Pada dasarnya watak agama sudah moderat, sayangnya watak tersebut belum seratus persen terinternalisasi pada manusia yang beragama (homo religius). Faktanya masih banyak ditemui pembubaran ibadah umat agama tertentu, pembubaran pengajian karena berbeda paham, merasa alirannya paling benar sekaligus cenderung menganggap salah aliran selainnya dan lain sebagainya. Mengapa ini bisa terjadi? salah satu penyebabnya tidak memiliki karakter keilmuan yang holistik sehingga tidak terwujud pada sikapnya. Kalau begitu, pembentukan moderat pada diri individu diperlukan instrumen keilmuan yang utuh.
Akar permasalahan sikap tidak moderat ialah pemahaman yang tidak utuh menyebabkan penyempitan cara pandang hingga berujung pada laku tidak moderat. Sebab itu, pemahaman yang utuh menjadi kunci terbentuknya sikap moderat. Guna mendapatkan kunci tersebut ialah harus melalui instrumen integrasi ilmu. Mengutip pada buku 'Islam dan Ilmu Pengetahuan' karya Abuddin Nata, bahwa integrasi ilmu ialah sebuah upaya menyinergikan, mendialogkan, mengomunikasikan dan mempertemukan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya untuk kepentingan kehidupan manusia bukan malah demi kepentingan ilmu itu sendiri. (Nata, 2018: 287) Tujuannya tak hanya menciptakan iklim keilmuan yang utuh dan integral tetapi juga melahirkan figur-figur manusia yang mempunyai worldview yang universal, tidak sempit.
Pengejawantahan integrasi ilmu dapat melalui sistem pendidikan. Saat ini, imbas dari kurikulum merdeka ialah tidak ada lagi penjurusan, artinya peserta didik dapat memilih serta menggabungkan mata pelajaran yang sesuai dengan jurusan kuliah yang ingin dituju. Selain itu, terdapat model kompetisi sains berbasis integrasi yakni Kompetisi Sains Madrasah (KSM) terintegarsi yang merupakan kegiatan dari Kementerian Agama. Tidak ada penjurusan menyebabkan ketidakseimbangan mata pelajaran yang diterima oleh peserta didik, mereka yang cenderung pada mata pelajaran ilmu eksak tidak mendapat mata pelajaran ilmu sosial bahkan mungkin ada sebagian yang mendapat (bagi peserta didik yang masih meminati kedua disiplin ilmu tersebut), kecenderungan itu justru akan melebarkan jarak karakter keilmuan mereka dengan beragam disiplin ilmu serta mengkotak-kotakkan disiplin ilmu. Nantinya akan melahirkan sikap merendahkan terhadap ilmu yang kurang diminatinya dan merasa superior dengan ilmu yang diminatinya. Malah itu bukan cita integrasi ilmu, tetapi dikotomi ilmu. Seharusnya, kurikulum pendidikan mesti punya filosofi yang integral dimana setiap mata pelajarannya telah terintegrasi bukan tetap pada disiplin ilmunya masing-masing. Jadi, semua mata pelajaran telah terhubung dengan beragam disiplin ilmu, dengan itu peserta didik akan menemukan value suatu ilmu bahwa setiap ilmu memiliki keterhubungan.
Kemudian label "terintegrasi" pada lomba KSM, lomba tersebut mengintegrasikan sains dengan ilmu keagamaan dan bahasa. Seperti, terdapat soal berbahasa arab yang isinya berbicara sains, lalu perpaduan konsep fisika dengan kandungan Al-Qur'an dan lain sebagainya. Saya berprasangka baik kalau ini bukan sekadar cocoklogi. Kompetisinya terintegrasi, tetapi sistem pendidikannya sudah terintegrasi? bukankah sebuah konsep yang ingin dijalankan mesti dimulai dahulu dari sistemnya? Menurut Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Maros Muhammad, adanya kegiatan tersebut agar siswa memiliki mental kompetisi dan daya saing. Keterangan tersebut bukan tertuju pada pembentukan karakter keilmuan holistik pada peserta didik. Jadi, pelabelan 'terintegrasi' hanya untuk menutupi ketidakjelasan pikiran integral yang telah diusung namun belum terlaksana.
Integrasi ilmu bagian dari cita kementerian agama terhadap madrasah sebagai pembeda dengan sekolah pada umumnya. Natural science didekati dengan religion science maupun sebaliknya, social science didekati dengan natural science maupun sebaliknya, artinya ada keterhubungan antra disiplin ilmu, Amin Abdullah menyebut ini sebagai interkoneksi. Sayangnya belum ada kejelasan dan wujud nyata integrasi ilmu ini dalam lingkungan madrasah, pelajaran yang diterima oleh peserta didik masih bersifat monodisiplin, belum interdisiplin, kecuali oleh seorang pengajar yang memiliki kesadaran pentingnya internalisasi integrasi ilmu maka ia berikan pelajaran yang interdisipliner. Itu berarti, wujud konsep integrasi ilmu dalam sistem pendidikan belum terlihat, apakah karena tidak memiliki konsep tersebut? malah bukannya tidak memiliki konsep integrasi ilmu, justru banyak intelektual muslim Indonesia yang mencanangkan konsep integrasi ilmu seperti Amin Abdullah, Mulyadhi Kartanegara dan lain sebagainya. Tinggal dari para pemangku kebijakan apakah sedia dan siap untuk sama-sama berkolaborasi dengan kaum akademisi guna memajukan keilmuan Indonesia? sebab salah satu majunya peradaban adanya sinergi antara pemerintah dengan kaum intelektual.
Belum terwujudnya sistem pendidikan yang holistik dan integral berdampak pada kualitas keilmuan manusianya yang belum seimbang atas keragaman disiplin dan perspektif. Sehingga mereka hanya memiliki disiplin dan perspektif yang sedikit dalam menilai suatu fenomena, yang akhirnya menimbulkan sikap merasa paling benar, berpihak pada salah satu paham yang menurutnya benar, menyalahkan yang menurutnya salah dan tidak mau menerima hal lain selain darinya. Semua laku tersebut menampakkan manusia tidak moderat, Itu artinya, membentuk watak moderat perlu melalui penanaman nilai integrasi ilmu seperti keseimbangan dan universal pada setiap individu. Karena integrasi ilmu bukan hanya menghubungkan antar disiplin ilmu yang telah di dikotomikan, tetapi juga membentuk visi keilmuan manusia yang beragama tersebut agar memiliki perspektif yang luas dari beragam disiplin yang telah diintegrasikan sehingga mampu bersikap bijaksana dan menilai dengan penuh pertimbangan. Dengan itu, maka akan melahirkan manusia moderat yang sesuai dengan fitrah agama yakni moderat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H