Mohon tunggu...
Akhmad Fawzi
Akhmad Fawzi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam

Membaca, Menulis, Merenung, dan Melamun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wajah Islam Keindonesiaan

26 Agustus 2024   20:38 Diperbarui: 26 Agustus 2024   21:37 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abad ke-7 H/13 M, Islam menancapkan keberadaannya di Indonesia. Ditandai dengan kehadiran umat Islam dari beragam kalangan, baik pedagang hingga ulama di Sumatera. Rentang tiga abad, umat Islam yang tergolong minoritas mulai melakukan akselerasi dakwahnya sampai pada abad ke-10 H/16 M dilakukan proses islamisasi secara intens di kepulauan melayu-Indonesia. Prosesnya melalui pengajaran, dari sinilah eksistensi Islam secara kuantitatif mulai banyak sebab cara masuknya yang mudah dengan membaca dua kalimat syahadat, ajarannya tidak rumit, mudah dipahami tanpa harus berpikir mendalam, ritus peribadatannya fleksibel dan lain sebagainya. Artinya, penerimaan Islam di Indonesia diwarnai kehangatan dan keharmonisan, berbeda pada masa Rasulullah di lingkungan kaum quraisy yang mendapat perlakuan keras.

Selama proses Islamisasi melalui pengajaran yang lembut, tak hanya meningkat jumlah umat Islam di Indonesia, juga mulai maraknya literatur keislaman yang dihasilkan oleh muslim Indonesia. Proses interaksi tersebut menandai Islam Indonesia berkembang pesat dengan meningkatnya kuantitas muslim Indonesia dari kalangan awam hingga kalangan ulama. Dari kalangan ulama, salah satunya ialah Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari. Tiga cahaya Islam dari Indonesia ini memberikan pengaruh keislaman bagi Indonesia dengan berkontribusi pada bidang humaniora dan pendidikan. Kiai Kholil Bangkalan Madura, ulama yang menekankan pada akhlak, bagaimana memanusiakan manusia, terbukti dari ajaran beliau yang mengedapankan akhlak pada masyarakat Madura yang sangat berakhlak pada ulama seperti menunduk di hadapan ulama, mencium tangannya bahkan menjaga ulama nya dari potensi serangan.

Nasionalisme juga kuat pada diri Kiai Kholil Bangkalan, melalui prinsip cinta tanah air, beliau menempatkan cinta negara bagian dari keutamaan ajaran Islam. Enam prinsip cinta tanah air, salah satunya membela tanah air baik melalui ucapan maupun perbuatan dan mendidik santri dan anak-anak untuk menghargai nilai-nilai luhur tanah air. Terlihat jika Kiai Kholil Bangkalan membawa pesan tradisionalis dengan mempertahankan pelbagai kearifan lokal oleh leluhur bangsa Indonesia. Kiai Kholil memiliki murid Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Abdul Wahab Chasbullah dan Kiai As'ad Syamsul Arifin. Kiai Kholil oleh Soekarno disebut penentu berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) melalui hubungan guru-murid dengan Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai Hasyim Asy'ari sebelum mendirikan NU, sedari belia bersahabat dengan pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan. Hanya saja dalam pergerakan organisasinya berbeda karakteristik.

Muhammadiyah lebih dahulu didirikan oleh Kiai Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta. Sebab Kiai Ahmad Dahlan pernah mendapat pengaruh dari pembaharu abad-19 seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, akhirnya terbawa gagasannya melalui Muhammadiyah dengan semangat purifikasi yang bersifat reformis dan modernis seperti yang dikatakan oleh Ahmad Najib Burhani, seorang intelektual Muhammadiyah bahwa rasionalitas dan modernitas merupakan dua kata kunci yang lekat dengan upaya Muhammadiyah dalam mereformasi agama (Bahri, 2022: 55). Bukan berarti Muhammadiyah menentang tradisi secara mutlak, tetapi mengkritik masyarakat yang mengikuti adat istiadat secara buta tanpa mengetahui alasan logis dan sah menurut agama.

Karakter Muhammadiyah yang terkesan modernitas mendapat respon dari sahabat karibnya Kiai Ahmad Dahlan, yaitu Kiai Hasyim Asy'ari. Kiai Hasyim Asy'ari menunjukkan respon tersebut melalui karakter organisasi keagamaan yang ia dirikan yaitu Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 di Surabaya. NU berciri tradisionalis, berbeda dengan Muhammadiyah yang dicirikan modernis. NU ingin mempertahankan kearifan lokal Indonesia sebagai identitas bangsa agar tidak hilang digerus arus modernisasi dengan memelihara tradisi yang disintesakan dengan agama seperti tradisi tahlilan dan tradisi lainnya masih eksis di kalangan NU.

Jika merunut pada pembagian representasi Islam yang dihadirkan berdasarkan pembagian oleh Media Zainul Bahri, Guru Besar Pemikiran Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, representasi keislaman Kiai Kholil Bangkalan dan muridnya, Kiai Hasyim Asy'ari tergolong kelompok Islam kultural, sementara representasi keislaman Kiai Ahmad Dahlan tergolong kelompok Islam ideologis. Penggolongan tersebut tidak mutlak tentunya, sebab yang dinamakan representasi gagasan pemikiran seringkali dinamis. Bisa saja NU tergolong organisasi reformis dan modernis, begitu pun Muhammadiyah yang tergolong kultural. Tetapi berdasarkan semangat yang dibawai oleh tiga cahaya Islam Indonesia, seperti itulah klasifikasi representasi keislamannya.

Tradisionalis dan modernis yang mewarnai wajah Islam Indoensia menjadi identitas tersendiri. Islam saat menginjakkan eksistensinya di Indonesia yang sudah dipenuhi pelbagai tradisi tentu tidak serta merta menghapus semua tradisi di Indonesia. Merangkul tradisi bagian dari metode pengajaran agar Islam eksis di Indonesia, tak sampai disitu, Indonesia sebagai negara yang pernah mengalami jajahan kala itu harus bisa keluar dan menjadi negara maju agar tidak terjajah ulang, kuncinya bersikap terbuka dengan perkembangan zaman melalui penerimaan modernisasi. Ditengah ambang antara tradisionalis dan modernis, Islam Indonesia mengambil jalan tengah atau titik temu dengan tetap mempertahankan tradisi sebagai ciri alamiah bangsa Indonesia tanpa bersikap buta terhadap kemajuan yang dihasilkan pada arus modernisasi ini. Ciri khas Indonesia tidak mungkin hilang, tradisi mesti dirawat dengan dibalut nilai-nilai modernisasi yang sesuai jati diri bangsa Indonesia, inilah wajah Islam keindonesiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun