatkan runtuhnya idealisme (idealism collaps) partai tersebut, hubungan simbiosis mutualisme tersebut menjadikan rakyat sebagai komoditi pragmatisme, dan melupakan sejenak kader binaan yang tidak memiliki kemampuan transaksional, kedua Ketidakpercayaan partai terhadap kader binaanya sendiri, kondisi ini sangat mungkin terjadi mengingat kaderisasi tidak berjalan dengan baik, meskipun keadaan ini lebih baik daripada keadaan yang pertama akan tetapi hal ini mendeskripsikan bahwa partai tersebut tengah mengalami kondisi internal yang bermasalah.
Ketiga, Partai politik beranggapan bahwa intervensi materiil (money politics) dianggap sebagai strategi klasik yang masih effektif digunakan, sehingga partai politik lebih memilih calon dari luar partai dengan harapan memiliki financial force dalam memberikan pelayanan financial terhadap masyarakat, keadaan ini jauh memiliki resistensi yang kuat, rakyat kian terlena dan paradigma pragmatisme akan membudaya. Hal inilah yang penulis khawatirkan terjadi, tunggakan masalah (Litigation Explosion) ini akan semakin berat, budaya pragmatis akan membentuk pola pikir masyarakat kian sempit dan praktis, jadi pendidikan politik atau pendewasaan politik masyarakat akan lebih susah dibina. Ketiga anggapan tersebut merupakan anggapan subjektif penulis dalam membaca realitas politika yang ada berkaitan dengan hubungan partai politik dengan calon yang diusungnya.
Selain hal di atas, partai politik juga memiliki hubungan strategis terhadap konstituen. Idealnya memang peran partai politik adalah memberikan pendidikan politik bersahaja kepada konstituen, bukan kemudian memberikan pendidikan politik yang “berharga” kepada konstituen. Konstituen atau pemilih adalah masyarakat yang secara administratif memenuhi syarat dan terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU), Polarisasi atau strategi partai politik dalam bersosialisasi dan menjalankan acrobat politiknya sangat berpengaruh terhadap pencerdasan konstituen atau masyarakat. Indikasi keberhasilan demokrasi salah satunya adalah teciptanya pencerdasan dan pendewasaan politik terhadap masyarakat, jadi partai politik memiliki peran penting demi terciptanya keberhasilan demokrasi, Kongkritnya partai politik dalam menjalankan aksi politiknya harus mengutamakan nilai nilai moralitas kebangsaan. Penyampaian visi misi yang mencerdaskan, pendekatan persuasif bukan pragmatis, sedikit membuka mulut untuk berjanji akan tetapi membuka lebar mata dan telinga untuk melihat dan mendengar suara rakyat merupakan pendewasaan politik yang seharusnya di lakukan, bukan dengan intervensi materiil dan janji utopis yang membuat rakyat terlena dalam kesengsaraan.
Demokrasi tidak seharusnya meletakan kepentingan politik sebagai tujuan utama, demokrasi terletak pada strategi dalam kerjasama politik, politik dalam hal ini dilihat sebagai cara ampuh untuk saling memeriksa dan menyeimbangkan, sehingga tidak diharapkan adanya dominasi sebuah partai politik yang akan mengarah pada disintegrasi bangsa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H